Kissinger (1): Sosok Dibentuk Sejarah
Oleh:
Himawan Bayu Patriadi, PhD., Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember
-----------
Orang besar tak hanya tercermin dari gagasannya, tapi juga terlihat dalam legacy-nya. Henry Kissinger, yang meninggal 29 November 2023 lalu dalam usia 100 tahun, merupakan salah satu sosoknya. Selain arsitek tatanan dunia (world order) selama Perang Dingin, ia juga dianggap peletak landasan politik luar negeri Amerika Serikat (AS) kontemporer.
Graham T. Allison, Profesor dari Harvard University, menegaskan: “Hampir mustahil membayangkan hubungan AS saat ini dengan negara-negara rising power yang paling penting di dunia saat ini tanpa (peranan) Henry (Kissinger di masa lalu)”.
Tapi, sepak terjang Kissinger tak luput dari kontroversi. Al Jazeera menyebutnya sebagai ”tokoh realpolitik (bertangan) dingin yang meninggalkan warisan kehancuran”. Bahkan, Ahmed Twaij, jurnalis Timur Tengah; menyatakan bahwa Kissinger pergi dengan meninggalkan “warisan ragam kebijakan yang berdarah” (a legacy of bloody policies).
Saya tahu nama Kissinger saat masih di Sekolah Dasar. Itupun dari mendengar, bukan karena belajar. Kebetulan saya sering nguping ketika Bapak menyimak berita radio luar negeri. Di kampung yang belum tersentuh TV, kala itu radio gelombang pendek seperti Voice of America (VoA), BBC, dan Deutsche Welle (DW) merupakan hiburan pagi atau sore hari.
Alkisah, dalam berita tersiar Kissinger bolak-balik berkunjung Israel, Mesir, dan Suriah. Saat itu, saya mencernanya hanya berdasar common sense. Langkah Kissinger tersebut tak lebih dari kesibukannya sebagai seorang Menteri Luar Negeri.
Setelah menjadi mahasiswa di Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gajah Mada; pemahaman saya lebih memadai untuk menilai. Kunjungan Kissinger ke Israel, Mesir dan Suriah; memang menunjukkan kepiawaiannya dalam memainkan the art of “shuttle diplomacy”.
Tapi, pandangan saya telah berkembang. Diplomasinya pasca perang Yom Kippur tahun 1973 ini bukanlah sekedar kepeduliannya terhadap perdamaian, tetapi lebih merupakan bagian strategi globalnya demi kepentingan nasional AS.
Kelincahannya bermanuver dalam politik luar negeri yang melambungkan namanya. Bahkan, Presiden Gerald Ford menjulukinya sebagai “Menteri Luar Negeri Super”.
Namun, orang sering lupa, bahkan mungkin alpa; bahwa Kissinger bukan hanya tokoh pembentuk sejarah. Ia juga sosok yang dibentuk oleh sejarah. Karakter pribadi, pengalaman, dan pengamatannya sepanjang lorong waktu kehidupannya mempengaruhi gagasan dan langkah politik internasionalnya.
Lahir di Fürth, Bavaria, Jerman; Kissinger merupakan keturunan Yahudi. Tahun 1938, kala berusia 15 tahun, ia dan keluarga berimigirasi ke AS guna menghindari represi NAZI.
Sejak kecil ia sudah kutu-buku dengan sifatnya yang introvert. Tapi, semangat kompetitifnya tinggi. Karakternya ini kental mewarnai perjalanan akademiknya yang cemerlang.
Semasa di SMA, ia bukan hanya selalu meraih nilai tinggi, tapi juga piawai menuangkan gagasan kritisnya dalam tulisan.
"Kala saya datang ke sini (AS) tahun 1938, saya diminta untuk menulis esai di George Washington High School tentang apa artinya menjadi orang Amerika. Saya menulis bahwa… (AS) ini adalah negara di mana seseorang dapat berjalan dengan kepala tegak”, kenangnya.
