Kiai 'Terusir' yang Tabah, Memegang Ilmu Pasrah
Hari-hari menjelang akhir tahun, banyak hal menjadi catatan kita bersama. Khususnya, dalam dunia keberagamaan di negeri ini. Masihkan toleransi menjadi wajah Islam di Indonesia.
Dr Ainur Rofiq Al Amin, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya menulis "Kiai Terusir yang Tabah dan Ilmu Pasrah: Santri Mengembara Perlu Tahu". Berikut kisah hikmahnya:
Namanya Kiai Bahrul Ulum, asalnya dari Cepoko, Nganjuk. Saat remaja beliau mondok di Bahrul Ulum,Tambakberas, Jombang dan boyong pada tahun 1986. Lalu ke Lirboyo, selanjutnya pada tahun 1989 ke sebuah propinsi di Sumatera.
Di sana dipasrahi mengelola tanah hingga berdiri sebuah pondok dan "terusir" dari pondok itu pada tahun 2013, lalu pindah ke lokasi dekat pondok awal, dan mendirikan lembaga pendidikan. Akhirnya pada tahun 2017 pindah ke Lampung dan mendirikan pesantren Riyadh El Ilmi. Bagaimana kisahnya dan apa hikmahnya?
Di salah satu propinsi di Sumatera itu awalnya beliau dipasrahi mengelola tanah oleh seorang pengusaha. Tanahnya seluas sekitar tiga hektar yang saat itu sudah berdiri bangunan dua lokal serta rumah sederhana terbuat dari papan.
Beliau dengan tim pengelola telaten mengurus pendidikan itu sehingga semakin berkembang. Apalagi saat itu beliau juga dapat amanah menjadi ketua PKB era Gus Dur dan ketua NU kabupaten (PCNU) era KH. Hasyim Muzadi. Maka jaringannya tambah luas dan lembaga pendidikannya berkembang sehingga berdiri Paud, TK, MI, Aliyah, SMK. Bahkan akhirnya bisa mendirikan perguruan tinggi berupa STIT dan STMIK. Santri mukim sekitar 400 an Dan total dengan murid yang sekolah sekitar 1000-an. Jumlah yang tidak sedikit untuk pesantren baru dan di luar Jawa.
Melihat perkembangan inilah sang pengusaha dan keluarga besarnya mulai melirik lagi dengan ingin menguasai yayasan itu. Awalnya sang pengusaha menyebarkan isu ras untuk memojokkan Kiai Bahrul Ulum, padahal banyak pengurusnya termasuk bendahara dari warga lokal. Lalu membuat gosip bahwa di daerah itu mau di-NU-kan Padahal juga tidak demikian.
Selanjutnya Kiai Bahrul Ulum hendak dilepas dari kepengurusan yayasan. Para pengelola lain yang sudah berjuang bersama tidak terima dan akhirnya naik ke pengadilan. Tentu dengan gampang bisa dikuasai sang pengusaha karena memang dia sebagai pendiri dan dan pembina yayasan.
Setelah yayasan dikuasai sang pengusaha dengan keluarga besarnya yang mendominasi, mereka menerapkan manajemen ala Jakarta. Semisal saat itu guru digaji 1.5 juta, tapi manajemen baru menggaji 9 juta. Tentu tidak butuh waktu lama kolaps.
Mereka juga dengan cepat menghabiskan aset-aset yang mudah diuangkan. Semisal saat Kiai Bahrul Ulum ada proyek penggemukan sapi Brahman sebanyak 41 ekor, maka saat pengelola baru memegang kendali, sapi dijual semua tanpa ada kelanjutan pemeliharaan sapi.
Saat manajemen sudah mulai goyah, Kiai Bahrul Ulum pernah ditawari ikut mengelola lagi dan bahkan ditawari agar memakai mobil inventaris.Tapi beliau tidak mau. Sekalipun demikian, beliau tetap mensuppurt kegiatan keagaamaan seperti pelibatan para siswa-siswi saat acara MTQ.
Tidak hanya itu, beliau juga tetap dekat dengan keluarga sang pengusaha. Entah bagaimana ceritanya, berturut turut tiga tokoh yang ikut mendongkel Kiai Bahrul Ulun ada yang meninggal baik tenggelam di sungai, ada yang jatuh dari motor dan sejenisnya. Saat seperti itu Kiai Bahrul Ulum tetap ikut mengurusi ritual penguburannya dan ikut mendoakan dalam kegiatan yang disebut Jasum.
Oh ya, Jasum adalah singkatan Jawa-Sumatera yang isinya adalah membaca Yasin dan tahlil. Dahulu saat disebut tahlilan awalnya ditolak oleh beberapa masyarakat karena dianggap aliran baru. Saat diganti menjadi Jasum oleh Kiai Bahrul Ulum, masyarakat menerimanya.
