KKJ Desak MA Cabut Aturan yang Menghambat Kebebasan Pers
Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan yang ditetapkan pada 27 November 2020. Salah satu yang diatur dalam aturan tersebut yaitu pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim. Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai aturan ini mengancam kebebasan pers dan mendesak agar dicabut.
Dalam siaran pers yang diterima Ngopibareng.id, komite yang beranggotakan 10 organisasi pers serta sejumlah organisasi masyarakat sipil itu menyebut jika ketentuan yang menghambat kebebasan pers itu tertuang dalam Pasal 4 ayat 6 yang berbunyi, "Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan." Pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat 6 dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan.
Peraturan ini pun sudah mulai diberlakukan. Seperti yang dilakukan Pengadilan Negeri Kelas 1A Palembang pada Selasa 5 Januari 2020. Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1 Palembang Bombongan Silaban SH LLM yang memimpin jalannya persidangan kasus narkotika hanya memberikan kesempatan para jurnalis untuk mengambil foto dan video selama 10 menit sebelum sidang. Selanjutnya para jurnalis pun tak diperkenankan lagi mengambil gambar dan video saat persidangan berlangsung.
Menurut KKJ, aturan serupa sempat dibuat oleh MA lewat Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan pada 7 Februari 2020 lalu. Dalam surat itu disebutkan jika pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV, harus seizin Ketua Pengadilan Negeri. Ketentuan ini kemudian dicabut oleh MA setelah mendapat protes dari berbagai kalangan.
Atas pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung ini, KKJ pun menyampaikan sejumlah sikap, pertama mendesak MA untuk segera mencabut ketentuan tersebut, seperti yang telah dilakukan pada Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan pada 7 Februari 2020 lalu.
Selanjutnya, KKJ meminta Mahkamah Agung untuk berhenti membuat ketentuan yang bisa membatasi jurnalis dalam melakukan pekerjaanya dan menghambat kebebasan pers. Selain itu, adanya ancaman pidana melalui kualifikasi tindakan mengambil gambar dan merekam tanpa seizin hakim sebagai penghinaan terhadap pengadilan, akan menambah daftar panjang kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Ancaman pidana ini juga berlebihan karena semestinya dapat dilakukan secara bertahap mulai dari peringatan ringan, sedang, hingga berat.
Terakhir, KKJ mendesak MA untuk mengevaluasi Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1 Palembang Bombongan Silaban SH LLM yang melarang jurnalis meliput persidangan kasus narkotika pada 7 Februari 2020 lalu. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kerja-kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi. Karena itu, pelarangan tersebut dapat disimpulkan sebagai upaya menghambat dan membatasi jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik di ruang sidang.
Diketahui, Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). KKJ bertujuan untuk mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis.