Kisah Emil Kusmariati, Guru Swasta yang Jualan Nasi Bungkus
Seorang perempuan tampak sibuk di dalam ruangan berukuran 2,5 x 4 meter. Perempuan berkerudung cokelat dengan celemek merah muda itu dengan telaten mengelap beberapa helai daun pisang. Daun pisang itu lantas dirapikannya dan disusun bertumpuk.
Di samping daun pisang itu tampak berjajar masakan matang yang baru dientas dari kompor. Dari jarak dekat tercium aroma nasi bercampur sereh menyeruak di hidung. Tampak pula olahan cumi hitam, ayam cincang, tongkol, daun kemangi, dan irisan cabai yang siap dibungkus.
“Saya sambil nyambi ya, ada pesanan nasi bakar yang diambil sore ini,” kata perempuan bernama Emil Kusmariati membuka percakapan.
Emil lantas melanjutkan aktivitasnya. Dengan hati-hati Emil memasukkan sedikit demi sedikit nasi yang telah dianginkannya ke dalam daun pisang. Seraya membungkus dagangannya, Emil pun mulai berkisah.
Terhitung sejak 2015, ibu ketiga anak itu mengabdikan dirinya sebagai pendidik di salah satu sekolah swasta Surabaya. Setiap Senin hingga Rabu, Emil menghabiskan waktunya di sekolah mengampu mata pelajaran Food and Beverage. Tak heran, Emil dulunya menempuh pendidikan di jurusan Pariwisata dan Perhotelan.
Sementara, tak pernah terbesit pun di benak Emil menjadi seorang guru. Sebelumnya perempuan berkulit kuning langsat ini pernah berulang kali ditawari mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Namun, saat itu Emil belum memiliki keberanian untuk mengambil kesempatan tersebut.
Keengganan Emil ini bukan tanpa alasan. Emil yang pernah bekerja sebagai pegawai administrasi merasa kurang berpengalaman. Hatinya yang tak siap itu dilanda kegamangan. Emil tak pernah mengenyam pendidikan di sekolah keguruan.
“Saya ini bukan lulusan jurusan pendidikan, apakah mungkin bisa ngajar? Tapi semua berubah waktu saya bertemu kepala sekolah SMK yang saya kenal. Hati saya terketuk, saya lalu berkata mungkin ini memang sudah saatnya,” kata Emil mengenang.
Butuh waktu satu semester bagi Emil untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya itu. Beruntung atas dukungan positif rekan kerjanya Emil mulai terbiasa. Bagi Emil menjadi seorang pendidik mengajarkannya banyak hal berharga dalam hidup.
Salah satunya mampu memahami karakter siswa yang beragam. Emil pun belajar kesabaran kala menghadapi siswa yang terkadang membuatnya mengelus dada. Namun, selain itu ada pengalaman yang membuatnya terngiang-ngiang hingga sekarang.
Kala itu di tahun 2017 Emil ditunjuk sebagai guru wali kelas sepuluh. Di kelas tersebut ada tiga anak berkebutuhan khusus dengan tingkatan yang berbeda. Seperti level anak taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Dengan penuh kelembutan Emil mengajari dan menghadapi mereka. Kebaikan Emil pun berbuah manis. Hingga saat ini Emil masih menjaga hubungan baik dengan ketiganya.
“Sampai sekarang masih kontak, mereka juga terkadang menyapa lewat chat. Mereka itu lucu, ada yang menuntun saya harus ini itu. Saya iya-kan saja. Saya juga masih ingat, dulu ada yang tidak bisa makan nasi pas ada kegiatan sekolah. Akhirnya selama dua hari kegiatan itu saya yang menyiapkan makan dia,” kata Emil dengan antusias.
Sayangnya, di balik jerih payahnya sebagai pendidik gaji yang didapat Emil tak sebanding. Pendapatannya ini dihitung sesuai jumlah jam tatap muka setiap harinya. Jika jamnya banyak maka dapatnya juga banyak. Sama halnya dengan jumlah jam yang sedikit.
Untuk saat ini setiap bulannya Emil mengantongi kurang dari Rp 1 satu juta. Jumlah ini bisa berubah sewaktu-waktu menyesuaikan jumlah jam sesuai jadwal yang diperbarui per semesternya.
Penghasilan ini tak mampu mencukupi kebutuhan keluarga Emil sehari-hari. Terlebih, suaminya hanya bekerja sebagai teknisi freelance di sebuah perusahaan swasta. Penghasilannya tak tentu, mau tak mau perempuan kelahiran tahun 1970 itu harus memutar otak. Maklum, Emil mempunyai tanggungan menyekolahkan anak terakhirnya yang duduk di bangku SMA.
Akhirnya tercetuslah ide berjualan makanan. Setiap harinya Emil berjualan nasi bungkus yang terletak di jalan raya tak jauh dari rumahnya. Selain itu, dibantu seorang pegawai Emil membuka warung nasi di rumahnya.
Tak sampai di situ, setiap tiga hari sekali Emil memproduksi bawang merang dan putih goreng. Emil juga menerima pesanan katering. Menu andalannya adalah nasi bakar yang sudah terdaftar dan memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Terakhir, khusus Ramadhan Emil membuka pesanan kue kering.
“Saya ada ide jualan dari pesanan keluarga suami yang sibuk kerja dan tidak sempat masak. Pas dicoba kok katanya enak, akhirnya merembet ke tetangga dan teman kerja,” katanya.
Namun, jika ditotal dari seluruh pendapatannya angkanya kurang dari Rp 3 juta per bulan. Jumlah ini terhitung kecil. Tak heran jika Emil sering dibuat pening kala ada kebutuhan mendadak.
“Kalau berlebih sing enggak, tapi ‘ngepres’. Kadang pas uang terkumpul langsung sisa sedikit. Soalnya bayar sekolah anak, air dan listrik. Belum termasuk bahan makanan untuk warung,” tutup perempuan asli Surabaya itu.