Klarifikasi Keluarga, Pasien Wafat Saat Antre di RS Soewandhie
Keluarga Almarhum Asiasi, warga Surabaya yang meninggal saat sedang menunggu antrean ruangan ICU di RS Soewandhie mengungkapkan, alasan pihak keluarga menandatangani surat penolakan rujukan. Mereka mengaku takut akan gambaran risiko yang dipaparkan petugas rumah sakit.
Anak pertama Asiasi, Yesi setiawati menceritakan kronologi awal ibunya dirawat di RS Soewandhie hingga dinyatakan meninggal dunia saat menunggu ruang ICU.
"Ibu saya (Asiasi) masuk IGD Sabtu, 27 Mei dikasih infus dan obat di sana, kondisinya di situ masih bisa makan. Ibu saya harus rawat inap, tapi kamar penuh dan dikasih nomor antrean 17, lalu hari Senin tanggal 29 Mei itu baru dapat kamar," kata Yesi ditemui di rumahnya Jalan Tanah Merah Selatan.
Lanjutnya, pada Selasa, 30 Mei, dokter mengatakan bahwa ibunya harus dirawat di ruang ICU karena kondisinya yang terus menurun. Tetapi kamar ICU penuh dan harus mengantre dengan nomor atrean 6.
Di sini, Yesi mengungkapkan bahwa petugas RS menawari keluarga untuk merujuk pasien ke RS lain. Sayangnya, komunikasi mengenai risiko yang dipaparkan justru membuat keluarga takut.
"Petugasnya bilang, kalau dirujuk belum tentu dapat kamar di sana (RS lain), kalau dirujuk pemeriksaan juga harus dilakukan sejak awal. Pihak RS Soewandhie juga tak menjamin ibu saya dapat penanganan yang memadai bila dirujuk," ungkap Yesi menirukan perkataan petugas RS kala itu.
Di samping itu, tambah Yesi, hal lain yang membuat keluarga semakin takut untuk merujuk adalah fasilitas ambulans yang ada tidak memadai untuk membawa kondisi ibunya kala itu.
"Ambulans juga tidak memadai untuk pasien seperti itu (dengan alat bantu pernapasan), petugasnya bilang gitu. Otomatis kami sebagai keluarga juga takut, saya ingin ibu saya waktu itu tetap bernapas," terangnya.
Karena keterangan risiko yang dipaparkan petugas RS itu, akhirnya adik Yesi atau putri kedua, Asiasi, Ayu Dhea Hardiana menandatangani surat penolakan rujukan.
Selain itu, Yesi juga menampik bahwa tawaran rujukan dilakukan sejak awal ibunya dirawat di IGD. Pasalnya, tawaran tersebut baru dilakukan ketika ibunya akan dirawat di ICU dan ruang ICU penuh. "Waktu di IGD kamar penuh itu, tidak ada bilang untuk merujuk ke RS lain, cuma dikasih nomor antrian saja 17," ucap Yesi.
Meski demikian, Yesi dan keluarga juga berusaha mencari kamar rawat di RS lain. Tetapi kendala kembali ditemui karena pihak RS Soewandhie tidak memberikan hasil lab dan rekam jejak pasien.
"Waktu adik saya minta foto rekam jantung itu juga tidak boleh sama petugasnya, katanya itu untuk pribadi. Padahal RS lain yang saya hubungi minta hasil pemeriksaan ibu untuk dapat kamar di sana," terangnya.
Ia juga merasa, layanan di RS Soewandhie juga terkesan lambat dan tidak ramah. Karena beberapa kali saat meminta keterangan dari petugas, juga mendapatkan jawaban yang tidak ramah.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPRD Surabaya, Reni Astuti menuturkan ihwal pasien yang meninggal ketika antre di RS milik Pemkot Surabaya tersebut. Ia mengaku menerima pesan singkat terkait kondisi salah satu pasien di RS Soewandhie.
Laporan tersebut mengeluhkan pelayanan RS yang dinilai kurang maksimal dalam penanganan pasien bernama Asi, 52 tahun. Perempuan asal Tanah Merah Selatan itu dirawat di sejak Sabtu, 27 Mei 2023, karena kamar rawat inap penuh, akhirnya perawatan di lakukan di IGD.
Lanjutnya, setelah dirawat tiga hari kondisi pasien akhirnya memburuk dan harus dirawat di ICU. Tetapi pada saat itu pihak RS menyatakan bahwa ruangan tersebut sedang penuh.
"Menurut petugas RS memang perlu dirawat di ICU tapi karena penuh tidak bisa dan tetap di ruang perawatan. Keluarga bingung dan terkesan tidak ditangani maksimal. Alasannya ICU penuh," kata Reni, Kamis 1 Juni 2023.