Kisah Pasien Surabaya, Covid-19 Renggut Istri dan Serang Anaknya
Surabaya menjadi wilayah dengan kasus Covid-19 terbanyak di Jawa Timur. Data dari Surabaya Lawan Covid-19 per 15 Juli 2020, menyebut terdapat 7.431 kasus positif Covid-19, 665 pasien positif meninggal, dan 513 pasien dalam perawatan (PDP) yang meninggal. Pada waktu yang sama, 3.974 pasien dinyatakan sembuh. Kepada Ngopibareng.id, tiga di antara pasien yang sembuh menuturkan pengalaman melawan ganasnya Covid-19.
Adalah Elsye Tatipata, pimpinan salah satu pusat jual beli di Surabaya. Perempuan 49 tahun itu menyebut Covid-19 laksana santet. Bentuknya tidak berwujud namun keberadaanya nyata. “Covid ini seperti santet ya, kita nggak tahu wujudnya tapi itu ada,” kata Elsye kepada Ngopibareng.id pada Jumat, 17 Juli 2020.
Elsye mengingat, kabar buruk itu bermula sepekan setelah satu pedagang di tempatnya bekerja, teridentifikasi positif Covid-19. Saat itu, Elsye tetap menjalankan tugasnya, berpatroli di wilayah kerjanya. Tak lupa, ia selalu mengenakan masker ketika berkeliling.
Hingga suatu saat ia mulai merasa meriang, kedinginan tanpa henti, meski suhu tubuhnya normal. Ibu tiga anak ini menduga, serangan yang ia alami lantaran darah tinggi, serta diabetes yang diidapnya sejak tahun 1999.
Menggigil Tanpa Henti
Pada 30 Maret, ia pun pergi ke dokter spesialis penyakit dalam langgananannya. “Setelah di rontgen kok ada flek hitam di paru-paru, akhirnya pas di swab hasilnya positif Covid-19,” ujarnya.
Elsye tak menyangka, ternyata ia positif Covid-19. Bagaimana tidak, selama ini dia tidak pernah pergi ke luar negeri atau bersinggungan dengan pasien positif. Setiap harinya, kebersihan diri dan rumah selalu terjaga. Baju hanya sekali pakai dan langsung dicuci. Selain itu, ia juga tak pernah lalai mencuci tangan dan memakai masker.
Beruntung, sakitnya tak tergolong parah. Ia diminta isolasi selama 14 hari dan beristirahat cukup, sebelum kemudian dinyatakan sembuh dari Covid-19. Ibu asli Ambon ini lantas membudidayakan disiplin kepada anak dan suaminya, dengan mematuhi protokol. Selain itu, ia juga mengkonsumsi jamu tradisional untuk memperkuat imun.
Perempuan asal Ambon ini kini semakin disiplin menerapkan protokol kesehatan, menggunakan sepatu booth, sarung tangan dan masker. Ia juga menerapkan physical distancing, sebab hanya bermasker saja tak bisa melindunginya dari Covid-19. “Saya yang sudah menjaga kebersihan saja masih bisa kena. Tetangga saya juga heran pas tahu saya tertular Covid-19. Pokoknya kita harus sadar dan disiplin menjaga kebersihan dan patuh protokol, jangan menyepelekan covid ini,” tegasnya.
Tak Bertemu Istri di Saat Terakhir
Senada dengan Elsye, Erwin Bimo dan Dini Rosyidah, dua pasien lain yang sembuh dari Covid-19 menuturkan hal serupa. Erwin yang merupakan ayah Dini berpendapat, Covid-19 menyerang layaknya virus yang menyebabkan munculnya zombi, tak kasat mata namun menular dan mematikan.
“Covid ini berbahaya banget dan kayak zombi, bedanya kalau zombi langsung kelihatan saat menularkan. Kalau ini tidak kelihatan tapi ada dan berdampak ke tubuh,” katanya.
