Kisah Rasulullah SAW dalam Menentukan Awal Puasa Ramadan
Puasa Ramadan pertama kali diwajibkan pada tanggal 10 Sya'ban tahun kedua Hijriah, atau sekitar tahun 624 Masehi. Sebelumnya, Nabi Muhammad Shallahu alaihi wasallam (SAW) dan para sahabatnya telah berpuasa selama tiga hari setiap bulan pada tanggal 13, 14, dan 15. Nabi Muhammad SAW juga rutin berpuasa pada tanggal 10 Muharam (Asyura).
Meskipun puasa Ramadan baru diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, setelah itu, Rasulullah SAW tetap memberikan pilihan kepada para sahabatnya untuk tetap menjalankan puasa Asyura atau tidak.
Karena perintah puasa Ramadan turun pada tahun kedua Hijriah, maka Nabi Muhammad SAW hanya berkesempatan menunaikan ibadah puasa Ramadan sebanyak sembilan kali dalam hidupnya.
Ramadan sendiri merupakan bulan yang paling mulia bagi seluruh umat Islam, lebih lagi hamba-hamba Allah yang mengharapkan banyak pahala dari bulan yang baik ini.
Dalam proses mencapai bulan Ramadan, diperlukan penentuan tanggal terlebih dahulu dengan berbagai cara. Rasulullah SAW menentukan awal bulan ramadhan dengan cara melihat bulan, yang biasa kita kenal yakni Hilal.
Hal ini juga telah disebutkan pada hadit kos Nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana dalam salah satu riwayat hadist, Rasulullah bersabda:
أمرَنَا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم أن ننسكَ لرؤيته، فإن لم نَرهُ فشَهدَ شاهدان عدلانِ نَسَكْنا بشهادتيهما
Artinya:
“Rasulullah SAW telah memerintahkan kami untuk berpuasa dengan melihat bulan, jika kami tidak melihatnya, maka kami sudah berpuasa dengan kesaksian dua orang," (HR. Abu Daud).
Muncul Hilal Dimulai Puasa
Apabila hilal terlah muncul maka dapat dikatakan umat muslim telah memasuki bulan Ramadan dan diwajibkan berpuasa keesokan harinya.
Hal ini dikuatkan dengan Hadits Riwayat Rasulullah SAW, yang berbunyi :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَال بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ سَحَابَةٌ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً
Artinya:
"Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru." (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim).
Rukyatul Hilal, yang secara harfiah berarti "melihat bulan sabit", merupakan metode tradisional untuk menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah. Metode ini melibatkan pengamatan langsung bulan sabit (hilal) di langit setelah matahari terbenam.
Pengamatan hilal harus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, di antaranya:
Sudut azimut: Posisi hilal di langit relative terhadap matahari terbenam.
Sudut elongasi: Jarak sudut antara bulan dan matahari.
Ketinggian hilal: Posisi hilal di atas ufuk.
Meskipun pengamatan idealnya dilakukan dengan mata telanjang, alat bantu seperti teleskop dapat digunakan untuk meningkatkan penghilatan kita terhadap hilal.
Namun, penggunaan alat bantu memiliki batasnya. Jika sudut elongasi hilal kurang dari 3 derajat, hilal tidak akan terlihat bahkan dengan teleskop.
Rukyatul Hilal di Indonesia biasanya dilakukan oleh Kementerian Agama di berbagai lokasi di seluruh negeri. Selain Rukyatul Hilal, metode lain yang digunakan untuk menentukan awal bulan Hijriah adalah hisab, yaitu perhitungan astronomis.
Advertisement