Kerja Keras, Difabel Asal Jombang Punya Merk Peci Sendiri
Namanya Joko Suwito, warga asli Dusun Jatirowo, Desa Jatigedong, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Siang itu ia tekun menyortir peci jualannya. Keterbatasan fisik pada tangannya tak menghalanginya membuat peci sendiri. Sebagai seorang difabel, pria yang kerap disapa Cak Joko ini kini sedang merintis usaha songkok dengan label sendiri.
Ide berjualan peci bermula setelah dia mengundurkan diri pabrik peci. Setelah bekerja selama satu tahun, Cak Joko merasa sudah saatnya untuk mengembangkan usaha sendiri dengan label pribadi. Bermodal uang tabungan dan pinjaman, beragam songkok pun siap dipasarkan.
Peci buatanya bermerk Mutiara dan 3 Bintang. Suwito menjahit semua songkongnya dengan tangan dinginya. Ia sanggup menjahit hingga 100 peci setiap harinya. Ia menggunakan sejumlah bahan berbeda. Antara lain songkok berbahan kain bludru serta songkok khas Cak Nun.
Harganya pun beragam, mulai dari Rp 35 ribu hingga Rp 60 ribu. Topi khas yang sering digunakan Muslim untuk beribadah ini akan dipasarkan secara online, dititipkan di reseller, dan beberapa toko.
“Ide berjualan ini setelah saya keluar dari pabrik pembuatan peci. Satu tahun di sana, saya merasa harus mulai mengembangkan sendiri,” katanya.
Jual Hingga ke Palestina
Tujuh bulan sebelum ada pandemi, per bulannya sebanyak 30 hingga kodi peci ludes terjual. Namun, sejak pagebluk paling banyak lima kodi diburu pelanggannya. Pembelinya pun menyebar di seluruh kota di Indonesia. Antara lain Kalimantan, Banyuwangi, Malang, Kediri, Jombang, Surabaya dan Jakarta.
Sementara itu, selain peci, pria 40 tahun itu juga menjual beberapa produk buatan tangan dinginnya. Seperti udeng, blangkon dan pipa rokok. Pipa rokoknya pun pernah dikirim ke luar negeri. Pipanya unik, diukir dari kayu berbentuk hewan yang melambangkan kegagahan.
“Pembeli saya hingga luar negeri. Kalau yang songkok paling jauh Jakarta dan Kalimantan. Sedangkan pipa rokok itu sampai Arab Saudi, Turki, Korea Selatan, dan Palestina. Bahannya dari kayu besi dan bermotif naga dan macan,” katanya.
Pekerja Keras
Kendati menjadi penyandang difabel, Cak Joko tidak mau hidup dari belas kasihan orang. Cacian dan hinaan pun tak dihiraukannya. Pada saat covid-19, omzetnya menurun drastis. Hal ini disebabkan banyaknya pelanggannya yang merupakan murid pondok yang dipulangkan. Terlebih, mereka belum bisa kembali menunggu instruksi pemerintah.
Sementara itu, untuk bertahan hidup Cak Joko mengaku bersyukur mendapat bantuan dari pemerintah selama tiga bulan. Untuk menambal kekurangannya, dia dibantu sang istri, Tutik Wahyuni yang bekerja di warung sembako tetangga.
“Omzet menurun drastis karena pelanggan saya mayoritas anak pondok. Kemarin ya Alhamdulillah sempat dapat bantuan dari pemerintah Rp 600 ribu. Istri saya juga kerja di warung buat pemasukan tambahan,” katanya.
Di sisi lain, keterbatasan fisiknya tak menjadi penghalang untuk pekerja. Dengan keuletan dan semangatnya yang tinggi, dia bisa menyekolahkan Niftia Febriani, anak semata wayangnya hingga Sekolah Menengah Atas.
Semangat membaranya pun dia wariskan ke putrinya tersebut. Dia mendidiknya agar tahan banting dan belajar menjadi pribadi yang kuat. Tak heran, usaha kerasnya berbuah manis. Niftia diterima di salah satu pabrik dengan gaji diatas Rp 3 juta lebih per bulan-nya.
“Selama masih bisa melakukan sendiri harus pantang menyerah. Saya mengajari anak saya agar mau bersusah payah dalam hidup. Alhamdulillah sekarang dia bekerja di pabrik ternama,” katanya.