Kisah GM Sudarta, Sang Mualaf yang Kini Telah Tiada
Tokoh pers senior yang juga kartunis kawakan, Gerardus Mayela (GM) Sudarta meninggal dunia, pada Sabtu, 30 Juni 2018. Seniman kebanggaan Indonesia itu meninggal dunia sekira pukul 08.25 WIB pagi, dalam usianya 72 tahun.
Siapa GM Sudarta, berikut catatan yang pernah dia tulis sendiri yang diambil dari https://kisahmuallaf.wordpress.com/2010/12/05/g-m-sudarta-kembali-kepada-keagungan-islam/
G.M. Sudarta : Kembali Kepada Keagungan Islam
Nama saya Geradus Mayela Sudarta, biasa disingkat G.M. Sudarta. Saya lahir pada hari Rabu Kliwon di Desa Kauman, Klaten, Jawa Tengah tepatnya pada 20 February 1948. Saya putra bungsu dari pasangan Hardjowidjoyo dan Sumirah.
Keluarga besar saya, separo Katolik dan separo Islam. Ayah saya Islam Kejawen atau kebatinan, sedangkan ibu saya muslimah. Sejak kecil sebenarnya saya sudah bersyahadat, tapi dalam bahasa Jawa. Meski kemudian ketika menjelang remaja saya dipermandikan (dibaptis). Ini mungkin karena pengaruh adik-adik ayah (paman) yang beragama Katolik. Saya sering ikut ke Gereja bersama mereka. Karena seringnya ke Gereja, saya pernah berujar, “Mendengarkan lagu Gregorian itu sama indahnya seperti mendengar Adzan.”.
Walaupun saya sudah dibaptis dan sering diajak ke Gereja, namun saya seperti tidak beragama Kristen Katolik saja, saya juga merasa sudah begitu akrab dengan agama Islam. Ibu dan saudara-saudara ibu, juga berasal dari keluarga muslim, jadi dapat saya katakan saya sudah begitu akrab dengan Islam.
Ketika saya di SMP saya bahkan pernah menjadi Ketua Rating PII (Pelajar Islam Indonesia) di sekolah. Ketika SMA, saya terlbat dalam pendirian Teater Akbar bersama Deddy Soetomo. Kebetulan, anggotanya kebanyakan dari PII. Teater yang saya dirikan sering menjuarai Festival HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam).
Teater kami sering membawakan naskah-naskah karya Arifin C. Noer, salah satunya adalah naskah yang berjudul Amniah. Naskah ini sering kami pentaskan. Bahkan dalam Kongres PII, Teater Akbar menjadi juara pada festival seninya.
Akibat kemenangan ini, sebuah surat kabar terbitan Semarang menulis, tidak semua anggota Teater Akbar orang muslim. Posisi saya dalam teater ini menjadi serba salah. Padahal saya hanya penata panggung dan kadang-kadang figuran. Pernyataan surat kabar ini pastilah ditujukan kepada saya.
Bagi saya, ini bukan masalah, dalam hal ini saya beruntung dibela oleh sastrawan O’Galelano. Menurutnya yang penting adalah estetika nya. Muslim atau bukan, yang penting bagus.
Selain aktif di dunia teater, saya juga bergaul dengan teman-teman muslim. Dari sanalah saya mulai membaca buku tentang keagamaan. Selain itu, saya juga membaca buku-buku Tan Malaka dan sejenisnya, serta buku yang lebih bersifat eksistensialis. Saya selalu bertanya, sehingga saya makin berfikir untuk mencari sebab dan akibat kehidupan.
Saya hidup untuk apa ? apalagi anggota Pelukis Rakyat banyak mempengarushi saya, sehingga saya bersimpati pada perjuangan mereka, karena ada sebagian anggota yang ikut menjawab pertanyaan saya. Tapi, itu tidak begitu lama. Akhirnya saya terus berfikir untuk mencari tahu. Saya pernah berfikir, Tuhan adxa atau tidak ada, tidak menjadi soal.
Sering Ziarah
Untuk menjawab itu, saya sering pergi kebeberapa makan Sunan (Wali). Saya sering tidur di makam Syekh Maulana Yusuf di Banten, makam Sunan Kudus, bahkan sampai ke Gresik. Namun, pertanyaan itu makin gencar dalam hati saya, walaupun saya sadar tidak akan terjawab. Saya banyak mencari-cari terutama hal-hal yang musykil.
