Kian Dekat Menuju Konvergensi
Oleh: Akhmad Zaini
Ini fakta historis yang tidak perlu dipungkiri dan ditutup-tutupi. NU-Muhammadiyah punya catatan tidak harmonis. Kelahiran NU pun, merupakan respon dari gerakan yang dilakukan oleh kelompok pembaharu yang di dalamnya ada Muhammadiyah.
Saat itu, para pengasuh pesantren merasa terusik oleh gerakan pembaharuan itu. Nah, untuk menjaga eksistensinya, para kiai pesantren akhirnya menghimpun diri dan mendirikan organisasi yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Dengan mengungkap fakta itu, saya tidak bermaksud kembali membuka luka lama. Namun, saya lebih ingin mengungkapkan bahwa persoalan di masa lalu itu tidak terjadi begitu saja. Ada sebab musabab dan kondisi sosial politik yang menyertainya. Dan sekarang, setelah satu abad persoalan itu berlalu, kita perlu melihat secara jernih dan untuk menjadikannya sebagai pelajaran. Sebisa mungkin juga menemukan sebuah hikmah.
Menurut saya, banyak persoalan yang menyeruak karena disebabkan oleh kesalahpahaman. Namun, bisa ditangkap bahwa masing-masing pihak telah berijtihad untuk menyelamatkan agama (Islam) dan bangsanya.
Dari tulisan sebelumnya --terutama edisi 2 dan 3--, tentu sudah bisa ditangkap bahwa dari perbedaan strategi itu, ternyata banyak sekali hikmahnya. Saya berkeyakinan, justru karena adanya pendekatan yang berbeda itu, akhirnya kemerdekaan Indonesia bisa dicapai. Justru karena ada perbedaan itu, Islam di Indonesia masih kukuh. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Gesekan NU-Muhammadiyah mulai mengemuka setelah Muhammadiyah membentuk Majelis Tarjih pada 1918 M. Persoalan yang diperdebatkan adalah soal apakah pintu ijtihad dibuka atau tertutup. Juga praktek-praktek keagamaan yang dianggap bid’ah dan khurafat yang tidak ada nash qoth’i-nya di Al-Qur’an atau Al-Hadits.
Terkait dengan ijtihad, kalangan modernis –termasuk Muhammadiyah di dalamnya--berpendapat bahwa pintu ijtihad harusnya masih terbuka. Cara beragama dengan mengikuti madzhab harus dijauhi. Sebab, hal itu adalah taqlid (mengikuti pendapat tanpa tahu dasarnya). Untuk kemudian hanya merujuk langsung ke Al Qur’an dan Al-Hadits.
Persoalan ijtihad ini, akhirnya dijadikan thema utama dalam Kongres Umat Islam di Surabaya 24-26 Desember 1924. Perlu dicatat, ketika kongres ini berlangsung Kiai Dahlan sudah wafat. Beliau wafat 23 Februari 1923, pada usia yang masih relative muda, 54 tahun.
Di forum kongres tersebut terjadi perdebatan sengit antara unsur “tradisi” dari Taswirul Afkar (kalangan pesantren) dengan unsur “pembaharu”. Di mana pada akhirnya, forum sepakat; ijtihad tetap terbuka. Hanya, agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan atau mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Al-Hadist (istinbath), maka orang yang melakukan ijtihad harus memenuhi sejumlah persyaratan. Yakni, mengetahui nash Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan baik, memahami betul ijma’ (kesepakatan) para ulama terdahulu, menguasai Bahasa Arab, menguasai ilmu asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat al Qur’an), asbabul wurud (sebab lahairnya hadist) dan pesyaratan lainnya. (Einar, hal. 61)
Adapun masalah taqlid, para kiai pesantren berprinsip, orang yang tidak memiliki kapasitas berijtihad, maka wajib untuk mengikuti ulama terdahulu yang memenuhi syarat untuk berijtihad secara mutlak. KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, Risalah Ahlussunah wal Jama’ah, menjelaskan bahwa hal itu merujuk kepada perintah Allah kepada orang yang tidak tahu agar bertanya kepada orang yang lebih tahu. Praktek itu sudah dicontohkan oleh para sahabat dan tabi’in. Mereka yang merasa tidak tahu, bertanya atau minta fatwa hukum kepada sahabat atau tabi’in lain yang lebih tahu.
Kendati secara akademik (logika keilmuan) argumentasi masing-masing pihak sudah dikemukakan, namun di tataran praktis persoalan perbedaan prinsip itu masih membara. Saya berkeyakinan, ketidakjernihan akal untuk memahami argumentasi dari masing-masing pihak dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya, politik identitas yang memang diperlukan untuk memperkuat eksistensi kelompok. Artinya, bukan murni keilmuan dan murni kebenaran.
Kala itu, identitas modernis (pembaharu) dan tradisional seakan-akan menjadi dua entitas yang benar-benar berbeda. Padahal, sejatinya tidak. Kalangan pesantren, mempunyai pegangan kaidah fiqih, “al muhafadzah alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadid ashlah” (melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik).
Dengan kaidah, “mengambil nilai baru yang lebih baik”, kalangan pesantren sejatinya tidak anti pembaharuan. Buktinya, setelah Indonesia merdeka, ketika ilat (penyebab hukum)-nya dianggap hilang, hal-hal yang dulu diinginkan oleh kelompok pembaharu dan ditolak kalangan pesantren, akhirnya dipraktekkan. Contoh, mengenakan celana, sepatu dan dasi, serta pendirian sekolah-sekolah formal yang menggunakan sistem barat.
