Kiamat Gunung Krakatau Purba, Membelah Jawa dan Sumatera
Gunung Anak Krakatau kembali mengalami erupsi pada Jumat, 10 April 2020 pukul 22.35 WIB. Peningkatan aktivitas vulkanik dari Gunung Anak Krakatau sendiri terpantau sejak 18 Juni 2018 lalu.
Rangkaian erupsi terjadi pada September 2018 hingga Februari 2019. Terbaru, Gunung Anak Krakatu kembali erupsi pada 10 April 2020 dengan tinggi kolom abu teramati hingga 500 meter dari atas puncak atau sekitar 657 meter di atas permukaan laut.
Tidak ada yang bisa memprediksi letusan gunung api termasuk Gunung Api Anak Krakatau. Yang pasti Gunung Krakatau mencatat letusan dasyat pada 1883 yang terjadi di tiga gunung yang berdekatan yang ada di komplek Gunung Krakatau Purba yakni Gunung Danang, Gunung Rakata dan Gunung Perboeatan. Tiga gunung ini dikenal sebagai Gunung Krakatau.
Pada tahun 1883, letusan yang bersamaan dari 3 gunung tersebut sangat dahsyat sehingga menyebabkan Krakatau Purba menghilang.
Mengutip tirto.id, meletusnya Krakatau Purba kala itu digambarkan di naskah Jawa Kuno bertajuk "Pustaka Raja Parwa" yang diperkirakan ditulis pada abad ke-5 masehi.
"Ada suara guntur yang menggelegar dari Gunung Batuwara. Ada pula guncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datang badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Ketika air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan Pulau Sumatera," tulis naskah kuno itu.
Gunung Batuwara yang disebut dalam naskah kuno itu diyakini adalah Gunung Krakatau Purba yang paska letusan dasyat itu, gunung ini lantas hilang ditelan lautan.
Krakatau kembali muncul ke permukaan pada tahun 1927 yang kemudian dinamakan Gunung Anak Krakatau. Anak Krakatau inilah yang kini terus bertumbuh dengan cara meletus. Rata-rata setiap tahun gunung ini bertambah tinggi 4-6 meter.
Beberapa ahli menyimpulkan perlu minimal tiga abad lagi untuk menjadikan Anak Krakatau memiliki letusan dasyat seperti leluhurnya.
Bagaimana Letusan Gunung Krakatau 1883 ?
Letusan Krakatau 1883 terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), yang bermula pada tanggal 26 Agustus 1883, dengan gejala pada awal terjadi pada bulan Mei dan berpuncak dengan letusan hebat yang meruntuhkan kaldera.
Pada tanggal 27 Agustus 1883, dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai. Saat itu, sebagian besar pulau di sekeliling gunung ikut hilang tenggelam di lautan.
Bahkan, tercatat aktivitas seismik saat itu terus berlangsung hingga Februari 1884. Letusan yang terjadi saat itu adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah manusia.
Dari catatan yang ada, letusan 1883 menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa tercatat meninggal. Kemungkinan masih banyak lagi yang tidak tercatat akibat letusan yang menyebabkan tsunami yang dihasilkannya. Dampak letusan, saat itu juga terasa hingga ke seluruh penjuru bumi.
Fase Puncak Kiamat Gunung Krakatau
Dari catatan sejarah, letusan dasyat itu dimulai pada 25 Agustus 1883. Sekitar pukul 13.00 WIB pada 26 Agustus 1883, Krakatau memasuki fase paroksimal. Satu jam kemudian, para pengamat bisa melihat awan abu hitam dengan ketinggian lebih dari 27 km.
Pada saat itu, letusan terjadi terus menerus dan ledakan terdengar setiap sepuluh menit sekali. Kapal-kapal yang berlayar dalam jarak 20 km dari Krakatau telah dihujani abu tebal, dengan potongan-potongan batu apung panas berdiameter hampir 10 cm mendarat di dek kapal. Tsunami kecil menghantam pesisir Pulau Jawa dan Sumatera hampir 40 km jauhnya pada pukul 18.00 dan 19.00 WIB.
