Fachry Ali Berkisah, Membalik Kebiasaan Humor Gus Dur
Selama ini, Fachry Ali, pengamat sosial politik, berkisah tentang masa-masa sebagai mahasiswa di Australia. Mereka hanya mengonsumsi humor dan lelucon yang disampaikan KH Abdurrahman Wahid.
Nah, kali in, Fachry Ali berkesempatan membalik kebiasaan humor yang dilakukan Gus Dur. Tokoh asal Aceh ini pun menghadirkan humornya untuk Gus Dur, seperti berikut kisahnya:
Jangankan 1980-an, awal 1990-an, Clayton, Melbourne adalah daerah sunyi. Pada musim dingin, kita akan merasa ada di dunia jika ada orang lewat di halaman depan rumah barang satu atau dua orang.
Kesunyian ini tdk bisa dikompensasi dengan pergi ke pasar atau mall atau toko swalayan. Sebab, toko-toko tutup pada pukul 8 malam. Akhir pekan justru puncak kesunyian, karena ‘ekonomi’ tidak bergerak. Toko-toko tutup semua.
Ini berkaitan dengan politik. Partai Buruh selalu menang dalam kontestasi politik di negara bagian Victoria. Karena ada kecenderungan ‘memanjakan’ kaum pekerja, maka pihak yang menang tidak mau mengeksploitasi kaum pekerja. Mereka, demikian asumsi yang dikemukakan, harus punya waktu istirahat dan kumpul bersama keluarga. Inilah yang menyebabkan toko-toko tutup pada Sabtu dan Ahad.
Maka, setiap mahasiswa baru, terutama yang ditempatkan di asrama Normanby di belakang kampus, kesunyian ini sangat menyiksa. Saya pernah mendapatkan sebuah sajak mahasiswa Indonesia yang mengungkapkan kepedihan akan kesunyian ini.
Sajak itu, bersama beberapa bahan pelajaran dibuang begitu saja —ketika sang mahasiswa hendak kembali ke Indonesia. Karena mungkin itulah pertama kali ia membuat sajak, isinya sangat kentara mengungkapkan kerinduan kepada keluarga di tahun awal berada di asrama Normanby.
Ketika sajak itu ditulis, Ibnu Wahyudi, dosen Fak Sastra UI belum datang ke Clayton. Jadi, ia tidak sempat mengkonsultasikannya kepada Ibnu Wahyudi tentang bagaimana membuat sajak apik.
Dalam keadaan beginilah, seperti diceritakan Mohamad Sobary kepada saya, seorang mahasiswa yang sudah senior gelisah dan bermurung durja.
Daripada kita selalu menjadi ‘konsumen’ guyonan Kiai Abdurrahman Wahid, maka biar sekali-sekali kita bercerita, sang kiai yang tertawa. Dan memang benar, ketika apa yang diceritakan Sobary itu saya sampaikan, Kiai Abdurrahman Wahid tertawa mengakak.
Bagaimana ceritanya?
Karena telah begitu rindu kepada keluarga, maka sang mahasiswa di atas menyiapkan uang A$20 untuk menelpon. Uang itu dipecah-pecah dalam unit A$2. Dengan cara ini, ia bisa menyambung telpon dengan memasukkan koin A$2 —tiap-tiap telepon hendak terputus.
Setelah berbicara dengan isteri secukupnya, tibalah gilaran ia bicara dengan empat putra-putrinya. Dan tiap anak selalu mendapat nasihat penutup. Bunyinya begini: ‘Sinawu sing mempeng. Ajo lali shalat.’ Dan ini tentunya diucapkan berulang.
Karena terlalu sering dan tak lagi konsentrasi, akhirnya sang mahasiswa tak lagi sadar. Dan inilah nasihat yang diberikan kepada anak yang mendapat giliran bicara terakhir ditelpon itu: ‘Sinawu sing mempeng. Ajo shalat!’
Ha ha ha