Kisah Butet Selamat dari Serangan Jantung Mematikan
Saya iri dengan Butet Kertaredjasa. Seniman asal Jogjakarta ini betul-betul disayang Tuhan. Hidupnya banyak menghibur orang, dapat bonus umur setelah jantungnya kena serangan.
Empat hari lalu, ia ambruk saat pentas dalam pertunjukan bertajuk Kanjeng Sepuh. Ia memerankan tokoh Semar dalam karya Agus Noor di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Ia seharusnya tampil di atas panggung beberapa kali. Tapi karena sejak awal pementasan badannya lemas dan keluar keringat dingin, ia memaksa tampil di adegan penutup yang memang harus diperankan.
"Saya tidak merasa sakit sama sekali. Hanya lemas dan terus keluar keringat dingin," cerita dia saat saya membezuknya di Rumah Sakit Santo Carolus Jakarta.
Butet memang punya sejarah penyakit jantung. Satu ring sudah dipasang sejak tahun 2010 lalu. Saat ia kena serangan pertama. "Dulu waktu serangan rasanya dada nyeri sekali. Kali ini tidak," tambahnya.
Sebetulnya ia sudah merasa tidak enak badan sejak pagi hari. Saat sarapan pagi. Ia sudah tidak bisa menghabiskan sarapan nasi campur yang menjadi favoritnya. Biasanya ludes, kali ini hanya separuhnya.
Saat persiapan di TIM sore hari, ia sempat pamit balik hotel karena merasa tak enak badan. Setelah tidur sejenak, Butet kembali ke lokasi pertunjukan dengan sangu minyak angin. Merasa lemas dan terus keluar keringat.
Ia memaksakan diri untuk tetap bisa tampil. Padahal, semuanya sudah merayu untuk tak memaksakan. Agus Noor --sang penulis naskah dan sutradara-- sudah mengganti perannya.
"Saya ngotot untuk tetap naik panggung. Minimal di closing. Sebab, pementasan ini akan jadi aneh dan tak sempurna tanpa saya tampil di closing," kenang Butet.
Sambil menunggu tampil, di belakang panggung ia terus dipijit sambil diolesi minyak angin oleh yang lain. Ia sempat merasa tertidur. Atau lebih tepatnya pingsan. Toh demikian, Butet tetap fokus ingin tampil di ujung pertunjukan.
"Jadi tidak ambruk di panggung. Hanya saja Agus Noor menceritakan ke orang-orang dengan begitu dramatisnya. Djaduk (Djaduk Ferianto, adiknya yang juga seniman) malah tak tahu apa-apa," tambah Butet.
Setelah sukses tampil dengan kondisi badan lemas dan keringatan, ia pun memutuskan ke UGD RS Santo Carolus di Salemba. Niatnya untuk minta dopping agar besoknya bisa ikut pementasan lagi.
Setelah diperiksa, dokter memastikan ia kena serangan jantung. Ia pun harus menjalani tes darah Troponin T. Ini adalah tes untuk mengetahui kadar protein dalam jantung. Ternyata kadar protein dalam jantung 2,4. Padahal normalnya 0,1.
"Kata dokter, dengan kadar segitu sudah harus dilakukan tindakan. Namun untuk memastikan dites lagi esoknya. Hasilnya sudah naik menjadi 6. Maka langsung diputuskan harus diambil tindakan saat itu juga," cerita Butet.
Cerita Butet ini dibenarkan Dokter Hardjo Prawiro, SpPD, KKV, ahli jantung yang menanganinya. Menurutnya, gejala serangan jantung Butet ini tidak seperti biasanya. Umumnya, orang yang terkena serangan selalu merasa sakit di dada sampai tembus ke belakang.
"Ketika diperiksa dengan electrokardiogram (EKG), fluktuasi garisnya hampir seperti orang normal. Karena itu, kami putuskan tes darah. Baru melalui tes darah ini ketahuan kenaikannya lebih dua kali lipat," katanya.
Masih kata dokter, 100 persen jantung kanan Butet sudah tidak teraliri darah. Sedangkan jantung kirinya tinggal 50 persen. Di jantung bagian kiri ini sudah terpasang ring saat Butet terkena serangan jantung pertama sembilan tahun lalu.
Butet beruntung. Ia diberi golden periode yang cukup panjang sehingga terselamatkan. Golden periode adalah dua jam pertama setelah serangan. Inilah masa penyelamatan bagi seseorang yang terkena serangan jantung.
Golden periode Butet tidak hanya dua jam. Diperkirakan, sejak terkena serangan sampai tindakan sampai 12 jam. "Sejak sarapan pagi sebelum pentas, saya sudah merasa tidak enak. Diperkirakan serangan sejak saat itu," kat Butet.
Kini di jantung Butet bersemayam lima ring. Satu ring dipasang sembilan tahun lalu, empat ring dipasang beberapa hari lalu. "Jadi saya sekarang dapat julukan jenderal bintang 5," katanya sambil tertawa. (Arif Afandi)
Advertisement