Kisah Para 'Muallaf' Politik: Tobatnya Para Pendukung Jokowi
"Saya sekarang sudah tobat. Taubatan nasuha," kata mantan anggota Komisi III DPR Djoko Edhi Abdurrahman ketika bertemu di suatu rumah makan di kawasan Menteng, Senin malam (25/3).
Wajahnya terlihat serius. Kedua tangannya diangkat. Bagi yang tidak terlalu kenal dirinya, sulit membedakan kapan dia serius, kapan sedang bercanda? Dari penekanan kata-katanya, Djoked —begitu dia biasa dipanggil— kali ini sangat serius.
Mantan wartawan harian Jawa Pos itu sedang bicara posisi politiknya pada Pilpres 2019. Pernah menjadi pendukung garis keras (die hard) Jokowi, Djoked memastikan mengalihkan dukungannya kepada Prabowo.
Fenomena orang-orang seperti Djoked ini sangat banyak. Namun kalau melihat status medsos dan pernyataannya di berbagai media, dia termasuk kelompok orang yang paling awal tercerahkan. Segera insyaf dan melakukan pertobatan.
Bila menggunakan terminologi dalam agama Islam, Djoked sudah lama menjadi muallaf. Sekarang dia menjadi seorang “da’i” yang sangat aktif menyerukan agar publik jangan memilih kembali Jokowi. Karena itu dia menggunakan kata taubatan nasuha. Taubat yang sebenar-benarnya. Tak akan mengulangi perbuatan yang sama untuk kedua kalinya.
Fenomena pertobatan, atau kalau meminjam istilah peneliti LIPI Firman Noor, migrasi suara ini semakin banyak terjadi mendekati hari H Pilpres 2019. Ada yang dilakukan perseorangan, namun ada juga yang dilakukan secara massal.
Fenomena pertobatan massal atau migrasi suara besar-besaran, salah satunya baru saja kita saksikan pada kampanye hari pertama di Makassar, Ahad (24/3). Di lapangan Karebosi yang menjadi land mark kota anging mamiri itu, dua klan besar, keluarga Kalla dan keluarga Aksa menyatakan ikrar mendukung Prabowo-Sandi.
Keluarga Aksa sudah lebih dahulu ikrar secara terbuka. Hal itu ditandai dengan hadirnya Erwin Aksa pada debat antar-cawapres Ahad (17/3). Kemudian disusul dengan aksinya menggalang dukungan 1.000 pengusaha nasional di Jakarta Theater Rabu (21/3).
Dukungan keluarga Kalla yang semula masih remang-remang, samar-samar, mulai terbuka. Ditandai dengan kehadiran Fatimah Kalla adik bungsu Wapres Jusuf Kalla pada kampanye terbuka di lapangan Karebosi. Hadirnya Fatimah menjadi headline besar di media lokal.
Migrasi politik klan Kalla dan Aksa dipastikan akan diikuti oleh ribuan, bahkan jutaan para pendukungnya di Sulawesi Selatan dan sebagian Indonesia Timur. Pada Pilpres 2014 posisi Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi membuat pasangan ini tampil sangat perkasa.
Di kota Makassar pasangan Jokowi-Kalla menang sangat telah 70, 53 persen, dan Prabowo-Hatta hanya memperoleh 29, 47 persen. Sementara di Sulsel Jokowi-Kalla memperoleh 71.41 persen, Prabowo-Hatta 28, 59 persen.
Kehadiran Fatimah dan Erwin bukan hanya signal kuat Prabowo-Sandi bisa membalikkan keadaan, namun juga sebagai tanda kemenangan dari Timur.
Berbeda motivasi
Dilihat dari latar belakang dan motivasinya, ada beberapa jenis pertobatan pendukung Jokowi.
Pertama, mereka yang benar-benar menyadari kesalahannya, meninggalkan Jokowi dan kemudian menjadi pendukung Prabowo.
Masuk dalam kelompok ini adalah mantan Menteri ESDM Sudirman Said, dan mantan Menteri BPN/Kepala Agraria Ferry Mursidan Baldan.
Sudirman dan Ferry dicopot dari kabinet karena tidak sepakat dan bertentangan dengan kebijakan pemerintahan Jokowi, atau partai pengusungnya. Sudirman kemudian menjadi Direktur Materi Debat di Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Ferry menjadi Direktur Relawan BPN.
Kedua, kelompok pendukung yang secara terbuka sangat keras mengecam berbagai kebijakan Jokowi. Mereka juga menyesal pernah Jokowi, namun mereka belum menyatakan secara terbuka akan mendukung siapa.
Masuk dalam kelompok ini adalah pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya, dan stand up comedy Panji Pragiwaksono.
Marco termasuk pendukung setia. Sejak Jokowi maju pada Pilkada DKI 2012, dan kemudian Pilpres 2014. Namun beberapa hari lalu, dia secara terbuka menyatakan kejengkelannya yang sangat memuncak kepada Jokowi.
Marco seakan kehabisan kata ketika Jokowi mengklaim proyek Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta bisa terwujud karena keputusan politiknya bersama Ahok. Sebagai ahli tata kota yang banyak bergelut persoalan kota Jakarta, Marco tahu persis sejarah MRT.
