Kisah Pasien Sembuh, Sekeluarga Kena Covid dan Ayahnya Meninggal
Jumlah kasus positif Covid-19 di Jawa Timur per 16 September 2020, mencapai 39.181. Di antaranya sembuh 31.585 dan meninggal 2.867 orang. Dua di antara pasien Covid-19 yang sembuh membagikan kisahnya kepada Ngopibareng.id.
Ratna Puspita Sari, perempuan kelahiran 1985 itu menyebut, awal mula dia diketahui positif Covid seminggu setelah kepergian almarhum sang ayah. Ayahnya yang bekerja di salah satu perusahaan penyedia informasi mendapat diagnosis positif setelah sebelumnya mengidap penyakit tipes.
“Ayah saya mengalami gejala meriang seperti demam dan pilek. Karena tidak lekas membaik kami bawa ke rumah sakit. Awalnya dicek darah dan hasilnya tifus. Tetapi setelah dilakukan rapid dan swab, baru ketahuan kalau beliau positif Covid,” kata Ratna pada Selasa, 15 September 2020, melalui sambungan telepon.
Perempuan yang akrab disapa Pipit itu menyebut, tetangga, keluarga dan kolega ayahnya mengaku kaget mendengar kabar wafatnya mendiang. Beliau yang meninggal di usia 58 tahun, pada 11 Juli 2020 itu, dikenal rutin berolahraga. Terlebih, rajin melakukan cek kesehatan sebanyak dua kali setiap tahunnya.
Di tempat kerja sang ayah tidak ada riwayat rekan kerja yang mengidap Covid. Ayah Pipit pun tidak memiliki penyakit bawaan. Hanya saja, dia ada riwayat asam urat. Kendati demikian masih terhitung dalam batas normal.
Tak Hadiri Pemakaman Ayah
Sementara, sarjana Ilmu Komunikasi UMM ini mengaku sedih lantaran tak bisa mengantarkan jenazah orang yang ia sayangi ke liang lahat. Pipit tidak memiliki pilihan lain. Yang menjadi pertimbangannya adalah kesehatan dan keselamatan ibu dan adik perempuannya. Ia saat itu dinyatakan berstatus orang tanpa gejala (OTG).
Dosen salah satu universitas swasta ini hanya bisa melihat peti jenazah ayahnya melalui foto yang dikirim tetangga. Pipit baru bisa berziarah di pusara ayahnya, di pemakaman khusus Covid di Delta Praloyo Sidoarjo, dua minggu setelah isolasi mandiri.
“Saya memilih egois tidak hadir di pemakaman karena saya tahu nanti nggak kuat. Selain itu saya juga menjaga kesehatan dan keselamatan keluarga saya. Saya titipkan pemakamannya melalui perwakilan tetangga yang saya percaya,” ujarnya.
Sejak kepergian sang ayah ke keabadian, Pipit sering dilanda keresahan di setiap senja. Kenangan tentang sang ayah masih melekat kuat di benaknya. Untuk mengusir rasa tak nyaman itu, perempuan yang bermukim di Sidoarjo itu mengatasinya dengan mengobrol bersama teman terdekatnya.
Rajin Konsumsi Jamu
Sejak Maret 2020, magister Media Komunikasi Unair itu rajin mengonsumsi jamu temulawak dan empon-empon yang lain. Kadar jamu yang diminum bertambah saat Pipit berstatus orang tanpa gejala (OTG). Wanita yang gemar traveling ini pun mengombinasikannya dengan vitamin dan minyak kayu putih. Selain itu, untuk memperkuat imunitas Pipit berjemur dan melakukan gerakan ringan, berpikir positif, dan memanjakan dirinya agar moodnya tetap baik.
“Saya nggak sakit, saya sehat. Hanya saja tubuh saya ketempelan virus. Untuk menjaga kekebalan tubuh saya melakukan hal yang saya inginkan sesuai isi hati agar tetap bahagia. Seperti menonton film, video call dengan teman dan makan makanan kesukaan saya,” jelas perempuan berkerudung itu.
Pipit mengaku bersyukur lantaran banyaknya perhatian dan dukungan dari orang sekitar. Mulai dari tetangga, teman hingga murid tempatnya mengajar. Pipit pun terharu sebab perhatian yang diperolehnya begitu besar. Bahkan ada yang rela berangkat dari Surabaya hanya untuk membawakan roti.
“Alhamdulillah begitu banyak orang yang peduli. Makanan buat kami nggak kurang-kurang, kami duduk saja sudah datang. Yang membuat salut ada mahasiswa rela datang dari Surabaya buat naruh roti, kami nggak ngobrol dan dia langsung pulang,” kenangnya.
Terpisah dengan Ibu
Selain Pipit, mantan pasien Covid yang lain adalah Annisa Agustin. Tak hanya Annisa, Keganasan Covid menyerang ayah, ibu, kakak perempuan serta keponakannya yang berusia satu tahun.
Mahasiswi Broadcasting STIKOSA-AWS ini dinyatakan positif OTG setelah sang ayah yang berjualan di Pasar Keputran Surabaya terindikasi Covid sejak 26 April 2020. Lantaran tidak mengalami gejala yang serius, ayah Annisa yang berusia 50 tahun itu diisolasi mandiri di rumah.
Berbeda dengan ayah, ibu perempuan 21 tahun ini memiliki riwayat penyakit diabetes dan vertigo. Mau tidak mau, selama sebulan ibu Annisa harus dirawat ketat di rumah sakit rujukan Covid-19 Ibnu Sina Gresik.
“Saya nggak bisa bertemu ibu sama sekali. Kami hubungannya lewat video call saja. Saya juga sering mengirim video keponakan agar ibu terhibur. Di rumah kami tetap harus menjaga kesahatan agar tidak sampai drop,” kata perempuan yang hobi menulis cerpen ini.
Teringat Tangisan Keponakan
Mahasiswi semester ini menghabiskan waktunya dengan diisolasi mandiri selama tiga bulan sesuai anjuran RT setempat. Annisa baru bisa menghirup udara bebas pada Juli akhir 2020. Waktu di rumah dimanfaatkannya dengan mengikuti kelas daring. Jika bosan, sesekali Annisa menonton drama Korea dan menelepon teman. Untuk menjaga daya tahan tubuh, dia meminum air hangat dicampur madu setiap harinya. Yang terpenting tidak panik dan selalu berpikir hal positif.
Banyaknya dukungan dari tetangga, keluarga dan teman, membuat perempuan kelahiran 1999 ini tidak mengalami trauma. Namun yang membuatnya gelisah adalah bayang-bayang keponakannya saat diswab dan menangis kesakitan. Annisa tak sampai hati saat mengingatnya.
“Kalau saya nggak trauma, yang trauma keponakan saya. Dia nangisnya sampai kejer saat diswab. Kasihan gitu, dia masih kecil dan nggak tahu apa-apa. Dia sudah niteni tempat kami periksa dan sebelum sampai udah pasti nangis. Dia sampai sekarang nggak berani naik mobil,” ceritanya.
Perempuan asli Driyorejo Kota Baru, Gresik ini mengimbau agar warga tetap patuh pada protokol yang sudah dianjurkan. Di antara nya memakai masker, rajin cuci tangan dan tidak keluar jika tidak benar-benar penting.