Kissinger (2): Sosok Pembentuk Sejarah
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember
Sebelumnya artikel berjudul Kissinger (1): Sosok Dibentuk Sejarah, sudah dipublikasikan, Sabtu 9 Desember 2023.
=======
Tahun 1961, sebagai akademisi muda, Henry Kissinger punya jadwal presentasi di Kansas City, Missouri. Di sela agendanya yang padat, ia sempat mampir ke kediaman Harry S. Truman. Dalam kunjungannya ini, ia bertanya kepada mantan Presiden Amerika Serikat (AS) ini; apa yang membuatnya bangga selama masa kepresidenannya.
Truman menjawab: “Kami (telah) mengalahkan musuh-musuh (AS) secara total dan kemudian membawa mereka kembali ke komunitas bangsa-bangsa. Saya pikir hanya Amerika yang telah mampu melakukannya”.
Kissinger senang dengan ungkapan ini. Tak pelak, ia menjadikan nukilan perbincangannya ini sebagi paragraf pembuka dalam bukunya, World Order, yang terbit tahun 2014.
Senangnya Kissinger bukanlah sekedar terkesan atas jawaban Truman. Lebih dari itu, substansi jawaban selaras dengan pemikirannya. Kedua tokoh ini menyadari pentingnya kontribusi kekuatan AS dalam membangun tatanan dunia (world order).
Tak pelak, ungkapan Truman jadi referensi. Bahkan, Kissinger menegaskan semua Presiden AS mengikuti, setidaknya beberapa versi, dari narasi Truman tersebut. Mereka bangga terhadap atribut serupa yang melekat pada peranan internasional AS. Pasalnya, dalam sebagian besar periode ini, tatanan dunia selalu mencerminkan keinginan Amerika.
Klaim Kissinger ini, secara implisit, sebenarnya justifikasi terhadap kreasi politiknya sendiri. Toh, semua maklum; ia adalah pemikir sekaligus pelaksana politik luar negeri dua Presiden Amerika, Richard Nixon dan Gerald R. Ford.
Sebagai pemikir politik luar negeri AS, Kissinger sering disejajarkan dengan George F. Kennan. Sosok terakhir ini terkenal dengan gagasannya tentang kebijakan pembendungan (containment policy) terhadap pengaruh Komunis Uni-Soviet pasca Perang Dunia II, sedangkan Kissinger tersohor sebagai arsitek tatanan dunia (world order) era Perang Dingin.
Ia dianggap berhasil merajut hubungan AS dengan Uni-Soviet dan China kala Perang Dingin mencapai puncaknya. Bagaimana memahami gagasan politik Kissinger dan menempatkannya dalam peta teoritis hubungan internasional?
Dalam kisah pemikiran politik, sosok Kissinger menguatkan keajegan sejarah, khususnya menyangkut lahirnya gagasan Realisme. Lingkungan kehidupan yang tragis telah membentuk pola pikiran teoritisinya.
Thucydides terhimpit perang Peloponnesian (431-405 SM), Nicollo Machialvelli terjebak perang Renaisans yang berkepanjangan (1494-1559), dan Thomas Hobbes menyaksikan kebrutalan perang sipil Inggris (1642 -1651). Sementara itu, Kissinger menjadi saksi hidup sekaligus penyintas kekejaman NAZI (1933-1945).
Seperti telah disinggung dalam tulisan seri pertama, pemikiran Kissinger terbentuk berkat renungannya atas pengalaman getir hidupnya tersebut. Kesengsaraan akibat kekuasaan meninggalkan residu dalam angan. Ketidakberdayaannya di bawah represi NAZI, menginspirasinya untuk merenungkan struktur kekuasaan.
Baginya, kelemahan adalah ladang subur bagi penderitaan. Fritz Kraemer, mentor politiknya, mengatakan: “Hal ini membuatnya (senantiasa) mencari ketertiban (order), (dan) selalu haus akan penerimaan (dunia) terhadap dirinya”. Pernyataan ini menguak posisi Kissinger, sebagai tokoh Realisme klasik, dalam konteks ‘penjelasan dunia’ (world explanation).
Sosoknya mencerminkan dua motif manusia sekaligus, yaitu ‘mempertahankan diri’ (ala John Herz) dan ‘pembuktikan diri’ (ala Hans Morgenthou). Dalam kaitan ini, Kissinger meyakini, bahwa obsesinya akan tatanan dunia (world order) tak akan terwujud tanpa peran penting power (kekuatan).
