Kisah Sufi: Si Bebal di Kota Agung, Penyusunan Tradisi
1. Si Bebal di Kota Agung
Ada berbagai macam kesadaran. Hanya satu yang benar. Manusia tertidur, tetapi ia mesti bangun dengan cara yang benar. Ada sebuah kisah tentang Si Bebal yang bangunnya keliru.
Si Bebal ini datang ke sebuah kota besar, dan ia kebingungan melihat banyaknya orang di jalanan. Muncullah kekhawatirannya bahwa jika nanti ia tertidur dan bangun, ia tak bisa lagi menemukan dirinya di tengah kerumunan orang yang ramai. Karena itu, ia pun mengikatkan sebuah labu di mata kakinya agar ia bisa mengenali dirinya.
Seorang yang suka iseng, mengetahui apa yang dikerjakan Si Bebal, menanti hingga ia pulas tertidur. Dilepaskannya ikatan labu itu dari kaki Si Bebal lalu dikaitkannya ke kakinya sendiri. Ia pun berbaring di lantai dan tidur. Si Bebal bangun lebih dahulu dan melihat labu itu. Mula-mula disangkanya orang lain itu pasti dirinya sendiri. Tetapi kemudian, ia menyerang orang itu, sambil berteriak lantang, "Demi langit, kalau kau itu aku, lalu siapa dan mana pula aku!"
Catatan:
Kisah ini, yang juga muncul dalam kumpulan lelucon Mulla Nasruddin yang terkenal di Asia Tengah, termuat dalam karya klasik spiritual Salaman dan Absal karya penulis dan ahli mistik abad kelima belas, Abdur-Rahtuan Jami. Ia datang dari Oxus dan wafat di Herat setelah mengukirkan namanya sebagai salah satu tokoh sastra terdepan dalam bahasa Persia.
Jami memunculkan banyak ketidaksukaan di kalangan pemuka agama karena keterusterangannya, terutama pernyataannya bahwa ia tidak mempunyai guru kecuali ayahnya sendiri.
2. Penyusunan Tradisi
Konon, ada sebuah kota yang memiliki dua jalan yang sejajar. Seorang darwis berjalan melewati salah satu jalan itu, dan ketika ia sampai di jalan kedua, orang-orang melihat matanya berlinang air mata. "Ada orang meninggal di jalan sebelah itu!" teriak seseorang, dan segera saja semua anak di sekitar daerah itu mendengar teriakan tersebut.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa darwis itu telah mengupas bawang.
Dalam sekejap, teriakan itu telah mencapai jalan pertama; dan orang-orang dewasa di kedua jalan itu menjadi sangat tertekan dan khawatir (sebab masyarakat di kedua jalan itu saling berhubungan) sehingga mereka takut menyelidiki lebih lanjut sebab musabab kehebohan itu.
Lalu, datanglah seorang bijaksana mencoba bertanya-jawab dengan orang-orang di kedua jalan itu, menanyakan mengapa mereka tidak saling bertukar informasi tentang kehebohan tersebut. Dalam keadaan bingung hingga tak tahu apa yang dikatakannya sendiri, beberapa orang berkata: "Yang kami tahu ada wabah mematikan di jalan sebelah."
Selentingan ini pun menyebar laksana jilatan api sehingga orang-orang di jalan yang ini berpikir bahwa orang-orang di jalan sana tertimpa bencana; demikian pula sebaliknya.
Bahkan ketika keadaan sudah sedikit lebih tenang, orang-orang di kedua jalan tersebut tetap memutuskan untuk pindah saja demi keselamatan. Demikianlah, kedua sisi kota itu akhirnya kosong ditinggalkan oleh penghuninya.
Kini, berabad kemudian, kota itu sunyi; dan tidak jauh dari sana terdapat dua desa. Tiap desa itu mempunyai cerita sendiri tentang bagaimana pada masa lampau leluhur mereka pindah dari sebuah kota yang tertimpa bencana dan berhasil melarikan diri dari malapetaka tak dikenal.
Dalam ajaran kejiwaannya, para Sufi menganggap bahwa penyampaian pengetahuan secara biasa niscaya rentan terhadap penyimpangan dan kekeliruan oleh sebab adanya penyuntingan dan salah ingat; cara semacam itu tidak bisa dipakai sebagai pengganti persepsi langsung atas kenyataan.
Kisah 'Penyusunan Tradisi' yang menggambarkan subjektivitas otak manusia ini dikutip dari kitab ajaran Asrar-I-Khilwatia (Rahasia Para Pertapa) karya Syeh Qolandar Shah, anggota tarekat Suhrawardi, yang wafat tahun 1832. Makamnya di Lahore, Pakistan.
Sumber:
Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.