Kisah Sufi: Orang-Orang Buta dan Gajah, Perjalanan Pasir
Para sufi mengajarkan kebijsanaan tanpa harus menggurui atau berceramah. Mereka lebih menekankan pada ketertarikan audiens dengan kisah-kisah, yang terkadang lucu, mengagumkan dan mengejutkan.
Berikut di antar kisah sufi, tentang pemahaman kegamaan yang tak disadari secara penuh. Tapi, menimbulkan keterkejutan karena gambaran yang meyakinkan. Sangat metaforis, menunjukkan suatu permasalahannya.
Orang-Orang Buta dan Gajah
Di seberang negeri Ghor ada sebuah kota. Semua penduduknya buta. Seorang raja beserta rombongannya lewat dekat kota itu; ia membawa pasukan dan bertenda di gurun. Raja itu mempunyai seekor gajah perkasa, yang digunakannya untuk berperang dan membuat rakyat kagum.
Penduduk kota itu sangat antusias ingin melihat gajah tersebut, dan beberapa dari mereka yang buta itu pun berlari seperti orang tolol untuk mendekatinya.
Karena sama sekali tak tahu rupa atau bentuk gajah, mereka hanya bisa meraba-raba, mencari kejelasan dengan menyentuh bagian tubuhnya.
Masing-masing hanya menyentuh satu bagian, tetapi berpikir telah mengetahui sesuatu.
Sekembalinya ke kota, orang-orang yang hendak tahu segera mengerubungi mereka. Orang-orang itu tidak sadar bahwa mereka mencari tahu tentang kebenaran kepada sumber yang sebenamya telah tersesat.
Mereka bertanya tentang bentuk dan wujud gajah, dan menyimak semua yang disampaikan.
Orang yang tangannya menyentuh telinga gajah ditanya tentang bentuk gajah. Jawabnya, "Gajah itu besar, terasa kasar, luas, dan lebar seperti permadani."
Lalu, orang yang meraba belalai gajah berkata, "Aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah. Gajah itu mirip pipa lurus bergema, mengerikan dan suka merusak."
Terakhir, orang yang memegang kaki gajah berkata, "Gajah itu kuat dan tegak, seperti tiang."
Masing-masing hanya menyentuh satu bagian saja, dan keliru memahaminya. Tak ada akal yang tahu segalanya: pengetahuan bukanlah sahabat orang buta. Semua membayangkan sesuatu, sesuatu yang salah.
Ciptaan tidak mengetahui tentang keilahian. Tak ada jalan dalam pengetahuan ini yang bisa ditempuh dengan kemampuan biasa.
Catatan:
Kisah ini lebih populer dalam versi Rumi, The Elephant in The Dark House, yang dimuat dalam Mathnawi. Guru Rumi, Hakim Sanai, lebih dahulu mengisahkan kisah ini lewat buku pertamanya, sebuah karya klasik The Walled Garden of the Truth. Beliau wafat talus 1150.
Kedua kisah tersebut pada dasarnya berbicara tentang hal yang sama, yang menurut tradisi, telah digunakan oleh guru-guru Sufi selama berabad-abad.
Perjalanan Pasir
Sebuah sungai, dari sumbernya di pegunungan yang nun jauh di sana, mengalir melewati berbagai pelosok negeri hingga akhirnya sampai di gurun pasir. Sama seperti ketika ia menyeberangi setiap rintangan sebelumnya, ia mencoba yang satu ini, namun sia-sia sebab secepat ia berlari menuju pasir, secepat itu pula airnya lenyap.
Sungai itu yakin bahwa sudah takdir baginya untuk melintasi gurun itu, tetapi sejauh ini usahanya gagal. Lalu, terdengarlah suara teredam berbisik, datangnya dari arah gurun: "Angin bisa menyeberangi gurun, sungai pun bisa."
Sungai tidak sepakat, sebab keluhnya: meski dengan cepat ia menyeberangi pasir, ia mendapati dirinya hanya terserap; angin bisa terbang melintas, itu sebabnya angin bisa menyeberang.
"Dengan caramu menyeberang selama ini engkau takkan bisa melewati gurun. Kalau tidak lenyap, paling-paling engkau akan jadi rawa-rawa. Biarkan angin membawamu menyeberang, menuju sasaranmu."
Tetapi bagaimana hal itu mungkin terjadi? "Dengan memasrahkan dirimu menguap bersama angin."
Sungai itu menolak gagasan itu. Bagaimanapun, sebelumnya ia belum pernah terserap oleh angin. Ia tak mau kehilangan dirinya. Lagipula, sekali dirinya hilang, siapa yang bisa memastikan ia akan memperolehnya kembali?
"Angin," kata pasir itu, "memerankan fungsi semacam itu. Ia mengangkat air, membawanya melintasi gurun, dan lalu menjatuhkannya kembali. Jatuh sebagai hujan, air itu pun akan menjadi sungai."
"Bagaimana saya bisa percaya bahwa perkataanmu benar adanya?"
"Begitulah kebenarannya, dan jika engkau tidak percaya, toh engkau tetap akan jadi rawa-rawa yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun; tentu saja saat itu engkau tidak menjadi sebuah sungai."
"Tetapi, bisakah aku tetap seperti sungai, seperti keadaanku kini?"
"Sayangnya engkau tidak bisa," kata bisikan itu. "Bagian esensimu terbawa pergi dan membentuk sungai lagi. Engkau disebut sungai hari ini sebab engkau tidak tahu bagian mana dari dirimu yang merupakan essensi."
Mendengar hal itu, sesuatu gema muncul dalam benak sungai itu. Samar-samar, ia ingat suatu keadaan di mana dirinya --atau sebagian dirinya?-- berada dalam pelukan angin. Ia juga ingat --atau tidakkah?-- bahwa hal itulah yang nyata, bukan yang seharusnya, terjadi.
Lalu, sungai itu melepaskan uap-uapnya ke dalam lengan angin yang menyambut, yang dengan lembut dan ringan mengangkatnya dan menerbangkannya. Setelah sampai di puncak gunung nun jauh di sana, angin menjatuhkannya perlahan kembali ke tanah. Sungai itu merekam kuat di dalam benaknya semua rinci pengalaman itu, sebab sebelumnya ia telah ragu. Ia merenungkannya, "Ya, sekarang aku telah mengenal jati diriku sebenarnya."
Sungai itu mendapat pelajaran. Namun, itu berbisik: "Kami tahu, sebab kami melihatnya terjadi hari demi hari; dan sebab kami, pasir, membentang dari tepi sungai gunung."
Dan itulah sebabnya dikatakan bahwa jalan yang ditempuh oleh Sungai Kehidupan dalam pengembaraannya terpatri di atas pasir.
Catatan:
Kisah indah ini hidup dalam tradisi lisan pelbagai bahasa, hampir selalu dituturkan di kalangan para darwis dan murid-muridnya.
Kisah ini disinggung dalam buku Sir Fairfax Cartwright, Mystic Rose from Garden of the King, terbit di Inggris tahun 1899.
Versi ini berasal dari Awad Afifi, seorang Tunisia, yang wafat tahun 1870.
*) Sumber: Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.