Perkembangan Baru
Setelah "digusur" dari yayasan itu, beliau patungan dengan teman-teman seperjuangan membeli tanah sekitar 3 km dari lokasi yayasan awal yang beliau "diusir". Lalu tanah itu mulai dibangun aula, plus 3 lokal kelas dan asrama, ruang guru serta rumah.
Namun ternyata apes lagi. Bangunan yang baru berdiri dan diresmikan oleh gubernur dengan mengundang kepala Kemenag dan tokoh masyarakat, tiba-tiba muncul problem tak terduga.
Selesai peresemian, datanglah pengusaha (pengelola yayasan pertama, dimana Kiai Bahrul Ulum "terusir"). Pengusaha itu menunjukkan sertipikat bahwa tanah yang telah dibangun dan baru diresmikan itu adalah milik si pengusaha.
Si pengusaha malah berkata bahwa Kiai Bahrul Ulum tidak berani mengundang karena tahu tanah itu miliknya. Padahal bukan begitu, panitialah yang mengundang tokoh masyarakat.
Lalu Kiai Bahrul Ulum berkata kepada pengusaha bahwa tanah itu dibeli dari si Jon (sebut saja begitu) dan ada surat keterangan jual beli dari kecamatan. Tanah itu memang sudah lama digarap si Jon.
Si Jon atau penjual segera didatangi Kiai Bahrul Ulum dkk. Dia bilang terdesak ekonomi sehingga menjual tanah itu. Dan dengan entengnya dia siap dipenjara atau dihajar sekalipun asal tidak suruh membayar. Kata Kiai Bahrul Ulum, "Kalau sudah begitu mau diapakan lagi."
Kiai Bahrul dkk lalu mendatangi sang pengusaha apakah tanahnya bisa dibeli. Awalnya si pengusaha bilang tanah dijual seharga 2 5 milyar. Kagetlah Kiai Bahrul, akhirnya dinego dengan alot dan boleh dibeli 750 juta. Nego itu sekitar tahun 2013.
Sekolah mulai berkembang, tapi berhubung ibu mertua Kiai Bahrul Ulum yang sudah usia lanjut di Lampung minta ditemani, selain itu juga Kiai Bahrul bukan pengelola tapi satu dari sekian pengelola, akhirnya beliau berniat hijrah ke Lampung.
Perkembangan Lampung
Sampai di Lampung, beliau merintis dari nol lagi. Pernah suatu kali ditawari oleh wakil gubernur (sekarang sudah ganti) untuk mengelola tanah seluas 40 hektar yang sudah ada infrastruktur mulai rumah pengasuh, rumah ustadz, asrama, masjid dan sekolah.
Tapi pengalaman sebelumnya mengajarkan beliau untuk lebih hati-hati. Akhirnya dengan berat hati beliau minta kejelasan komitmen dalam bentuk agar diberi sedikit tanah di lokasi itu sebagai bentuk kepercayaan untuk dibangun rumah. Atau Kiai Bahrul siap membeli tanah dengan harga miring dan boleh mencicil.
Atau tanah itu dihibahkan ke yayasan dan Kiai Bahrul Ulum agar menjadi salah satu pendiri dan lebih bagus lagi merangkap ketua yayasan. Ternyata tiga alternatif itu tidak disetujui oleh wakil gubernur.
Batallah tawaran itu dan Kiai Bahrul Ulum tidak menyesal daripada nanti di akhirnya ada masalah. Nampaknya bagi Kiai Bahrul Ulum, tawaran yang diberikan oleh birokrat atau pengusaha perlu ada kejelasan, tidak langsung menerima, beda lagi kalau tawaran itu dari kiai.
Selanjutnya tanpa kenal lelah dan pantang menyerah, dengan sisa uang tabungan, beliau membeli tanah setengah hektar di kabupaten Tanggamus.
Dengan ketelatenan dan kesabaran yang dimulai sejak tahun 2017, beliau mampu mendirikan bangunan gedung Madrasah Tsanawiyah enam lokal dan pesantren. Lama-kelamaan beliau juga dipercaya menjabat sebagai ketua MWC NU kecamatan Gisting dan ikut mengelola KBIH Annahdliyah serta masuk IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) yang hal itu bisa untuk sosialisasi pesantrennya.
Terakhir, pelajaran hidup yang juga penting. Sewaktu beli tanah di Lampung beliau sudah mempunyai tiga putri dan sudah minim logistik hidup.
Dengan mulai dari apa yang ada, beliau bercocok tanam sayur. Saat itu urusan ekonomi katanya adalah "Pasrah opo jare Pengeran".
Dengan karunia Allah, beliau mencoba menanam sawi. Tanpa disangka harga sawi yang pada umumnya satu kilo adalah 500 rupiah atau maksimal 1000 rupiah, dan tanah seluas itu biasanya hanya panen 2 ton.
Tapi setelah beliau kelola, panennya bisa 4 ton dan harganya 4 ribu rupiah saat itu, suatu harga tertinggi yang pernah beliau jumpai. Saat ini pertkebunan itu dikelola wali santri.