Kirim 200 Sapi ke Luar Provinisi Tanpa SKKH, Pedagang Jember Rugi
Dampak buruk penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menyerang sapi benar-benar dirasakan oleh pedagang dan peternak sapi. Seperti yang dialami sejumlah pedagang hewan asal Kabupaten Jember.
Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Hewan Kabupaten Jember Achmad One Prasetiono mengatakan, beberapa waktu lalu sejumlah pedagang mengirim 200 ekor sapi ke Jawa Barat. Ia nekat mengirimkan ratusan sapi dagangan tanpa dilengkapi Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH).
Hasilnya proses penjualan ratusan sapi itu mengalami kendala. Sapi-sapi siap jual itu pada akhirnya tidak bisa dijual bebas seperti waktu sebelum terjadi wabah PMK.
Ratusan sapi itu kini tertahan di Purwakarta. Karena proses penjualan yang rumit, Prasetiono hanya bisa mengandalkan pedagang lokal di Purwakarta.
“Proses penjualan dari Jawa Timur ke luar provinsi sangat sulit. Hal itu dikarenakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur melarang pengiriman sapi ke luar dan ke dalam Jawa Timur selama wabah,” kata Prasetiono, Jumat, 27 Mei 2022.
Meski sudah bekerjasama dengan pedagang lokal Purwakarta, namun proses penjualan tidak bisa dilakukan begitu saja. Masih ada yang harus dilakukan, yakni sapi-sapi itu dikarantina sebelum dijual.
Selama karantina, Prasetiono mengaku masih harus mengeluarkan uang untuk biaya pakan sapi-sapi itu. Karena berbagai pertimbangan, Prasetiono akhirnya menjual sapi-sapi itu di bawah harga beli.
“Sapi yang dibeli dengan harga Rp15-17 juta per ekor hanya dijual Rp13 juta. Kami jual rugi karena sapi itu tidak bisa dijual bebas dan mau dibawa pulang ke Jember juga sulit,” tambah Prasetiono.
Hingga hari ini, Jumat, 27 Mei 2022 dari 200 ekor sapi baru terjual sebanyak 30 ekor. Masih ada 170 ekor sapi yang belum terjual.
Atas persoalan yang dialaminya, Prasetiono bersama pedagang hewan lainnya sempat mendatangi Kantor Dinas Peternakan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Jember. Mereka meminta Dinas Peternakan dan Ketahanan Pangan Jember bersedia menerbitkan SKKH. Dengan harapan sisa sapi yang belum terjual bisa dijual dengan harga normal.
Namun, Dinas Peternakan dan Ketahanan Pangan Jember menolak dengan alasan Pemerintah Provinsi Jatim melarang pengiriman sapi ke luar dan ke dalam Jawa Timur selama wabah.
Tidak cukup sampai di situ, Paguyuban Pedagang Pasar Hewan Jember juga mendatangi kantor DPRD Jember. Namun, Prasetiono mengaku belum mendapat respons yang jelas.
Para pedagang hewan Jember merasa terpukul dengan adanya wabah PMK. Padahal seluruh masyarakat baru berusaha bangkit setelah hancur diterjang pandemi Covid-19.
Prasetiono berharap pemerintah segera membentuk satgas khusus penanganan wabah PMK, dengan melibatkan paguyuban pedagang pasar hewan. “Kami sudah mendatangi Dinas Peternakan. Kami minta agar paguyuban pedagang pasar hewan dilibatkan dalam satgas penanganan wabah PMK,” tambah Prasetiono.
Sebab jika wabah PMK tidak segera ditangani, bukan hanya peternak yang akan merugi. Namun juga pedagang, pencari rumput dan penggembala.
Prasetiono menilai pemerintah saat ini belum serius menangani wabah PMK, salah satunya belum transparan mengenai sapi-sapi yang disebut terjangkit PMK.
“Informasi memang ada sapi yang terjangkit PMK. Namun sampai saat ini kami belum melihat langsung hasil uji laboratorium. Pemerintah seperti menutup-nutupi informasi itu,” lanjut Prasetiono.
Sebelumnya, Dinas Peternakan Jember mengaku heran ada 200 ekor sapi asal Kabupaten Jember yang sampai ke Jawa Barat tanpa SKKH. Padahal sebelum terjadi wabah PMK saja, sapi yang akan dikirim ke luar provinsi harus ada SKKH.
Kepala Dinas Peternakan dan Ketahanan Pangan Jember Andi Praswoto mengatakan, sejauh ini pihaknya masih mempertanyakan 200 ekor sapi yang dikirim ke Jawa Barat tanpa SKKH.
“Pertanyaan saya, sapi itu lewat kabupaten mana? Tahu-tahu sapi sudah di sana. Dia dapat SKKH dari kabupaten mana? Kami tidak pernah mengeluarkan itu,” kata Praswoto.
Sejauh yang diketahui Praswoto, dalam perdagangan sapi antar kabupaten, pedagang bisa dari Probolinggo. Atau pedagang dikirim ke Probolinggo atas nama Probolinggo.
“Ternak ini sudah bisa ke Jakarta tanpa SKKH. Kami bisa bilang ini ilegal dalam pengiriman. Kemudian saat di sana ada masalah, kami diminta mengeluarkan SKKH. Dalam kondisi normal pun tidak mungkin kami keluarkan. Apalagi sekarang kita dalam kondisi tidak normal karena wabah PMK,” pungkas Praswoto.