Otaknya yang encer dan sifatnya yang ambitious menghantarkannya studi Harvard University. Sifatnya yang introvert dan kutu buku tetap menggelayutinya. Dalam keseharian, ia cenderung menghindari kehidupan sosial mahasiswa. Pasalnya, “ia bekerja lebih keras, belajar lebih banyak,” ujar temannya sekamar.
Bahkan, “Ia membaca sampai jam 1 atau 2 pagi. Ia memiliki semangat dan disiplin yang luar biasa”, tambahnya. Belajar kerasnya berbuah prestasi akademik yang mentereng. Di bawah bimbingan Profesor Elliott, ia menulis skripsi “The Meaning of History”, mengkaji pemikiran Immanuel Kant, Oswald Spengler dan Arnold Toynbee.
Tertuang sepanjang 383 halaman, skripsinya kemudian dikenal sebagai “Kissinger’s rule” (aturan Kissinger), karena menjadi acuan ambang batas informal ketebalan skripsi di Harvard. Tahun 1950, ia tamat undergraduate dengan predikat summa cum laude.
Di jenjang postgraduate prestasinya juga tak kalah cemerlang. Setelah meraih MA Degree tahun 1951, Kissinger melanjutkan program PhD di Universitas yang sama. Tahun 1954, ia meraih PhD degree. Disertasinya ditahbiskan sebagai disertasi terbaik dengan rekor jumlah halamannya terbanyak di Harvard University.
Tapi, ia kemudian kecewa karena kualifikasi kelulusannya gagal memenuhi ambisinya. Pasalnya, meski lulusan PhD terbaik tapi tak ada tawaran assistant professorship dari Harvard untuk dirinya. Konon, kalangan dosen tak begitu suka padanya, karena ia dianggap sosok yang egois.
Hatinya terluka, seperti tertuang dalam tulisannya: “Pada tahun 1954 di Harvard, aku selalu menjadi orang yang eksentrik, (dan) aku selalu menjadi outsider. (Saat itu) aku mengalami saat-saat yang sangat buruk”. Ketika masuk jajaran pemerintahan Presiden Nixon tahun 1969, Kissinger masih jengkel atas perlakuan Harvard University terhadap dirinya.
Bahkan, ia sempat meluapkan secara langsung kepada sang Presiden: “Masalah dengan dunia akademis adalah bahwa anda sepenuhnya bergantung pada rekomendasi pribadi dari beberapa orang (yang mengidap) egomania”. Sakit hatinya yang membatu ini nampaknya tak lepas dari semangat kompetitifnya yang tinggi. Apalagi, ia merasa bahwa dengan kualifikasi akademik yang dimilikinya orang seharusnya tak perlu lagi meragukannya.
Namun, sejarah mencatat bahwa karier profesionalnya yang justru melambungkan namanya. Bagi Kissinger, tuangan gagasannya dalam tulisan adalah instruksi bagi dirinya. Pemikirannya dalam disertasi merupakan mencerminkan visinya tentang tatanan dunia (world order), sekaligus melandasi kreasi politik internasionalnya.
Disertasinya dengan tajuk “Peace, Legitimacy, and the Equilibrium: A Study of the Statesmanship of Castlereagh and Metternich”, kemudian dibukukan dengan judul “A World Restored”. Argumennya, perdamaian dan stabilitas lahir bukan dari upaya mencapai perdamaian itu sendiri.
Perdamaian akan hadir dengan “perjanjian internasional yang sifat pengaturannya bisa dijalankan serta tujuan dan metode kebijakan luar negeri yang bisa ditolerir”, tegasnya.
Intinya, perdamaian hanya bisa diwujudkan dengan penggabungan tiga komponen: rules (aturan), power (kekuatan), dan stability (stabilitas) secara simultan. Implikasinya, sebuah kerangka tatanan internasional (a framework of international order) akan berjalan efektif jika disetujui negara-negara besar. Meskipun kontroversial, gagasannya ini telah menghantarkan kesuksesan dalam kiprah internasionalnya.