Perjalanan ziarah itu bukanlah untuk mencari apa-apa. Bahkan saya tidak tahu untuk apa. Pertanyaan itulah yang menuntun saya mengunjungi atau menziarahi makam para sunan, bahkan sampai tidur disana. Yang jelas saya mencari pertanyaan yang tidak pernah terjawab tentang Tuhan.
Dari perjalanan mengunjungi makam para wali itu, saya pernah mengalaim kejadian aneh. Di saat saya mengunjungi makan Syekh Maulana Yusuf di Banten, saya di datangi seorang Arab berbaju putih dan bersorban, dengan logat yang kaku ia berbicara tentang nabi Isa AS. Orangnya pintar sekali.
Selanjutnya orang itu menjabat tangan saya, anehnya bau wanginya selama satu minggu tidak hilang, walaupun sering saya cuci. Dari situ saya mencari orang itu sampai ke Kudus dan tempat lain. Saya mencari orang itu tapi tidak ketemu.
Walaupun saya bukan seorang muslim, namun mengunjungi makam para wali sangat berarti bagi saya. Selain mencari jawaban atas hakikat hidup, sekaligus juga untuk mencari inspirasi dalam usaha kerja saya sebagai sorang kartunis (Aktif dalam Harian Kompas http://www.kompas.co.id , Red).
Dari perjalan ziarah inilah, saya menemukan kedamaian dan ketenangan. Banyak hal yang saya temukan. Yang jelas saya kini mendapatkan ketenangan. Walaupun saya masih dalam tahap mempelajari Islam, namun saya sudah mendapatkan karunia itu. Oleh Tuhan saya dititipi sepasang anak kembar.
Dari semua itu semakin menyadarkan saya, bahwa pegangan yang sederhana tetapi mempunyai kekuatan yang luar biasa adalah agama. dan doa kita itu pasti diterima dan dikabulkan Tuhan.
Agama, inilah jawaban yang saya terima dari perjalanan saya mengunjungi makam para wali untuk mencari hakikat hidup. Saya benar-benar disadarkan akan pentingnya sebuah pegangan hidup; Agama – yang menjadi pegangan mengarungi lautan kehidupan.
Masuk Islam
Dari apa yang telah dititipkan Tuhan pada saya — sepasang anak kembar — saya kembali disadarkan oleh rasa keberagamaan saya. Aryo Damar, anak saya yang laki-laki, sejak berusia tiga bulan sampai sekarang, bila ada adzan Magrib di televisi, ia tidak mau melepaskan diri dari depan kaca televisi. Kalaupun sedang menangis, ia berhenti dahulu untuk mendengarkan adzan. Kejadian ini saya rekam dan saya abadikan dalam kaset video. Kelakuan anak saya ini semakin memperingatkan dan membuat saya yakin bahwa pegangan paling sederhana dan mempunyai kekuatan adalah Agama.
Akhirnya, saya putuskan untuk menerima apa yang terjadi pada diri saya. Saya mengikrarkan diri menjadi seorang muslim, dengan kata lain menerima Islam. Perpindahan saya menjadi seorang muslim ini disambut baik oleh teman-teman saya dan mereka memberi beberapa buku agama, tafsir Al-Qur’an dan buku Fiqih Sunnah karya SAayid Sabiq lengka 12 jilid.
Bahkan yang aneh ada teman saya yang memberikan AL-Qur’an jauh sebelum saya mengucapkan dua kalimah syahadat. Mungkin ia sudah mendapat firasat.
Selain itu, banyak pula teman-teman saya yang menyatakan penyesalannya atas keputusan saya itu. Mereka menyesali perubahan yang terjadi pada diri saya. Namun itu tidak membuat saya mundur. Saya tetap berkeyakinan untuk menjadi seorang muslim.
Islam bagi saya adalah agama yang memiliki toleransi paling tinggi. Dengan Islam saya menjadi lebih mantap memastikan pegangan hidup. Kini saya banyak belajar dari istri untuk mendalami agama terutama belajar Al-Qur’an. Selain kepada teman-teman saya juga sering mendiskusikan dengan para tokoh agama . Hal ini saya maksudkan untuk memantapkan keimanan saya.