Kisah Suku Boyan Bawean, Pelancong Penghasil Devisa (Tulisan I)
Mentari baru meninggi ketika kapal roro layaknya sebuah titik hitam yang semakin membesar mendekat ke dermaga Bawean, Sabtu 28 Oktober pekan lalu. Ratusan warga Suku Boyan, sebutan warga Bawean, yang sudah lama menunggupun bersorak. Mereka melambai dan berteriak riang, meski tak ada jaminan teriakan sampai ke kapal.
KM Giliiyang yang mereka tunggupun akhirnya merapat. Sekitar 150 penumpang yang turun langsung disambut hangat. Meski hampir seluruh penumpang turun, beberapa awak kapal masih tetap sibuk. Ratusan kardus barang mereka turunkan, kwintalan aneka kebutuhan pokok mulai beras, telur, hingga gula tak lupa mereka keluarkan dari dalam kapal. Tak hanya itu, puluhan sepeda motor tanpa plat nomor alias gres juga tampak satu persatu mereka derek dari atas kapal.
Tak hanya itu, dua buah mobil gres juga tampak diturunkan dari dalam kapal yang sebenarnya didesaind hanya untuk penumpang tersebut. “Ini oleh-oleh yang kamu minta,” kata Mudhofir, warga Singapura yang juga masih memiliki KTP Bawean, sambil menunjukkan sebuah mobil daihatsu senia terbaru warna hitam kepada tiga saudaranya yang menunggu di dermaga.
Lambat tapi pasti, dermagapun kembali sepi seiring keluarnya para Suku Boyan ini dari pelabuhan. Di pertigaan demarga mereka kemudian terpecah. Yang memiliki tujuan Sangkapura langsung berbelok ke kanan alias arah timur. Sementara untuk tujuan kecamatan Tambak ke arah sebaliknya.
Berjarak sekitar 80 mil atau 120 km dari Gresik, Pulau Bawean terbagi dalam dua kecamatan yaitu Tambak dan Sangkapura. Ibut kota pulau ini berada di Sangkapura yang ditandai dengan sebuah alun-alun pasar serta masjid jamik.
Kebanyakan orang, menamai pulau ini dengan sebutan pulau putri karena kaum perempuan mendominasi. Bahkan di era tahun 1980an, pernah ada yang mengklaim bahwa penduduk pria di pulau ini hanya 10 persen saja. Para lelaki lebih suka meranatu ke negeri seberang menjadi TKI.
Di Bawean, mata uang berbagai negara juga lazim digunakan. Jual beli dengan menggunakan mata uang asing lazim di pulau dengan luas 200 km persegi itu. Biasanya meski membayar dengan dollar, mereka akan mendapatkan kembalian berupa rupiah.
Di Bawean, money changer resmi hanya ada satu yaitu di Bank Jatim cabang Bawean, selebihnya hampir seluruh toko maupun warung merangkap money changer tak resmi.
Bahkan ada beberapa warga Bawean yang setiap pekan pergi ke beberapa negara tujuan TKI Bawean semisal ke Malaysia Singapura dan Australia. Mereka ini biasanya adalah para pengawal atau cukong yang bekerja untuk mengambil kiriman uang atau mengantarkannya kepada para saudara TKI yang ada di Bawean.
Dari catatan Bank Jatim cabang Bawean, tiap bulannya minimal ada Rp10 miliar kiriam uang dari para TKI. "Sejak Bank Jatim berdiri tahun 2001, kiriman paling kecil Rp3,5 miliar. Selebihnya sekitar Rp10 miliar, jika hari raya, biasanya sekitar Rp20miliar,"ujar Suyoto, bagian nasabah Bank Jatim Cabag Bawean.
Angka ini belum lagi hasil kiriman para TKI yang melewati para pengawal atau cukong. Tokoh Bawean, Syariful Mizan menyebut jika aliran devisa dari para pengawal saja perbulannya bisa mencapai Rp5-10 miliar.
"Di Bawean jumlah pengawal dulu mencapai 250 an orang. Kalau tiap bulan mereka mengantarkan Rp20 juta saja kan sudah Rp5 miliar. Padahal biasanya tiap bulan bisa mencapai ratusan juta tiap pengawal. Tapi sekarang para pengawal ini sudah jarang karena para TKI sekarang tinggal transfer bank saja," kata pemilik toko bahan bangunan ini.
Melimpahnya devisa ke Bawean cukup beralasan, bahkan catatan NU Bawean menyebutkan jika jumlah pendulang devisa ini mencapai 3 kali lipat lebih dari jumlah penduduk yang kini masih bertahan di Bawean.
Mizan kemudian menyebut jika saat ini setidaknya terdapat 120 ribu lebih warga bawean yang berada di Malaysia, selain itu juga ada sekitar 80 ribu lebih yang berada di Singapura.
Selebihnya sekitar seribu tersebar di beberapa Negara lainnya. "Padahal penduduk yang menetap di Bawean hanya 70 an ribu jiwa," katanya.
Sangking banyaknya, warga bawean menolak jika para pendulang devisa ini dikatakan TKI. "Mayoritas sudah menetap dan menjadi warga negara setempat dengan memiliki KTP ganda. Jadi mereka tidak mau disebut TKI," kata dia. Bersambung. (wah)
Advertisement