Kolaborasi PM Toh & Wayang, Lakon Sejarah Pohon Hayat Malahayati
Siapa sangka seni tradisi dan budaya masyarakat Aceh bisa tampil bersama dengan wayang ruwatan Nusantara di Sigli, Ibukota Kabupaten Pidie. Masyarakat mendadak kaget, ada pagelaran seni budaya nusantara di tampilkan di halaman Gedung Pidie Convention Centre sebagai upaya mempertahankan Daulat Budaya Nusantara.
Sebuah pertunjukan yang mengkolaborasikan antara seni tari Saman, Ratoeh Jaroe, Sedati, Shalawat, Seni Tutur Aceh, PM Toh (nama panggung Agus Nur Amal), Gucheng dan Serunai Kali.
Ribuan orang datang berbondong-bondong untuk melihat pagelaran Wayang bersama Seni Budaya Aceh untuk yang pertama kalinya dalam sejarah.
“Seni budaya adalah ruh dari bangsa Indonesia, kami di Aceh sangat menjunjung tinggi warisan para leluhur ini. Sebagai putra daerah, saya sangat senang sekali dengan pagelaran budaya.
"Apalagi Dalang Wayangnya Mbah Tejo dengan lakon sejarah Pohon Hayat Malahayati, atas nama masyarakat Aceh kami merasa sangat terhormat bisa tampil bersama Wayang. Tidak hanya asa, tapi juga rasa yang membentuk budaya, tanpa asa, rasa hanya masa lalu” ujar Bustami, tokoh budaya masyarakat Aceh dalam keterangan Senin 25 Desember 2023.
Tak Lepas Al-Quran
Di negeri Serambi Mekah, penampilan pertama setelah pembacaan ayat ayat suci Al-Quran dan menyanyi Indonesia Raya, suguhan pembukanya adalah sholawat hadrah, lantas tari sedate, baru wayang dengan lakon Pohon Hayat Malahayati ditampilkan.
Berikutnya adalah Tari Saman dan PMToh, lanjut lagi dengan wayang. Kemudian tari Ratoeh Jaroe dan Seni Tutur Aceh, lanjut lagi wayangan dengan iringan kecapi gucheng, begitu dan seterusnya. Masyarakat yang menyaksikan sangat antusias dan terheran heran dengan penampilan Mbah Tejo dan para seniman Pidie.
“Sejarang ini bang, baru pertama kalinya kami liat di Pidie ada seni budaya bisa kolaborasi sama wayang. Keren, kami suka, ini saya ajak anak saya nonton biar terasa di Jawa. Karena biasanya dahulu tahun 1980an kami lihat wayang hanya di televisi,” tegas Amiruddin berseri seri, melihat pagelaran bersama dengan keluarganya.
Pagelaran wayang di Pidie Aceh ini adalah rangkaian dari Ruwatan yang digelar oleh gerakan Daulat Budaya Nusantara. Pidie menjadi lokasi kelima dari rencana Ruwatan Nusantara di sembilan titik: Kediri Jawa Timur, Jepara Jawa Tengah, Purwakarta Jawa Barat, Pulau Alor NTT, Pidie Nangroe Aceh Darussalam, IKN Kalimantan Timur, Ternate Maluku dan terakhir Jayapura Papua.
“Dari titik pertama Daulat Budaya Nusantara sampai dengan di titik ke lima ini, saya tambah yakin bahwa pertahanan terbaik dari bangsa Indonesia adalah kebudayaannya. Saya sempat kuatir ketika di titik ke lima ini, di Pidie menggelar wayangan, karena negeri Serambi Mekah punya Perda Syariat yang ketat, tapi ternyata soal seni budaya tidak melanggar syariat.
"Alhamdulillah kami diterima. Pertahanan kebudayaan adalah kunci keberagaman dan saya kagum dengan jamuan kuliner khas Aceh yang sangat kaya rasa. Ini bukti kedaulatan pangan berangkat dari meja makan” tegas Teguh Haryono, doktor ilmu pertahanan dari Universitas Pertahanan.
Pagelaran ini terselenggara berkat kerjasama antara panitia Daulat Budaya Nusantara dengan panitia lokal dari Aceh, tanpa kerjasama, pagelaran budaya ini tidak akan terselenggara dengan penuh kebahagiaan.
Menariknya, di sela pertunjukan wayang, Ki Dalang Sujiwo Tejo berinteraksi dengan penonton dan menanyakan “Apa ciri khas Aceh..?” kepada para penonton, banyak yang menjawab “Perempuannya cantik cantik”, “Makanannya enak”, “Rencong” dan lain sebagainya.
Mbah Tejo kemudian menjawabnya, “Semuanya benar, tapi yang yang paling tepat untuk ciri khas Aceh adalah mengusir penjajah”. Sontak tepuk tangan penonton bergemuruh menyambut jawaban Mbah Tejo.
“Begitu tiba di Aceh, kami langsung ziarah ke Makam Sultan Iskandar Muda, lanjut ke makam Sultan Mughayatsyah dan pada hari Ibu kami ke makam Laksamana Keumalahayati, merajut sejarah nusantara dan alhamdulillah kami pulang kampung” sambut Hamid Abdulloh, pendiri Dunia Santri Community.
Advertisement