Jadi, ilat-lah menjadikan kalangan pesantren punya perspektif beda dengan kalangan pembaharu. Beda perspektif inilah yang memicu khilafiyah itu terjadi.
Gara-gara persoalan khilafiyah itu, dalam catatan sejarah NU-Muhammadiyah bagaikan Tom and Jerry. Selalu sulit dipertemukan, meski pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan. Kehangatan yang pernah ditunjukkan Kiai Hasyim-Kiai Dahlah di awal-awal beliau pulang ke tanah air menjadi sesuatu yang sulit dijumpai.
Ketidakharmonisan itu, acap kali juga diperburuk oleh kondisi politik, baik pra maupun pasca kemerdekaan. Apalagi, ketika Muhammadiyah dengan agak keras menabuh genderang memerangi TBC (tahayul, bid’ah dan churafat). Kalangan pesantren menjadi semakin terusik. Kerenggangan pun semakin terjadi.
Tokoh Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafi’i Ma’arif ketika memberikan pengantar pada buku,”Pola Gerakan Muhammadiyah Ranting,” karya Suyoto dll., menggambarkan bahwa Kiai Dahlam relatif lebih toleran ketika melihat praktek yang dianggap TBC. Hal itu, berbeda dengan penerusnya, KH Mas Mansoer yang secara radikal memberantas hal-hal yang dianggap sebagai praktik TBC (hal.9). Repotnya, warga Muhammadiyah agak kesulitan melacak secara akurat pandangan Kiai Dahlan terkait dengan masalah-masalah Islam. Ini karena, Kiai Dahlan tidak meninggalkan karya tulis seperti halnya tokoh lainnya (hal. 19).
Namun yang pasti, menurut Buya Syafi’i, imbas dari kerasnya Muhammadiyah dalam memerangi TBC, label puritan akhirnya tersematkan di pundak Muhammadiyah. Dan, puritanisme Muhammadiyah itu terlihat lebih kuat ketimbang teologi akomodatif yang bersifat rasional. Karena itu, warga Muhammadiyah diajak untuk merenungkan, apakah pemberantasan TBC identik dengan pencoretan, pengecaman dan bahkan penyingkiran akar budaya setempat? Bila tidak dilakukan pemilahan dengan benar, menurut Buya Syafi’i akan sangat menyulitkan warga Muhammadiyah (hal 5).
Buya Syafi’i menambahkan, implikasi dari kekaburan batas pensyirikan dan pembid’ahan antara akidah dan budaya, ditinjau dari segi budaya pada umumnya, Muhammadiyah kurang pupuler di kalangan masyarakat lapis bawah di pedesaan. Muhammadiyah menjadi kering dan formal, serta kurang begitu apresiatif terhadap keyakinan khazanah budaya setempat. Juga hal itu telah berakibat pada terkikisnya khazahan budaya lokal. Padahal, budaya lokal itu sangat segnifikan untuk dijadikan media dakwah (hal. 7).
Jadi, bisa disimpulkan bahwa dengan paparan di atas, Buya Syafi’i mendorong agar orang tidak mudah menghukumi bid’ah. Harus secara hati-hati dipilah apakah itu bid’ah itu masuk ranah aqidah atau budaya. Ketika masuk wilayah budaya, maka hal itu tidak perlu diberantas, bahkan bisa dimanfaatkan untuk media dakwah.
Cara berpikir tersebut, tentu selaras dengan prinsip yang dipegang oleh para kiai pesantren. Mereka mengistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah dholalah (sesat yang tidak boleh dikerjakan). Yang baik, yang tidak bertentangan dengan aqidah bisa dipertahankan dan dijadikan media dakwah. Itulah manhaj (metodologi) yang dulu dipraktekkan Walisanga. Mereka tidak buru-buru memberantas budaya masyarakat Jawa. Sebaliknya, sekiranya tidak melanggar aqidah, budaya lokal itu dimanfaatkan untuk media dakwah.
Einar menerangkan, kehadiran Islam di Jawa –dalam bingkai kebudayaan yang telah terbentuk sebelumnya dalam perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli (Jawa)—melahirkan sikap bahwa kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang baru untuk menggantikan yang lama. Tetapi, menambahkan sesuatu kepada yang lama (Einar, hal. 37). Diyakini, bila para Walisanga itu datang dengan wajah yang puritan, sikap monotheisme yang keras, maka tidak akan mendapatkan penerimaan yang baik.
Di tubuh Muhammadiyah sekarang, saya yakin sangat banyak orang yang punya pemikiran seperti Buya Syafi’i. Termasuk ketua umum dan seketaris Umum PP Muhammadiyak sekarang (Prof Dr Haedar Nashir dan Prof Dr Abdul Mu’ti).
Mungkin, tetap ada yang mencoba mempertahankan model puritan. Namun, saya yakin seiring dengan berkembangnya zaman dan terbukanya wawasan keislaman, maka sikap-sikap yang kaku dalam beragama itu akan terkikis. Apalagi, belakangan Muhammadiyah juga serius merintis pendirian pesantren yang fokus untuk mendalami agama (tafaquh fi dien).
Kesimpulannya, seiring dengan perjalanan waktu, telah terjadi dialektika di antara dua ormas besar itu. Mereka saling melakukan koreksi atas kekurangan yang ada di lingkup masing-masing. Untuk kemudian, mengadopsi hal-hal yang dirasa baik dari pihak lain. Ini akan mendorong keduanya saling mendekat dan menuju konvergensi. (habis)
Akhmad Zaini
Mantan Jurnalis, kini menjadi pendidik di IAINU Tuban.