Kisah Bijak Para Sufi, Tentang Burung dan Telur
Ajaran kaum sufi, mempunyai kekhasan tersendiri. Hikmah-hikmahnya disampaikan dengan kisah-kisah humor.
Idris Shah, peneliti dan praktisi "Dimensi Esoteris dalam Islam", menghadirkan buku "Harta Karun dari Timur Tengah, Kisah Bijak Para Sufi". Satu di antara humor tentang Burung dan Telur, berikut.
Konon, ada seekor burung yang tidak mempunyai tenaga untuk terbang. Seperti ayam, ia berjalan saja di tanah, meskipun ia tahu bahwa ada burung yang bisa terbang.
Pada suatu ketika, terjadilah, lewat berbagai keadaan, ada telur seekor burung yang bisa terbang yang dierami oleh burung yang tak bisa terbang itu.
Setelah sampai waktunya, telur itu pun menetas. Burung kecil itu masih mempunyai kemampuan untuk terbang yang selalu dimilikinya, bahkan ketika ia masih berada dalam telur.
Ia pun berkata kepada orang tua angkatnya, "Kapan aku akan terbang?" Dan burung yang hanya bisa berjalan di tanah itu menjawab, "Tetaplah terus belajar terbang, seperti yang lain."
Sebab burung itu tidak tahu bagaimana mengajarkan anak angkatnya itu terbang, ia bahkan tidak tahu bagaimana menjatuhkannya dari sarang agar ia bisa belajar terbang.
Dan aneh bahwa burung kecil itu tidak mengetahui hal tersebut. Pengenalannya terhadap keadaan terkacaukan oleh kenyataan bahwa ia merasa berterima kasih kepada burung yang telah menetaskannya.
"Tanpa jasanya," katanya pada diri sendiri, "tentu aku masih berada dalam telur."
Dan lagi, kadang-kadang ia bergumam pada diri sendiri, "Siapa pun yang bisa mengeramiku, tentu bisa juga mengajariku terbang. Pasti ini hanya soal waktu saja, atau karena usahaku yang tanpa bantuan, atau karena suatu kebijaksanaan agung: ya, pasti karena itu. Akan tiba waktunya, suatu hari nanti aku akan dibawa ke tahap berikutnya oleh ia yang telah membawaku sejauh ini."
Renungan:
Kisah ini terdapat dalam beragam bentuk pada versi-versi yang berbeda dari karya Suhrawardi, Awarif al-Ma'arif pada abad kedua belas, dan mengandung berbagai pesan.
Dikatakan bahwa kisah ini bisa ditafsirkan secara intuitif sesuai dengan tahap kesadaran yang dicapai oleh si murid.
Yang jelas, kisah ini mengandung ajaran moral, beberapa di antaranya menekankan nilai-nilai paling mendasar dari peradaban modern, termasuk:
'Adalah menggelikan anggapan bahwa suatu hal mengikuti sesuatu yang lain; anggapan itu menghambat kemajuan selanjutnya,' dan 'Hanya karena seorang bisa melakukan fungsi tertentu tidak berarti bahwa ia bisa melakukan fungsi lainnya.'
Demikian dalam "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi" (Jogjakarta: Penerbit Kanisius, 1996)