Kisah Saat Mbah Moen, Gus Dur dan Gus Mus Berbeda
Meninggalnya ulama kharismatik yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) membawa duka yang mendalam bagi semuanya. Banyak kesaksian tentang perjalanan hidup Mbah Moen, salah satunya datang dari Ketua PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul).
“Ada peribahasa Arab Mautul Alim Mautul Alam, meninggalnya orang alim adalah seperti matinya alam. Kalau alam mati berarti alam dalam kegelapan,” kata Gus Ipul, Selasa 6 Agustus 2019.
Gus Ipul yang dalam berbagai kesempatan kerap bertemu dan sowan kepada Mbah Moen ini mengatakan bahwa tidak banyak Ulama Karismatik di negeri ini yang sealim dan memiliki keilmuan yang luas seperti Mbah Moen.
“Beliau ini alim, akhlakkul karimah, selalu istikhomah memintarkan ribuan santri dan juga sangat ahli silaturahmi,” kata Gus Ipul.
Namun di samping kealiman dan kepintaran Mbah Moen, ada satu yang sangat istimewa yakni Mbah Moen selalu terdepan dalam menghormati perbedaan.
Jika sebagian tokoh kerap mematikan perbedaan, namun Mbah Moen selalu konsisten merawat dan menghormati perbedaan.
“Saat Gus Dur termasuk juga Gus Mus mendirikan PKB, Mbah Moen saat itu tetap konsisten di PPP. Tapi hubungan silaturahmi antara beliau-beliau ini tetap terjamin dan terjaga,” kata Gus Ipul.
Bahkan saat awal pendirian PKB, sempat terjadi ketegangan khususnya di kawasan Jawa Tengah, namun saat itu, Mbah Moen bisa mendinginkannya.
“Antara PKB dan PPP sempat panas, tapi Mbah Moen bisa mendinginkan dan menyejukkan,” ujar keponakan Gus Dur ini.
Yang pasti kata Gus Ipul, wafatnya Mbah Moen telah membawa duka yang cukup mendalam bagi semuanya. “Kita turut berduka seorang alim yang ahli silaturahmi dan konsisten ngemong santri telah kapundut. Selamat Jalan Mbah Maimoen, Allah mencintai panjenengan,” kata Gus Ipul.
Kiai Haji Maimoen Zubair merupakan seorang alim, faqih sekaligus muharrik (penggerak). Selama ini, Kiai Maimoen merupakan rujukan ulama Indonesia, dalam bidang fiqih. Hal ini, karena Kiai Maimoen menguasai secara mendalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Ia merupakan kawan dekat dari Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.
Kiai Maimoen lahir di Sarang, Rembang, pada 28 Oktober 1928. Kiai sepuh ini, mengasuh Pesantren al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Kiai Maimoun merupakan putra dari Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Kiai Zubair merupakan murid dari Syekh Saíd al-Yamani serta Syekh Hasan al-Yamani al-Makky.
Kedalaman ilmu dari orang tuanya, menjadi basis pendidikan agama Kiai Maimoen Zubair sangat kuat. Kemudian, ia meneruskan mengajinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim. Selain itu, selama di Lirboyo, ia juga mengaji kepada Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.
Pada umur 21 tahun, Maimoen Zubair melanjutkan belajar ke Makkah Mukarromah. Perjalanan ini, didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuáib. Di Makkah, Kiai Maimun Zubair mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.
Kiai Maimoen juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain. Kiai Maimun juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul al-ulama al-mujaddidun.
Selepas kembali dari tanah Hijaz dan mengaji dengan beberapa kiai, Kiai Maimoen kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, di tanah kelahirannya. Pada 1965, Kiai Maimoen kemudian istiqomah mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren ini, kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.
Selama hidupnya, Kiai Maimoen memiliki kiprah sebagai penggerak. Ia pernah menjadi anggota DPRD Rembang selama 7 tahun. Selain itu, beliau juga pernah menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah. Kini, karena kedalaman ilmu dan kharismanya, Kiai Maimoen Zubair diangkat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Politik dalam diri Kiai Maimoen bukan tentang kepentingan sesaat, akan tetapi sebagai kontribusi untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan. Demikianlah, Kiai Maimun merupakan seorang faqih sekaligus muharrik, pakar fiqh sekaligus penggerak.
Advertisement