Abstraksi proposisinya, pengalaman sosiologis membentuk pemikiran politik. Yang menghunjam dalam psyche-nya menjadi fondasi konseptualisasi teoritisnya. Sedimen pengalaman empiris dalam otaknya menyemai keyakinannya bahwa kekuasaan dan fungsi kekuatan berakar pada sifat manusia (human nature).
Kissinger menafsirkan bahwa dunia ditentukan oleh orang kuat atau dibentuk oleh kekuatan besar. Dalam prosesnya, terdapat kaitan erat antara kepribadian seseorang dan kebijakan yang dibuatnya. Nalurinya terhadap hubungan dan perimbangan kekuasaan tumbuh, baik secara psikologis melekat dalam pribadinya maupun tertuang dalam kebijakan geostrategis-nya.
Tak mengherankan, jika dalam pemetaan paradigmatis Realisme, Kissinger ditempatkan sebarisan dengan Hans Morgenthou dan Reinhold Niebur. Asumsi teoritisnya, peranan agency seperti yang diyakini Realisme klasik, lebih menentukan dinamika hubungan internasional daripada fungsi system, argumen yang disuguhkan oleh neo-Realisme.
Dalam kaca benggala sejarah, Kissinger menemukan bayangan sosok imaginatif-nya. Idolanya itu adalah Otto von Bismarck, tokoh yang dikenal sebagai “Iron Chancellor” (kanselir besi) Prusia. Syahdan, pandangan tokoh ini menjadi referensinya, sedangkan langkahnya menjadi tambatan empiris untuk urusan internasional. Secara historis, Bismarck menggunakan Realpolitik untuk menancapkan dominasi Prusia atas Jerman.
Guna meraih tujuannya, ia tak segan memanipulir isu politik. Jika perlu, ia tak enggan pula membenturkan negara-negara lain dalam perang. Dengan referensi ini, Kissinger menekankan “(adalah) mendesak bahwa kebijakan luar negeri harus didasarkan bukan pada sentimen tetapi pada penilaian kekuatan”. Prinsip realis ini menjadi panduan utama dalam kebijakan luar negerinya.
Prinsip Kissinger di atas, jelas berpotensi bertabrakan dengan nilai moral. Ia sempat menuai kecaman. Bahkan, Frits Kraemer, sempat mengingatkannya: “kamu mulai berperilaku tidak manusiawi lagi (menschlich) dan orang-orang yang mengagumimu mulai menganggapmu keren (cool), bahkan mungkin sosok yang dingin (cold)”.
Kritik ini mungkin terasa masam, tapi tak membuatnya enggan. Sebagai pakar sejarah politik Eropa pasca Napoleon dan penyintas Holocaust, ia tetap teguh dengan pendiriannya. “Kaum intelektual, idealis, (dan) orang-orang yang bermoral tinggi tidak (akan) punya peluang”, ujarnya. Bahkan, ia menegaskan pula bahwa “masalah politik yang paling mendasar bukanlah pengendalian kejahatan, namun pembatasan kebenaran”. Sebuah penegasannya yang kontroversial.
Tapi, Kissinger bergeming. Bahkan, tindakannya senantiasa menghidupi kata-katanya. Baginya, menempatkan moralitas pada fungsinya selalu rumit. Dalam artikelnya tahun 1977, ia menulis: “Moralitas tanpa keamanan tidak akan efektif. Keamanan tanpa moralitas adalah hampa”.
Namun, secara empiris tidak mudah untuk mewujudkannya. Tak heran, jika tahun 2015 Profesor Stanley Hoffman, pakar hubungan internasional yang sempat menjadi koleganya di Harvard University, mengatakan: “Upaya Kissinger adalah mewujudkan realpolitik tanpa homili moral!”.
Namun, saya punya pandangan yang berbeda. Kissinger justru menempatkan moral secara kontekstual. Ia mengkaitkannya dengan dua aspek krusial. Pertama, meminjam istilah Goulmin, adalah ‘pencarian sebuah kepastian’ (quest for certainty). Kedua, merujuk terminologi Max Weber, yaitu ‘etika tanggung jawab” (ethics of responsibility).
Secara elaboratif, ia menegaskan bahwa dalam politik internasional moralitas dan kekuasaan tidak harus dipertentangkan. Postulatnya, setiap kebijakan luar negeri yang serius harus bermula dari kebutuhan untuk bertahan hidup, sedangkan kelangsungan hidup mempunyai kebutuhan praktisnya sendiri.
Selanjutnya, ia menegaskan doktrinnya: “Sebuah negara besar (seperti AS) yang menyerahkan keamanannya kepada pihak lain pada dasarnya merupakan pengingkaran terhadap kebijakan luar negerinya. Jadi, semua kebijakan luar negeri yang serius dimulai dengan menjaga keseimbangan kekuatan (balance of power) – ruang lingkup tindakan, kapasitas untuk mempengaruhi peristiwa dan kondisi. Tanpa kapasitas tersebut, negara hanya akan melakukan hal-hal yang hampa”.
Keteguhan sikapnya sangat kentara mewujud dalam kebijakannya. Menurut Kissinger “keterlibatan suatu negara dalam urusan dunia bukanlah karena pilihan, tetapi harus berdasarkan realitas politik. Prinsip ini merupakan penjelas fleksibilitas kebijakan luar negerinya. Dampaknya, banyak yang memandangnya sebagai sosok yang pragmatis. Tapi, tidak sedikit pula juga yang justru menilainya lincah dalam manuver diplomasi.
Tak pelak, jejak langkahnya pun berserakan. Tahun 1969, sesaat setelah dilantik national security adviser, ia gercep menanggalkan politik pembendungan Komunis, yang telah menjadi fondasi politik luar negeri AS selama dua dasawarsa. Tahun 1969, ia menginisiasi peredaan ketegangan (détente) dengan Uni-Soviet, yang berujung pada pencapaian Strategic Arms Limitation Talks I (SALT I). Tahun 1972, ia juga berhasil meretas jalan untuk kunjungan Nixon ke China, lawatan pertama kali seorang Presiden AS ke negara Komunis ini.
Tapi, jejak ‘berdarah’-nya juga banyak ditemui. Di antaranya, keputusan bombardemen terhadap Cambodia tahun 1969 yang menewaskan lebih dari I juta orang. Sikap acuh tak acuhnya pada genosida tahun 1971 di Pakistan Timur, dengan mendukung militer Pakistan berperang guna mencegah kemerdekaan Bangladesh.
Tahun 1973, ia juga mendukung kudeta militer pimpinan Augusto Pinochet untuk menggulingkan Presiden Chile terpilih, Salvador Allende, yang dianggap pro-Komunis. Jejak serupa juga ada di Indonesia.
Tahun 1975, dalam perjalannannya ke China, Presiden Gerald Ford dan Kissinger singgah di Jakarta dan bersusah payah meyakinkan Pak Harto, bahwa AS tidak menentang invasi ke Timor Timur. Bahkan, Kissinger memberi jaminan seraya mengatakan: “Kami akan mampu mengendalikan reaksi di Amerika, jika apa pun terjadi (akibat invasi) setelah kami kembali (ke AS)”.
Ilustrasi berbagai jejak berdarah ini, digambarkan Gary Bass, ahli politik di Princeton, sebagai bagian “di antara babak-babak tergelap dalam Perang Dingin” (among the darkest chapters in the Cold War).
Sebagai pembentuk sejarah tatanan dunia, Kissinger merupakan cermin sosok yang kompleks. Joseph S. Nye, murid sekaligus rivalnya, menegaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah “a sophisticated realpolitik”.
Walhasil, tak mudah untuk mencapai presisi dalam menilainya. “Perdebatan apakah ia penasehat atau Menteri Luar Negeri AS yang cerdas atau seorang yang agresif dan tidak kenal ampun sepertinya tidak akan mencapai kesimpulan dalam waktu yang singkat”, tutur Jeremi Suri, pakar sejarah dari Universitas Texas.
Yang jelas, Kissinger begitu percaya diri dalam setiap langkahnya dan tak pernah menyesalinya. Hal ini tercermin dalam untaian kata-katanya yang bernada nasehat: “Terimalah segala sesuatu tentang dirimu -maksudku segalanya. Kamu adalah kamu, dan itulah awal dan akhir- tanpa permintaan maaf, tanpa penyesalan”. Kata Richard Aldous, sejatinya, Henry Kissinger merupakan kamus hidup bagaimana belajar menjadi seorang realis! Wallahu’alam....
Advertisement