Awalnya Hanya Pelatihan, tapi Malah Keterusan Jadi Usaha Batik
Usai lebaran kemarin, Anik Muryantini yang menjabat sebagai Kepala Desa Wonoasri, Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri, Jawa Timur merasa sedih. Pasalnya, warganya yang mempunyai usaha pembuatan kue kering, sepi pembeli.
Padahal, biasanya momen puasa dan lebaran adalah masa panen bagi warganya yang jualan kue kering. Anik Muryantini menduga, sepinya pembeli itu masih berkaitan dengan pandemi Covid-19. Mobilitas orang menjadi berkurang, yang akhirnya berdampak pada pendapatan warganya.
"Warga yang biasanya membuat kerajinan kue-kue kering yang biasa dijual di pinggir jalan sepi pembeli. Mungkin dampak Covid -19. Warga akhirnya banyak menganggur. Income pun menjadi berkurang. Khususnya ibu-ibu," kata Anik.
Anik pun kemudian mencoba memutar otak, bagaimana caranya ekonomi warga bisa bangkit. Dia pun teringat, ada salah seorang warganya yang mempunyai kemampuan untuk membatik. Tak ada salahnya untuk mencoba mengadakan pelatihan membatik. Instrukturnya pun dari warga tersebut. Anik pun menginisiasi pelatihan membatik.
"Yang melatih pun dari warga sendiri jadi bukan dari pihak luar. Tanpa ada pelatihan dari luar," kata Anik.
Saat itu, ada 25 orang warga yang mengikuti pelatihan ini. Anik pun kemudian menyiapkan tempat di rumahnya. Tak lupa, Anik juga 10 potong kain dengan ukuran panjang dua meter seperempat. Namun, karena masih pelatihan awal, 10 potong kain tak ada yang menjadi batik.
"Namanya juga pelatihan pertama kali, sepuluh kain tersebut rusak," kenangnya.
Dalam pelatihan ini, juga berlaku seleksi alam. Dari jumlah peserta awal pelatihan yang berjumlah 25 orang, kini melorot tinggal sembilan orang. Dari sembilan orang itu, ternyata tak semuanya ibu-ibu rumah tangga. Ada pula yang masih pelajar. Jumlahnya ada empat orang yang masih pelajar. Mereka sengaja ikut pelatihan membatik untuk mengisi waktu luang mereka karena sekolah juga masih tutup.
Kemampuan warga dalam membatik ini ternyata di luar ekspektasi Anik. Awalnya, Anik hanya menargetkan kegiatan ini hanya untuk pelatihan saja. Belum ada rencana untuk produksi. Tetapi kenyataanya, setelah ada pelatihan, batik buatan mereka bagus. Setidaknya, ada sekitar 200an karya batik warganya yang bisa masuk dalam kategori bagus. Kepalang tanggung, batik buatan warga ini kemudian coba untuk dijual dipasarkan. Dan ternyata responnya bagus.
"Ini kreasi warga saya. Saya hanya membantu menjualkan. Sekarang ini sudah sampai Jakarta. Kita sudah beberapa kali kirim ke Jakarta, Malang, Surabaya dan Jambi," kata dia.
Sebelum memasarkan, Anik dan warga memikirkan nama untuk batik hasil kreasi mereka. Awalnya, warga mengusulkan nama batik Meliwis Putih. Meliwis Putih memang menjadi salah satu ikon desa ini. Konon, Prabu Angling Dharma pernah singgah di desa ini. Namun, nama Meliwis Putih ini tak jadi dipakai. Penyebabnya, sudah pengrajin daerah lain yang memakai nama ini.
"Ternyata nama Meliwis Putih sudah dipakai di Bojonegoro. Akhirnya, menggunakan nama Panji. Dasarnya, karena anak saya namanya Panji. Wong ini dasarnya tempat untuk belajar, pakai namanya Mas Panji saja," cerita Anik Muryantini sambil tersenyum.
Setelah batik dan nama produk ada, Anik kemudian menjualnya. Anik menjual batik produksi warga ini lewat media sosial Facebook dan Instagram. Yang tidak kalah pentingnya adalah penjualan lewat pertemanan. Anik mengaku mempunyai banyak relasi, karena sebelum menjadi kepala desa, dia pernah menekuni dunia dunia marketing.
Harga yang dibanderol pun bervariasi. Mulai dari harga Rp 250ribu yaitu batik dengan motif yang sederhana. Ada pula yang hargnya Rp500 ribu karena motifnya yang rumit dan memakan waktu lama dalam proses pembuatannya.
Bahan kain yang dipakai sengaja dipilih kualitas bagus yaitu dengan menggunakan kain katun primisima. Sengaja dipilih bahan kain yang bagus agar saat dicuci, batik tidak akan luntur.
Dalam proses pembuatannya, warga menggunakan canting listrik. Sedangkan proses pewarnaan membutuhkan waktu tiga hari. Pewarnaan dilakukan satu sampai tiga kali. Karena tiga kali proses membutuhkan biaya lebih banyak.
"Ada yang pesan, minta pewarnaan sampai tiga kali. Itu yang membuat mahal selain motifnya,' katanya.
Usaha batik yang sedang dirintis Anik bersama warga ini, ternyata mengundang perhatian Dinas Perindustrian Kabupaten Kediri. Dinas Perindustrian sempat menawarkan rencana program pelatihan keterampilan kepada masyarakat. Namun karena pandemi, rencana ini kemudian ditunda sementara waktu.
Anik berharap, jika Dinas Perindustrian serius ingin membantu usaha batik warganya, ajaklah warganya studi banding ke beberapa daerah pengrajin batik yang sudah terkenal. Agar mereka bisa belajar lebih banyak. Anik berharap rintisan usaha yang digeluti para warganya ini bisa terus berkembang. Dia menginginkan warganya nanti punya rumah batik sendiri.
"Khususnya dari sembilan warga yang di sini sudah belajar bersama nantinya bisa memiliki rumah batik sendiri. Mengingat peluang ini ada, karena sebentar lagi Kediri punya bandara," katanya.
Selain, berharap bekal kemampuan dari Dinas Perindustrian, Anik juga berharap bantuan permodalan. Saat ini modal yang digunakan masih menggunakan modal duit pribadi. Dia pantas berharap bantuan permodalan dari pemerintah, karena usaha batik warganya ini grafik penjualannya meningkat terus.
"Yang saya modalkan sekarang masih dana pribadi. Karena awalnya kita mengadakan pelatihan bukan melalui kedinasan," ujarnya.
Advertisement