Kok Ringan Sekali Sanksi Dewan Pengawas KPK untuk Firli Bahuri?
Indonesia Corruption Watch (ICW mempertanyakan sanksi ringan yang dijatuhkan majelis etik Dewan Pengawas (Dewas) kepada Ketua KPK Firli Bahuri.
"Putusan Dewan Pengawas KPK yang telah menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis II kepada Ketua KPK, Firli Bahuri dalam kasus penggunaan moda helikopter patut dipertanyakan," kata peneliti Divisi Hukum ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Jumat.
Pada Kamis kemarin, majelis etik Dewas KPK memutuskan Ketua KPK Firli Bahuri melakukan pelanggaran kode etik dan dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis II karena menggunakan helikopter bersama dengan istri dan 2 anaknya untuk perjalanan dari Palembang ke Baturaja dan Baturaja ke Palembang, Sumatera Selatan pada Sabtu, 20 Juni 2020 dan perjalanan dari Palembang ke Jakarta pada Minggu, 21 Juni 2020.
"Secara kasat mata tindakan Firli Bahuri yang menggunakan moda transportasi mewah itu semestinya telah memasuki unsur untuk dapat diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK," tutur Kurnia.
ICW, menurut Kurnia, memberikan 5 catatan atas putusan Dewas tersebut.Pertama, alasan Dewas yang menyebutkan Firli tidak menyadari pelanggaran yang telah dilakukan sangat tidak masuk akal.
"Sebagai ketua KPK, semestinya yang bersangkutan memahami dan mengimplementasikan Peraturan Dewas No. 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, apalagi tindakan Firli juga berseberangan dengan nilai integritas yang selama ini sering dikampanyekan oleh KPK, salah satunya hidup sederhana," ujar Kurnina.
Kedua, Dewas tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan. ICW pada 2018 melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.
"Berdasarkan laporan tersebut, pada September 2019, KPK mengumumkan bahwa Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik, bahkan saat itu dijatuhkan sanksi pelanggaran berat sementara dalam putusan terbaru, Dewas menyebutkan bahwa Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik," ungkap Kurnia.
Ketiga, Dewas abai dalam melihat tindakan Firli saat mengendarai moda transportasi mewah sebagai rangkaian atas berbagai kontroversi yang sempat dilakukan mulai dari tidak melindungi pegawai saat diduga disekap ketika ingin melakukan penangkapan sampai pada pengembalian "paksa" Kompol Rossa Purbo Bekti.
"Sehingga, pemeriksaan oleh Dewas tidak menggunakan spektrum yang lebih luas dan komprehensif," imbuh Kurnia.
Keempat, putusan Dewas sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk sebab sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis.
Jika dilihat ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewas No. 2 Tahun 2020, praktis tidak ada konsekuensi apapun atas sanksi ringan karena hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri.
"Kelima, lemah-nya peran Dewas dalam mengawasi etika pimpinan dan pegawai KPK seperti dalam kasus Firli, semesti Dewas dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut," ucap Kurnia.
Dewas tidak menyebutkan dengan terang apakah Firli sebagai terlapor membayar jasa helikopter itu dari uang sendiri atau sebagai bagian dari gratifikasi yang diterimanya sebagai pejabat negara.
Menurut Kurnia, Dewas KPK berhenti pada pembuktian bahwa menaiki helikopter merupakan bagian dari pelanggaran etika hidup sederhana.
"ICW sejak awal menilai bahwa eksistensi Dewas tidak pada kelembagaan KPK mengingat fungsi pengawasan KPK secara sistem telah berjalan dengan baik dengan adanya Deputi PIPM," kata Kurnia.
Terlepas dari putusan sanksi ringan yang mengecewakan tersebut, ICW menilai pelanggaran kode etik yang terbukti dilakukan Firli sudah lebih dari cukup untuk dirinya mengundurkan diri.
Kesimpulan didasari dari dua hal, pertama, Pasal 29 ayat (1) huruf f dan g UU No 19 Tahun 2019 tentang Revisi UU KPK yang menyebutkan menyebutkan untuk menjadi Pimpinan KPK harus memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya: tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi dan memiliki reputasi yang baik.
"Tentu Firli Bahuri tidak lagi memenuhi poin tersebut, sebab telah dua kali terbukti melanggar kode etik KPK," ujar Kurnia menambahkan.
Kedua, TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyebutkan bahwa penyelenggara negara harus mengundurkan diri apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
ICW bersama koalisi masyarakat sipil lain pun telah mengajukan uji formil atas UU No. 19 Tahun 2019 dengan harapan agar Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuan regulasi tersebut sekaligus membubarkan Dewan Pengawas KPK. (asm/ant)