Pada 27 Agustus 1883, empat letusan besar terjadi yakni pada pukul 05.30, 06.44, 10.02, dan 10.41 WIB. Pada pukul 05.30 WIB, letusan pertama terjadi di Gunung Perboewatan, yang memicu tsunami menuju Teluk Betung.
Pukul 06.44 WIB, Gunung Krakatau meletus lagi di Danan, menimbulkan tsunami di arah timur dan barat. Letusan besar pada pukul 10.02 WIB terjadi begitu keras dan terdengar hampir 3.110 km jauhnya ke Perth, Australia Barat, dan Rodrigues di Mauritius (4.800 km jauhnya).
Penduduk di Perth, Australia Barat saat itu mengira bahwa letusan tersebut adalah suara tembakan meriam dari kapal terdekat.
Masing-masing letusan disertai dengan gelombang tsunami, yang tingginya diyakini mencapai 30 m di beberapa tempat. Wilayah-wilayah di Selat Sunda dan sejumlah wilayah di pesisir Sumatera turut terkena dampak aliran piroklastik gunung berapi.
Energi yang dilepaskan dari ledakan diperkirakan setara dengan 200 megaton TNT, kira-kira hampir empat kali lipat lebih kuat dari Tsar Bomba (senjata termonuklir paling kuat yang pernah diledakkan). Pada pukul 10.41, tanah longsor yang meruntuhkan setengah bagian Rakata memicu terjadinya letusan akhir.
Kiamat Krakatau 1883
Letusan besar terakhir terdengar hingga 3.000 mil jauhnya, menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa; 20 juta ton sulfur dilepaskan ke atmosfer; menyebabkan musim dingin vulkanik (mengurangi suhu di seluruh dunia dengan rata-rata 1.2 derajat celcius selama 5 tahun; dan letusan gunung api paling hebat dalam sejarah.
Pada tengah hari tanggal 27 Agustus 1883, hujan abu panas turun di Ketimbang (sekarang desa Banding, Kecamatan Rajabasa, Lampung). Kurang lebih 1.000 orang tewas akibat hujan abu di Rajabasa. Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Krakatau.
Tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 km dari Krakatau. Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di Ketimbang dan di pesisir Sumatera yang berjarak 40 km di sebelah utara Krakatau.
Jumlah korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah 36.417, namun beberapa sumber menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000 jiwa.
Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. Kota Merak, Banten luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatera hingga 40 km jauhnya ke daratan.
Akibat letusan Gunung Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan Krakatau hampir seluruhnya menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. Gunung api kerucut Rakata terpisah di sepanjang tebing vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250 meter. Dari dua pulau di utara, hanya pulau berbatu bernama Bootsmansrots yang tersisa; Poolsche Hoedjuga menghilang sepenuhnya.
Setahun setelah letusan, rata-rata suhu global turun 1,2 derajat celcius. Pola cuaca tetap tak beraturan selama bertahun-tahun, dan suhu tidak pernah normal hingga tahun 1888.
Tidak ada catatan sejarah yang mencatat berapa lama dampak yang ditimbulkan akibat letusan Gunung Krakatau dan dampak ikutannya seperti tsunami, longsor, wabah penyakit, gagal panen dan lainnya.
Begitu juga jumlah masyarakat yang mengungsi juga tidak ada dalam catatan sejarah. Kerugian yang ditimbulkan akibat letusan Gunung Krakatau sangat besar. Belanda memerlukan waktu puluhan tahun untuk kembali membangun dan memulihkan perkebunan dan pertanian di wilayah Hindia Belanda.
Jadi apakah letusan 1883 akan kembali terulang? Seperti halnya anak dalam fase pertumbuhan, Gunung Anak Krakatau juga meletus untuk membesar dan meninggikan tubuhnya. Letusan-letusan yang dihasilkan tidak pernah besar karena energi magma yang naik ke permukaan juga tidak besar.