Kita Sudah Punya Undang-undang Kebudayaan, Terus Mau Ngapain?
Surabaya: Sejak jaman kemerdekaan, baru sekarang Indonesia mempunyai Undang-undang Kebudayaan. Karena memang tidak gampang membuat undang-undang bagi negeri yang memiliki sekitar 700 suku bangsa dan lebih dari seribu bahasa ini.
Sebenarnya RUU (Rancangan Undang-undang) Kebudayaan ini sudah dipersiapkan sejak dua periode DPR-RI sebelumnya, yaitu periode 2004-2009 serta 2009-2014. Bahkan dicanangkannya sudah sejak 1982.
“Tapi baru periode ini akhirnya RUU itu diselesaikan, dan disahkan 27 April lalu dengan nama Undang-undang Pemajuan Kebudayaan,” kata Ridwan Hisyam, pimpinan Komisi X DPR-RI dari Fraksi Golkar, pada Seminar UU Kebudayaan yang di selenggarakan DKJT (Dewan Kesenian Jawa Timur) di hotel Ibis Surabaya, hari Sabtu (13/5) pagi.
Selain Ridwan Hisyam, juga dihadirkan Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud. Seminar dibuka Kepala Disbudpar Jatim, Jarianto mewakili Gubernur Jatim Soekarwo. Seminar diikuti perwakilan Dewan Kesenian Kabupaten/Kota di Jatim, seniman dan budayawan, dengan moderator Asru.
Tadinya banyak yang menentang undang-undang ini, kata Ridwan Hisyam. “Mereka itu berdalih, kebudayaan kok mau diatur. Kebudayaan itu lahir dari masyarakat, jadi tidak perlu pemerintah mengaturnya. Apalagi kebudayaan itu adalah warisan para leluhur,” tambahnya.
Tapi setelah lama disosialisasikan dan kita jelaskan kepada masyarakat bahwa diperlukan payung hukum untuk kegiatan kebudayaan dan berkesenian, akhirnya masyarakat bisa menerima juga kehadiran UU Kebudayaan ini.
“Polemik yang sebelumnya sempat mencuat adalah dimasukkannya rokok kretek sebagai warisan kebudayaan ini. Karena banyak penolakan terhadap poin ini, maka kita coret rokok kretek dari RUU Kebudayaan,” jelas Ridwan Hiyam.
UU Pemajuan Kebudayaan yang akhirnya disahkan legsilatif itu terdiri dari 61 pasal. “Apabila tidak ada tanggapan lagi dari pemerintah, maka secara otomatis undang-undang ini akan diberlakukan,” tambahnya.
Setelah kita memiliki Undang-undang Kebudayaan, terus mau ngapain? Atau, bagaimana caranya dengan Undang-undang Kebudayaan ini bisa membawa masyarakat pada cita-cita sebagaimana yang diamanatkan dalam pengantar UUD 1945 yaitu menyejahterakan dan mencerdaskan rakyat? Pertanyaan ini dilontarkan Hilmar Farid.
“Saat ini, sebagian besar dari kita masih melihat kebudayaan sebagai dekorasi, sebagai asesoris bangsa. Karena itu kita beharap undang-undang ini dapat menempatkan kebudayaan sebagai mana mestinya, yaitu sebagai suatu bidang atau suatu sektor,” jelas Hilmar.
“Kami sudah melakukan pendataan dan untuk sementara sudah mencatat bahwa kita memiliki 90 ribu item warisan budaya. Bandingkan dengan India yang memiliki 2,2 juta item warisan budaya. Kita akan cari terus, dan akan menjadikannya sebagai dasar bidang atau sektor,” tambahnya.
“Kalau kita hendak bersaing dalam hal industry manifactur dengan China, India dan Korea Selatan, kita jelas kalah. Tetapi sebagaimana yang dikatakan Presiden Jokowi bahwa kita ini sebenarnya memiliki DNA kebudayaan, maka dibidang inilah sebenarnya letak kekuatan kita,” lanjut Hilmar Farid.
Karena itu, kata Hilmar, Indonesia harus memperbanyak SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) bidang kesenian. “Jangan memperbanyak lagi SMK perbengkelan. Sudah cukup. Sementara SMK kesenian di seluruh Indonesia jumlahnya hanya 6 SMK,” kata Dirjen Kebudayaan.
“Pemerintah kabupaten dan kota yang jumlahnya 515, jangan semuanya bernafsu membangun Taman Budaya. Taman Budaya penting, tapi tidak seluruh 515 pemkab/pemkot memerlukannya. Lebih baik anggaran untuk membangun Taman Budaya itu diberikan pada PAUD saja, agar kesenian masuk ke sana. Dari pada membangun Taman Budaya tapi tidak ada kesenian yang bisa ditampilkan,” katanya.
Sebelumnya Kepala Disbudpar Jatim Jarianto dalam sambutannya mempertanyakan, apakah saat ini keberadaan Dewan Kesenian di daerah itu masih diperlukan? “Dewan Kesenian itu masih diperlukan atau dibubarkan saja. Karena posisinya tidak jelas. Mudah-mudahan dengan adanya Undang-undang Pemajuan Kebudayaan ini posisi Dewan Kesenian akan lebih jelas, dengan pimpinan yang lebih berkompeten,” kata Jarianto. (nis)