Ayah dan anak ini dinyatakan positif Covid-19, setelah kepergian mendiang istrinya yang wafat akibat penyakit yang sama. Sang istri terlambat mendapatkan penanganan lantaran rumah sakit yang penuh. Mendiang menunggu lima hari, hingga ada slot yang datang dari Rumah Sakit Unair untuk pasien Covid-19.
Saat itu, kondisi pernapasan istri Erwin yang juga memiliki riwayat diabetes, sangat menurun. Ia pun mendapat alat bantu pernapasan ventilator. Namun, kondisi mendiang yang berat membuatnya tak mampu melewati masa kritis tersebut. Ibu dari tiga anak itu berpulang pada 8 Juni 2020.
“Saya dan anak saya Covid setelah diswab seusai istri saya meninggal. Hasil kami positif, tapi istri saya kurang beruntung. Rumah sakit manapun penuh, baru dapat kamar setelah lima hari di rumah dan buat bernapas sudah susah,” ingat Erwin.
Tak berhenti di situ, hasil swab positif membuat Erwin dan Dini tak bisa melepas kepergian istrinya hingga ke liang lahat. Tenaga medis di RS Unair menyarankan agar keduanya menjalani isolasi di rumah sakit, sambil menunggu hasil swab keluar. Erwin pun tak bisa memakamkan belahan jiwanya. Melantunkan azan sebelum tanah makam ditutup. “Ketika istri saya meninggal, hasil swab kami keluar. Saya tak bisa ikut memakamkan istri saya” lanjutnya.
Istrinya dikebumikan di makam keluarga, di Lamongan. Jenazah yang diantar menumpang ambulans, dimakamkan oleh lurah, camat, anggota koramil dan Gugus Tugas Covid-19 Lamongan. Erwin dan Dini baru bisa menjumpai pusara mendiang, pada 11 Juli 2020 lalu, sebulan setelah mendiang dimakamkan.
Matanya menerawang, mengingat pengalaman pahit beberapa pekan lalu. Erwin merasa tertekan karena tak bisa menemani dan melihat istrinya sebelum berpulang ke keabadian.
Jangan Jadi Carrier
Hal serupa dirasakan oleh Dini. Isolasi 10 hari di rumah sakit, membuat Dini tak asing dengan suara jeritan kesakitan pasien Covid-19 lainnya. Telepon seluler menjadi kawan satu-satunya selama isolasi 10 hari. Rasa sedih dan stres bisa sedikit terobati lewat telepon selulernya. “Hiburannya cuma video call sama teman dan saudara,” kata Dini.
Isolasi di rumah sakit usai setelah tidak ditemukan flek di paru-parunya saat rontgen. Namun keduanya diminta melanjutkan isolasi mandiri selama 14 hari di rumah.
Setelah dinyatakan sembuh, Erwin dan Dini mengaku lebih berhati-hati lagi. Hingga saat ini, Erwin belum tahu, dari mana awal mula virus menyerang keluarganya. Sejak pandemi melanda, istrinya tak pernah keluar dari rumah mereka di wilayah Kebraon, Kecamatan Karang Pilang, Surabaya. Anaknya, Dini, berkantor seminggu sekali dan tak pernah bersinggungan dengan banyak orang. Sedangkan Erwin, setiap hari pergi ke kantornya yang hanya berjarak lima menit dari rumanya.
Keduanya pun berpesan agar masyarakat tidak menyepelekan Covid dengan tidak pergi kemana-mana, kecuali jika terpaksa. Selain itu, mematuhi protokol kesehatan dan disiplin menjaga diri sendiri.
“Covid ini nyata, lebih baik masyarakat berhati-hati dan disiplin patuh protokol. Kalau nggak terpaksa atau penting banget tak usah keluar. Jangan menyepelekan, yang muda pun bisa jadi carrier, kasihan yang tua jika tertular,” tutupnya.
Berita ini telah disunting pada pukul 16.10, 19 Juli 2020.
Advertisement