24 Jambul Kuning Didera Kepunahan di Pulau Masakambing
Namanya bak pendekar, “Jambul Kuning Terakhir”. Nama ini juga mirip dalam film-film silat bikinan anak negeri di era 80-an. Mirip juga dengan gelar pendekar dalam buku-buku komik bergambar di tahun-tahun itu. Coba tambahi sedikit dengan awalan Si, maka akan menjadi Si Jambul Kuning. Nah... sudah mirip benar dengan gelar atau nama pendekar silat bukan?
Simak contohnya: ada sebutan Si Mata Satu, Si Mata Elang, Si Pendekar Cakar Harimau, Si Tangan Sakti, Si Pita Merah, Pendekar Jambul Bawuk, dan seterusnya. Lalu, Si Jambul Kuning, klop sudah.
Nama Jambul Kuning begitu selaras dengan dunia itu. Kalau saja nama depannya disematkan kata pendekar – Pendekar Jambul Kuning – jadilah dia memang benar-benar seperti tokoh dalam film-film dan buku-buku komik imajiner itu.
Sayangnya, semua tersebut di atas adalah sebuah imajiner. Dalam tulisan ini, dalam ranah yang bukan imajiner, Jambul Kuning ini senyatanya memang ada. Tetapi dia bukan pendekar. Dia juga tidak bisa jurus silat. Tak pandai menghilang, juga tak mampu mengeluarkan api dari matanya. Dia tak bisa mengeluarkan pukulan mematikan dari jarak jauh, dan seterusnya.
Tetapi Jambul Kuning satu ini mampu terbang. Senyatanya terbang. Tetapi tidak bisa tinggi-tinggi. Hanya semampunya saja. Lalu, setelah terbang tidak tinggi itu, dia hanya mampu menclok sana-sani.
Keterbatasan, ketidakmampuannya terbang tinggi lalu berkelebat cepat sut sut wuuttt itu, aslinya dia tidak layak sejajar dengan pendekar. Hanya namanya yang unik seperti sebutan pendekar. Malah, kini, dia layak dibantu, dikawal, dipantau, lalu diselamatkan. Jika upaya penyelamatan ini berhasil, si Jambul Kuning ini, suatu saat akan mampu menjadi pendekar dalam arti yang sebenarnya.
Si Jambul Kuning ini tidak lain dan tidak bukan adalah cacatua sulphurea abbotti. Itu nama Latinnya. Indonesianya, menyebutnya, sebagai Kakatua. Namun banyak orang Indonesia menyebutnya salah, menjadi Kakaktua. Siapa yang kakak? Siapa yang tua? Ini rancu yang berkepanjangan.
Indonesia memiliki Cacatua sulphurea abbotti ini. Spesies ini langkanya bukan main. Sedang habitat aslinya ada di Pulau Masakambing. Pulau ini berada di ujung jauh dan menjadi bagian dari Pulau Madura. Cacatua sulphurea abbotti atau Kakatua ini dalam bahasa lokal Pulau Masakambing menyebutkan sebagai Bekka’.
Meski acapkali salah dalam penyebutan, Kakatua ini ngetop-nya bukan main. Menjadi ikon lagu anak-anak Indonesia dan belum tergantikan hingga saat ini. Hampir setiap hari dinyanyikan, hampir setiap saat diajarkan.
Dengan “bekal sosial” seperti ini harusnya cacatua sulphurea abbotti terbebas dari ranah kepunahan. Namun kenyataannya tidak demikian yang terjadi. Di habitat aslinya disana, Kakatua berjambul kuning ini hanya terdeteksi tinggal 24 ekor saja. Sungguh mengerikan!
Ancaman yang masif terhadap spesiaes ini membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menargetkan angka peningkatan jumlah populasi terhadap satwa prioritas ini. Angka yang ditarget adalah sebesar 10 persen sampai tahun 2019.
Ini sebuah angka target yang besar bagi satwa yang memiliki tingkat reproduksi rendah. Dari daftar 25 spesies terancam punah – sesuai IUCN Red List Of Treatened Species – yang ditargetkan meningkat populasinya di Jawa Timur terdapat 4 satwa prioritas. Yaitu, Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), Banteng (Bos javanicus), Rusa Bawean (Axis Kuhlii) dan Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea abbotti ).
Keempat prioritas yang harus digarap dan sudah ditetapkan Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI ini adalah Kakatua Kecil Jambul Kuning. Sebuah ikonik yang paling memiliki magnetude besar dan mendesak. Satwa ini tidak saja eksotis tetapi juga karena habitatnya yang cukup aneh.
Habitat aslinya bukan di hutan atau kawasan konservasi melainkan di lahan-lahan milik masyarakat. Ini sebuah target yang berat dalam rangka meningkatkan populasinya. Di habitat alaminya – dalam perkembangan kependudukan habitat asli itu milik masyarakat – status Kakatua Kecil Jambul Kuning adalah hama untuk lahan masyarakat.
Habitat Terakhir
Tahun 1987, dalam sejumlah penelitian disebutkan, kepulauan Masalembu di wilayah Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, dianggap sebagai habitat terakhir Kakatua Jambul Kuning. Ras abotti ini hanya ditemukan di Pulau Masakambing yang menjadi bagian dari kepulauan Masalembu. Ini sebuah fenomena sebab pulau seluas 779 ha itu juga ditinggali secara turun-temurun oleh penduduk dari etnis Madura.
Penduduk pun menyebutnya sebagai burung Bekka’. Mereka mau tak mau hidup semi berdampingan. Bekka’ hidup di lahan-lahan perkebunan dan sebagian lainnya di hutan mangrove yang mengelilingi pulau.
Pada tahun 1980-an dimungkinkan terjadi ledakan populasi sehingga burung bekka’ sangat banyak di Pulau Masakambing. Akibatnya tanaman pertanian dan perkebunan masyarakat seperti jagung, kelapa dan buah-buahan sering hancur diserbu kawanan burung berparuh bengkok ini.
Konflik pun terjadi dan tak terhindarkan. Kakatua yang nama lainnya seperti sebuat untuk pendekar ini dianggap sebagai hama pertanian. Celakanya burung ini tergolong cerdas sehingga masyarakat tak sekadar mematikan tetapi juga memburu untuk kemudian dijual secara bebas hingga ke luar Pulau Masakambing.
Perburuan yang masif membuat populasi Kakatua Kecil Jambul kuning makin terdesak. Ini yang mengubah lingkungan. Di akhir tahun 1990-an tahu-tahu diketahui Kakakua Jambul Kuning sudah diambang kepunahan. Hebatnya, perburuan masih terjadi sampai awal tahun 2000-an. Padahal saat itu Kakatua Kecil Jambul Kuning telah masuk kedalam daftar jenis satwa dilindungi sesuai dengan PP no 77 tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Perburuan baru benar-benar berhenti pada tahun 2009 karena jumlahnya yang tinggal beberapa ekor. Juga karena Kakatua ini mendapat perhatian lebih dari para pemerhati burung dan Pemerintah.
Data Terakhir menyebutkan, Kakatua Jambul Kuning diperkirakan tinggal 24 ekor saja. Hewan-hewan cerdas ini mulai makan, tidur, bermain dan berkembang biak di pohon-pohon milik masyarakat. Pohon randu menjadi tempat bersarang, pohon kelapa yang tinggi menjadi rumah untuk tidur, dan pohon buah seperti sukun, kedondong, jeruk menjadi tempat bermain sekaligus mencari pakan. Sementara, sebagian kecil burung di antaranya hidup di hutan mangrove.
Meski sudah dalam perlindungan maksimal tetap masih memungkinkan Jambul Kuning mendapat ancaman yang besar. Apa itu? Kondisi masyarakat Masakambing rata-rata memiliki tingkat perekonomian rendah. Jadi tidak menutup kemungkinan sewaktu-waktu pohon yang menjadi sumber kehidupan bagi Jambul Kuning ditebang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Untuk mengatasi kemungkinan ini sejumlah aktivitas dan perangkat lain disiapkan. Balai Besar KSDA Jawa Timur secara ajeg melakukan monitoring sejak tahun 2011. Tak hanya melakukan monitoring, Balai Besar KSDA Jawa Timur juga melakukan kegiatan perlindungan dan pembinaan habitat bagi Kakatua Kecil Jambul Kuning.
Pemasangan plang informasi, larangan, sosialisasi ke masyarakat dan sekolah, perlindungan pohon sarang dan pemasangan sarang buatan. Di luar Balai Besar KSDA, perangkat daerah setempat rupanya juga tak mau tinggal diam. Seluruh masyarakat di Desa Masakambing diikat dengan peraturan: Dilarang Menangkap Bekka!
Perdes No. 01 PERDES 435.424.103/2009 Masakambing tahun 2009 juga telah mengaturnya dengan ketat. Jangankan menangkap, menebang pohon sarang dan pohon pakan saja akan berhadapan dengan sanksi-sanksi yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Desanya.
Perlindungan
Status Kakatua Kecil Jambul Kuning sangat penting dimengerti oleh masyarakat yang bersentuhan langsung dengan habitat alaminya di Masakambing. Pengertian tak hanya sebatas satwa yang dilindungi Penerintah dengan Undang-Undang. Pengertian harus mampu menyentuh bahwa satwa ini adalah endemik Pulau Masakambing.
Jadi, apabila perlindungan terhadap Bekka ini gagal Bekka maka akan punah. Artinya, sudah tidak ada lagi Bekka di Dunia ini. Status ini harus masif disosialisasikan kepada masyarakat, instansi perintah dilingkup desa, kecamatan, hingga Kabupaten di Sumenep.
Menjaga kelestarian Kakatua Kecil Jambul Kuning tidak bisa dilakukan secara sendiri namun harus mendapat dukungan dari semua pihak khususnya adalah masyarakat Pulau Masakambing. Tindakan taktis lainnya adalah pemasangan papan himbauan/informasi.
Tempat-tempat umum menjadi titik penting pemasangan papan informasi/himbauan; Kecamatan Masalembu, Pelabuhan Masalembu, Kantor Desa Masakambing, Pelabuhan Ketapang dan Pelabuhan Tanjung. Informasi berisikan ajakan untuk melestarikan Kakatua Kecil Jambul Kuning berikut aturan-aturan perlindungan sesuai dengan UU no 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. PP No 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Perdes Masakambing No. 01 PERDES 435.424.103/2009.
Tahapan penting lain agar target peningkatan popularitas tercapai adalah adanya pemasangan sarang buatan. Ini penting dilakukan mengingat Kakatua Kecil Jambul Kuning meletakkan telurnya di dalam batang kayu yang growong kemudian mengeraminya sampai dengan menetas. Selanjutnya sang induk bergantian menjaga si anak hingga mampu terbang dan mencari pakan sendiri.
Merujuk kejadian tahun 2014, model alamiah seperti ini menjadi ancaman sebab pohon sarang yang di tempati rawan roboh diterpa angin. Mereka akhirnya mati. Seperti juga terjadi tahun 2016, satu anakan Kakatua harus keluar sarang sebelum waktunya terbang karena sarangnya tergenang air saat hujan lebat. Kakatua anakan akhirnya jatuh dan mati.
Tahun 2017 kejadian serupa terulang. Hujan lebat membuat dua anakan harus keluar sarang sebelum waktunya. Namun kali ini beruntung masih diselamatkan warga dan dapat kembali di diterbangkan.
Secara alami Kakatua Kecil jambul Kuning suka bersarang pada batang kayu yang telah mati dan lapuk sehingga ketika angin dan hujan rentan patah bahkan roboh sehingga membahayakan bagi induk dan anaknya sendiri.
Menurut Didik Sutrisno, Penyuluh pada SKW 4 Pamekasan, kejadian ini adalah kasuistis. Maka sebuah tim penyelamat dibentuk untuk membenahi habitat. Tim mencoba membuat sarang yang di desain menyerupai sarang aslinya di alam. Sarang terbuat dari batang kayu yang growong dengan ukuran panjang sekitar 1,5 meter dan diameter sekitar 30 cm.
Didik Sutrisno juga menjelaskan, sarang buatan kemudian dipasang di atas pohon Randu dengan ketinggian sekitar 10-12 meter. Dicoba 6 sarang. Ekspektasinya, pemasangan sarang mampu memberikan tempat berkembang biak yang aman bagi Kakatua Kecil Jambul Kuning.
Tak hanya memasang sarang, perlindungan pohon sarang juga mutlak diperlkukan. Predator bagi telur dan anak Kakatua Kecil Jambul Kuning adalah Biawak. Meskipun belum ada data jumlah telur atau anakan Kakatua yang mati akibat predator namun upaya perlindungan sarang ini perlu juga menjadi aksi. Sangat memungkinkan Biawak menjadi ancaman karena biawak mampu memanjat pohon. Perlindungan pohon sarang dilakukan dengan melilitkan plastik Fiber di pohon sarang sehingga ketika ada biawak yang mencoba memanjat akan terpeleset saat melewati plastik fiber.
Salah satu faktor penentu kelangsungan Kakatua Jambul Kuning adalah ketersediaan pakan. Sebab itu program penanaman pohon pakan harus menjadi rancangan yang berkelanjutan. Faktanya, saat ini pohon pakan, pohon sarang, dan pohon tidur masih cukup untuk Kakatua Kecil Jambul Kuning.
Namun perlu dipikirkan langkah antisipasi jangka panjang mengingat status pohon yang ditempati sekarang adalah milik masyarakat yang setiap saat bisa saja ditebang kebutuhan ekonomi pemiliknya. Kemungkinan ini membuat Tim Pembinaan Habitat Kakatua Kecil Jambul Kuning menanam 200 semai mangrove, 200 semai kelapa, 200 semai Randu dan 200 semai Kedondong dilahan masyarakat yang telah mendapat persetujuan dari pemilik lahan. (*)