Kisah Veteran Angkatan Laut Surabaya di Pertempuran Dwikora
Ngasrin adalah pensiunan angkatan laut. Ditemui di kediamannya yang berlokasi di Ketintang Baru gang 8 nomor 9 RT 01 RW 03 Surabaya, pria kelahiran 1944 itu menceritakan kisahnya, sebagai pasukan gerilya di perbatasan Kalimantan dan Malaysia.
Sejak tahun 1964-1966 Ngasrin bergabung dengan pasukan Dua Komando Rakyat (Dwikora) dalam mempertahankan perbatasan Indonesia dari Malaya, kini Malaysia. Kala itu ia berusia 23 tahun, berangkat dari Surabaya menggunakan Landing Ship Tank (LST) menuju Kalimantan Utara.
Menumpang Kapal LST
Ia mengingat, kapal perang itu mampu mengangkut 100 prajurit sekali jalan. Sejumlah kendaraan perang terpakir di geladak depan. “Bagian depan ada beberapa tank dan panser. Perjalanannya memakan waktu satu minggu,” kata Ngasrin kepada Ngopibareng.id pada Minggu, 16 Agustus 2020.
Setelah perjalanan yang melelahkan, kapalnya melempar jangkar dan mendarat di Pulau Sebatik. Angkatan laut lantas dibagi menjadi beberapa regu. Satu regu berisi sembilan orang yang dibagi lagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok berisi tiga orang.
Dalam regu Ngasrin, tiga kelompoknya dipisah menjadi tiga. Mereka ditugaskan berjaga di daerah Mambangan, Mantikas, dan Sungai Bunyu. “Kelompok saya di bagian Mantikas, kami langsung membangun tenda untuk berjaga-jaga dan beristirahat. Kami juga membuat dapur sendiri dengan bahan dari yang ada di hutan,” ujarnya.
Di Pulau Sebatik, mereka bergegas membangun tenda, dan tidur beralas jas hujan tebal selama 23 hari. Namun kondisi tenda tak mampu bertahan untuk waktu yang lama. Ngasrin dan dua temannya lantas membangun gubuk, mencari kayu dan daun nipah untuk atapnya.
Ia mengingat penduduk lokal, suku Bugis dan Dayak ikut membantu mereka mendirikan gubuk. “Saat pertama datang saya was-was dan gelisah karena baru datang di daerah musuh. Saya dibantu penduduk lokal untuk buat atapnya,” tuturnya.
Ngasrin lantas berkawan akrab dengan penduduk lokal. Tak hanya membantu membangun gubuk, mereka juga sering mengirim makanan berupa sayuran dan kelapa kepada Ngasrin. Sebagai gantinya, Ngasrin mengajari anak sekolah dasar di sana tiga kali setiap minggu.
Dalam menjaga perbatasan Indonesia dari serangan Malaya, Ngasrin dan tim ditugaskan bergerilya ke hutan, setiap satu minggu sekali. Perbekalan yang harus dibawanya antara lain senjata RPD, AK, granat, makanan kabin, dan minum. Selain itu, kompas, handy talky (HT), jam tangan dan alat pemotong kayu.
Setiap kali penyusuran, Ngasrin bisa menempuh jarak 1 kilometer lebih. Setiap berpatroli, Ngasrin melaporkan kondisi kemanan hutan kepada komandan regu, komandan pleton dan komandan kompi.
Kawannya Gugur
Ia mengingat, wajahnya berpoles arang hitam saat patroli, bajunya tertutup dedaunan. Senjata seberat 10 kilogram selalu menempel di badannya. “RPD itu 5 kilogram beratnya, AK 2.5 kilo, dan granatnya 1 kilogram. Ada juga makanan kabin, tapi persenjataan itu harus selalu di badan,” tegas Ngasrin.
Patroli dilakukan sejak pagi hingga pukul 12.00. Ngasrin memakai helm pelindung kepala serta sepatu booth untuk melindungi dirinya. Ia juga berbekal kompas agar tak tersesat, serta memotong ranting sebagai penunjuk arah.
Penyisiran tentu bertaruh nyawa. Ia ingat, seorang anggota regunya gugur ditembus timah panas musuh. Saat itu, ia tak bisa berbuat apapun ketika jasad kawannya dibawa pergi oleh musuh. Meski sedih, Ngasrin tetap siaga melanjutkan menjaga keamanan agar tak jatuh korban lain.
“Saya sempat kena lintas tiga kali saat di hutan. Waktu itu jasadnya ingin kami selamatkan tapi sudah dibawa musuh,” kenang Ngasrin dengan wajah lesu.
Terima Tunjangan Tahun 2002
Setelah Malaya memilih gencatan senjata, Ngasrin kembali bertugas di Surabaya. Ngasrin pensiun pada tahun 1992 di usianya ke 48 tahun. Namun pengakuan negara baru diterimanya di tahun 2002, lewat perjuangan yang panjang. Uang tunjangannya pun naik berangsur.
Agar tak menganggur, Ngasrin bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik. “Karena pensiun masih muda, saya kerja sebagai satpam di pabrik cokelat selama 10 tahun. Saya juga mengajukan veteran bersama 10 teman. Akhrinya penghargaan keluar tahun 2002, saya juga dapat tunjangan yang awalnya Rp 250, hingga sekarang Rp 1.8 juta,” katanya.
Ngasrin juga menerima tunjangan dari pemerintah Kota Surabaya sejumlah Rp 300 ribu. Sebagai gantinya, Ngasrin harus mengajar sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas, pelajaran tentang veteran.
Pada saat perayaan kemerdekaan Indonesia, pria asli Semarang itu sering diundang sebagai tamu kehormatan. “Alhamdulillah dapat tunjangan dari pemkot, tapi harus ngajar sebagai gantinya. Ketika ada peringatan kemerdekaan Indonesia, saya diundang sebagai tamu kehormatan. Baik dari walikota dan camat,” tutupnya.
Advertisement