Yang perlu dicatat, pemikiran Kissinger tidak lahir dalam ruang hampa. Pengalaman hidupnya di bawah represi Nazi menyebabkan kegetiran menyelimuti hidupnya. Sohibnya, Fritz Kraemer, mengatakan bahwa Kissinger sebenarnya seorang yang kuat, tapi “Nazi telah merusak jiwanya”. Di Jerman, Kissinger kecil, yang suka bermain sepak bola, bukan hanya di-bully tapi juga sering dipukuli oleh pemuda Nazi. Deritanya menjadi lengkap dengan keluarnya UU Nuremberg tahun 1935 yang melarang Yahudi berkerja di lembaga pemerintahan. Akibatnya, ayahnya yang berprofesi sebagai guru SMA harus kehilangan pekerjaannya.
Nasib Yahudi yang mengenaskan, menambah kepedihan hatinya. Di akhir Perang Dunia II, sebagai bagian pasukan AS, Kissinger yang masih berusia 23 tahun ditugaskan ke Jerman sebagai penterjemah. Ia sempat bertandang ke Fürth, kota kelahirannya. Di sana, ia mendapati hanya 37 warga Yahudi yang tersisa.
Perjumpaannya dengan para penyintas kamp konsentrasi NAZI ini memberinya makna berharga tentang sifat manusia (human nature). Dalam suratnya ia menulis, “mereka menyadari bahwa melihat ke belakang berarti kesedihan, dan kesedihan adalah kelemahan, sedangkan kelemahan identik dengan kematian”. Sebuah guratan yang senantiasa menghidupi pemikirannya tentang struktur kekuasaan di dunia.
Pada awalnya, Kissinger menyangkal trauma yang dialaminya, apalagi mengakui dirinya paronia. Ia menampik bahwa pengalaman pahitnya di masa kecilnya berbekas pada psyche-nya.
Dalam wawancara tahun 1971, ia menyatakan: “Saya tidak secara sadar merasa tidak bahagia. Saya tidak begitu menyadari apa yang sedang terjadi (waktu itu)”. Namun, banyak kawan dekatnya bertutur bahwa pengalaman pahit Kissinger di bawah NAZI Jerman yang represif telah mempengaruhi pemikirannya, melebihi dari yang ia akui. Bahkan, masih menurut mereka, pentingnya pengaruh itu mungkin lebih dari yang ia sadari. Tapi, perjalanan waktu menyulut memorinya.
Dalam wawancara dengan The Times tahun 2022, ia mengungkap kenangannya yang menyakitkan, mulai intimidasi dari pemuda NAZI yang ia alami sampai kesedihannya karena harus kehilangan banyak kerabat, terutama kakeknya, yang mati karena kebrutalan NAZI. Setidaknya, 23 kerabatnya tewas dalam kamar gas dan kamp konsentrasi NAZI.
Drama tragis kehidupannya saat belia menempa pemikirannya. Insekuritas yang dirasakannya, penghinaan terhadap ayahnya, dan musnahnya kerabatnya telah membentuk cara pandangnya terhadap dunia. Walhasil, Kissinger memetik pelajaran dari kegetiran hidup yang melandanya. Untuk menghindarinya, ia yakin bahwa kekuatan (power) merupakan sarana yang utama. Semua derita yang dialaminya, tanpa disadarinya, telah membentuk realist personality dalam dirinya. Eskpresinya tercermin dalam gagasan dan obsesinya. Kissinger senantiasa ingin meracik tatanan dunia (world order), dan kekuatan selalu menjadi andalannya. Baginya, diplomasi tak ubahnya bak sebuah konser kekuatan (a power concert). Dalam nada canda, tapi sarat makna, ia pernah menegaskan: “power is the ultimate aphrodisiac!”.
(Bersambung)