Melalui akun twitter @mkusumawijaya dia mencuit : Saya terus terang mencapai puncak kejijikan karena pernyataan Jokowi @Jokowi ini. Literel, hampir muntah. Malu dan mual telah salah pilih seorang pembohong yang akut dan berulang. MRT itu baru…masih banyak saksi hidup, termasuk Gub Fauzi Bowo.
Pragi juga menjadi pendukung Jokowi pada 2014. Alasannya dia mengikuti pilihan Anies Baswedan yang dipercaya sebagai orang baik. Dia memilih orang baik yang dipilih orang baik.
Namun hanya berselang tiga bulan setelah Jokowi dilantik, Pragi menyatakan menyesal. Pada 24 Januari 2015 dia membuat tulisan dengan judul yang lugas “Menyesal memilih Jokowi.
Sederet alasan yang dikemukannya. Mulai dari penunjukan Puan Maharani sebagai Menko PPK, pengangkatan kader Partai Nasdem Prasetyo sebagai Jaksa Agung, bebasnya Polycarpus narapidana pembunuhan aktivis HAM Munir, sampai pencalonan Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri (saat itu).
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) masuk dalam kelompok ini. Kelompok advokasi terbesar di dunia untuk komunitas adat pada 2014 mendukung Jokowi. Namun mereka kapok, dan tidak akan lagi mendukung Jokowi.
Bagaimana dengan Gubernur DKI Anies Baswedan yang jejaknya memilih Jokowi diikuti Pragi? Untuk sementara Anies kita masukkan ke dalam kelompok ini. Walau tidak pernah secara terbuka mengecam, dipastikan mantan Mendikbud ini tidak akan memilih Jokowi. Kita hanya perlu menunggu waktu kapan dia menyampaikan dukungan terbuka kepada Prabowo.
Ketiga, kelompok yang secara terbuka sangat aktif mendukung Jokowi, namun sekarang belum mau menyatakan akan mendukung siapa. Iwan Fals salah satu legenda hidup penyanyi pada Pilpres 2014 terlihat hadir saat berlangsung hitung cepat (quick count) di studio Metro TV.
Iwan Fals belakangan ini sangat aktif melakukan polling siapa paslon yang didukung follower-nya. Di Medsos namanya sering diklaim oleh pendukung paslon 01 maupun 02. Kedua klaim itu dia bantah semua.
Keempat, pendukung Jokowi yang memutuskan tidak akan memilih, golput (golongan putih).
Pasangan suami istri ketua sebuah lembaga advokasi hukum dan HAM di Jakarta mengaku malu telah mendukung Jokowi. Mereka golput dan sedang mencari-cari beasiswa keluar negeri.
Termasuk dalam kelompok ini adalah pendukung garis keras Ahok atau lebih dikenal sebagai Ahoker. Mereka sangat kecewa karena Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Sebagai Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin mengeluarkan fatwa bahwa Ahok penista agama.
Ahokers kebanyakan merupakan etnis Cina dan non muslim akan lebih memilih berlibur meninggalkan Jakarta saat pilpres 17 April. Mereka inilah yang saat ini secara mati-matian coba dirangkul Jokowi kembali.
Klaim Jokowi bahwa terwujudnya MRT di Jakarta merupakan keputusan politiknya bersama Ahok, merupakan signal politik. Dia mencoba mengirim pesan bahwa Ahok tidak dia tinggalkan.
Setelah menikah dengan seorang bintara polisi, Ahok kabarnya diminta meninggalkan Indonesia sampai pilpres berakhir. Ada kekhawatiran kehadiran Ahok —apalagi bila dia terlibat dalam kampanye— akan membuat umat Islam kian antipati kepada Jokowi. Sebaliknya “penyingkiran” sementara Ahok, membuat para pendukungnya tambah kecewa terhadap Jokowi.
Bukan berarti migrasi pemilih ini hanya terjadi pada Jokowi. Hal yang sama juga terjadi pada para pendukung Prabowo. Namun jumlahnya sangat sedikit, dan motivasinya berbeda.
Di kubu Prabowo antara lain ada artis Raffi Achmad, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, mantan Gubernur NTB Zainul Majdi, dan pemilik jaringan stasiun TV MNC Harry Tanoesoedibyo.
Berbeda dengan para pendukung Jokowi yang menyatakan menyesal dan taubatan nasuha, para pendukung Prabowo menyeberang dengan motivasi berbeda. Ada yang karena motivasi bisnis, kalkulasi politik dan terjerat masalah hukum. Ridwan Kamil motivasinya perpaduan antara politik dan hukum. Zainul Majdi dan Harry Tanoe karena masalah hukum.
Melihat banyaknya jumlah pendukung yang menyeberang dan motivasi yang melatar-belakangi, migrasi politik ini akan sangat menggerogoti jumlah pemilih Jokowi. Di kalangan masyarakat kelas bawah dan aparatur negara banyak yang menyesal memilih Jokowi. Tapi mereka hanya diam. Tak berani bersuara.
Ini hanya soal waktu saja. Pintu tobat akan selalu terbuka! End.
*) Oleh Hersubeno Arief, wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik.