Duet Mudin Syafi'i dan Tukul Bintoro dalam Mengurus Jenazah HIV
Tak banyak orang yang mau menyandang predikat ini, yaitu sebagai modin kampung. Selain kerjanya hanya berdasar sukarela, misalnya menjadi imam masjid, tak jarang mereka juga harus melakukan aktivitas yang tak enak yaitu memandikan jenazah.
Panggilan untuk memandikan jenazah bisa datang kapan pun. Para mudin kadang juga harus memandikan jenazah yang mengidap penyakit menular, seperti HIV. Namun, di Morokrembangan Surabaya, malah ada seorang mudin mendedikasikan dirinya untuk memandikan jenazah HIV.
****
Sore itu, Mudin Syafi’i menemui Ngopibareng.id Balai RW 6 Tambak Asri. Mengenakan peci hitam dan baju muslim warna krem, Ia ditemani seorang rekannya, Tukul Bintoro. Tukul ini memang menjadi 'asisten' Syafi'i. Saat memandikan jenazah HIV, Syafi’i biasa memang biasanya dibantu oleh Tukul. Jika sang Mudin mengurus pemandian jenazah HIV, Tukul berfokus pada pendampingan pengobatan pasien HIV serta kepengurusan pemakaman.
Syafi'i pun kemudian bercerita. Sebelum menjadi mudin dengan spesialiasi memandikan jenazah HIV, Syafi’i sebenarnya masih 'menjabat' sebagai wakil mudin. Namun, meski baru menjadi wakil, tapi Syafi’i sudah sering terlibat dalam memandikan jenazah. Syafi'i melakukan sering melakukan itu di saat mudin utama berhalangan hadir dalam memandikan jenazah. Dia sebagai penggantinya. Pengalaman memandikan jenazah sebenarnya bukan didapat saat sudah dewasa saja, tapi Syafi'i sudah pernah punya pengalaman memandikan jenazah sejak SMP.
“Sejak SMP sudah sering memandikan jenazah. Baru-baru ini saja memandikan jenazah HIV. Itupun awal mulanya nggak tahu” ucap Syafi’i
Ketika mendengar pernyataan tersebut, Tukul yang duduk di samping Syafi’i kemudian tertawa. Ternyata, spesialisasi pemandian jenazah HIV ini disebabkan oleh keusilan Tukul. Kata Tukul, dia awalnya memang sengaja ngerjain Syafi'i. "Saya nggak bilang kalau jenazahnya kena HIV. Kalau nggak gitu dia takut dan ga ada yang mau memandikan” kata Tukul
Ihwal bersinggungan dengan jenazah dengan HIV ternyata penyebabnya adalah dari Tukul. Sebelum menjadi asisten mudin Syafi'i Tukul ternyata pernah menjadi GM alias germo di lokalisasi Tambakasri. Dia pun sangat benci kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus menanggulangi HIV kepada Pekerja Seks Komersial (PSK). Sekitar tahun 2007 ia mempekerjakan delapan PSK. Ia menentang LSM yang mewawancari kasus HIV pada PSKnya. Ia bekerja sama dengan RT setempat dan mucikari yang lain untuk menolak LSM masuk. Ia menganggap LSM menghambat bisnisnya.
Saking geramnya ia akhirnya menantang orang LSM untuk membuktikan korban HIV. LSM pun bersedia dan mengajak mereka untuk ke RS Dr. Soetomo Surabaya. Saat itu ia ditemani Pak RT untuk menjenguk pasien HIV.
Tukul langsung trenyuh saat melihat seorang pasien dengan tangan dirantai besi. Pasien ini terpaksa harus dirantai karena ingin bunuh diri. Sejak saat itu ia peduli akan HIV dan sering membantu LSM, mulai mendampingi pasien HIV, memandikan jenazah hingga memakamkan.
Memandikan jenazah pertama pasien HIV terjadi pada tahun 2007. LSM meminta Tukul untuk membantu mengurus jenazah. Semua peralatan sudah disiapkan, mulai dari air yang bercampur pemutih hingga sarung tangan dan masker.
Tukul meminta Syafi'i memandikan jenazah. Dengan mengenakan sarung tangan dan masker, tanpa rasa curiga Syafi’i memandikan jenazah. Syafi’i baru menyadari jika Tukul meminta bantuan untuk memandikan jenazah ternyata pasien HIV setelah dua tahun.
Setelah tahu yang ia berulangkali memandikan jenazah HIV, Syafi'i bukannya malah mundur, tapi malah bertambah semangat. Dia pun mengikuti berbagai pelatihan pemandian jenazah HIV untuk mudin. Mulai pelatihan yang diadakan oleh Puskesmas, swasta hingga Dinas Sosial.
Bapak tiga anak itu semakin semangat untuk membantu umat dalam mengurus jenazah HIV. Dia tidak takut tertular dan menganggapnya sebagai makanan sehari-hari.
“Saya insyaallah memang niat untuk umat. Saya nggak takut tertular. Sudah sering memandikan soalnya,” kata Syafi'i.
Jika Syafi'i kebagian memandikan, Tukul membantu dalam menangani pasien HIV. Mulai dari melakukan pendampingan pengobatan, menguruskan surat berobat hingga menguburkan jenazah.
Penanganan jenazah HIV berbeda dengan jenazah biasa. Jenazah dengan HIV harus dibungkus menggunakan plastik dan peti mati dari kayu. Dalam penurunan petinya pun menggunakan bantuan tali. Hal ini bertujuan agar orang yang menguburkan tidak berpotensi tertular. Walaupun pasien HIV sudah meninggal, masih ada cairan yang keluar dari tubuhnya. Jika terkena kulit manusia, bisa berpotensi menyebar virus HIV tersebut.
“Saya yang ngurus peti matinya, saya bikinkan dari kayu. Di atas kain kafan ada plastiknya biar cairan yang keluar tidak menular,” kata Tukul
Meski aktivitas ini adalah sosial atau tak sebanding dengan uang yang diterima, namun Tukul mengaku ada kesenangan tersendiri yang tak terbayarkan, saat bisa membantu pasien HIV sampai tuntas. Khususnya ketika pasien yang ia dampingi bisa sembuh. Sebaliknya, dia akan merasa sedih jika pasien dampingannya meninggal. Dia pun akan sukarela mengurus jenazahnya sampai ke pemakamannya.
Kesedihannya akan bertambah jika jenazah yang harus dimakamkan kondisinya memprihatinkan. Tak jarang, mereka harus mengurus jenazah dengan daging terbuka. “Sedih melihatnya. Daging manusia sampai kelihatan tulangnya” ujarnya
Duet sosial Syafi'i dan Tukul sudah diakui instansi-instansi. Tak jarang mereka dimintai bantuan untuk memandikan jenazah HIV ke daerah lain. Karena tak banyak mudin punya pengetahuan bagaimana memandikan jenazah HIV. Kalau pun mungkin sudah tahu caranya, mungkin mereka masih ketakutan sehingga tak mau.