Kiai Ma'ruf Amin Cawapres Jokowi: NU Diperebutkan, NU Dipertaruhkan!
Akhirnya Joko Widodo dan para partai pengusungnya memilih Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin menjadi calon wakil presidennya. Inilah orang kedua di NU yang berjuang untuk masuk ke lingkaran Istana Negara setelah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden paska reformasi.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia ini memang ikut sibuk menjelang Pemilihan Presiden 2019. Meski bukan partai politik, ormas berlambang jagat dengan 9 bintang ini berada dalam pusaran dinamika politik yang begitu keras.
Lihat saja, beberapa hari terakhir, menjelang batas akhir pendaftaran capres dan cawapres. Kantor PBNU di Kramat Raya terus gemerisik. Para elit ormas ini berkali-kali bertemu. Demikian juga sejumlah kiai NU.
Di media, sejumlah statemen politik keluar dari para tokoh NU. Baik struktural maupun kultural. Struktural adalah sebutan untuk para pengurus NU. Sedangkan kultural adalah para kiai pimpinan pondok pesantren yang memang memiliki pengaruh kuat di masyarakat.
Awalnya karena sejumlah tokoh NU disebut-sebut dalam bursa cawapres Presiden Jokowi yang akan maju lagi untuk periode kedua. Juga menjadi magnet pendulang suara bagi kandidat yang akan menjadi lawan petahana presiden kelahiran Solo, Jawa Tengah, ini.
Kali ini, NU menjadi penyumbang terbesar bursa calon pilihan Jokowi. Selain Kiai Ma'ruf Amin, juga telah masuk kantong daftar cawapres adalah Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum PPP M Romahurmuziy, dan Mahfud MD. Inilah kali pertama pilpres memunculkan banyak tokoh NU yang jadi incaran.
Jika dibandingkan dengan Ormas Islam lainnya, NU bisa dibilang menjadi penyumbang figur kepemimpinan politik muslim saat ini. Belum kalau dihitung mereka yang berhasil menjadi anggota legislatif di berbagai partai politik maupun hasil pemilihan kepala daerah secara langsung sejak era reformasi.
Apakah banyaknya tokoh NU yang masuk bursa ini menunjukkan makin pentingnya ormas tersebut dalam percaturan kepemimpinan politik nasional? Atau menunjukkan ormas itu telah berhasil memproduksi figur-figur politik yang layak untuk diperhitungkan secara nasional? Atau kebutuhan situasional yang membuat NU dianggap penting?
Gerakan Politik
NU memang berkembang bukan sekadar sebagai gerakan Islam. Sejak lahir, ia juga telah tumbuh sebagai gerakan politik. Nama NU yang dalam bahasa Indonesia berarti Kebangkitan Ulama sudah mencerminkan hal itu. Kelahirannya menyatu dengan gerakan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Secara keagamaan, NU lahir sebagai respon atas berkembangnya Wahabisme --gerakan puritanisme Islam-- di Arab Saudi. Ini aliran Islam yang menjadi mazhab resmi pemerintahan Ibnu Saud, pendiri kerajaan negeri itu. Wahabisme adalah mazhab resmi Kerajaan Arab di bawah Ibnu Saud.
Pemurnian Islam yang diusung Wahabisme melalui gerakan puritanisme Islam dianggap mengancam praktik keagamaan Islam yang dikembangkan para ulama di Nusantara. Sebab, sebagai agama resmi pemerintahan Ibnu Saud, mereka menghilangkan situs-situs Islam hingga sampai akan meratakan makam Nabi Muhammad di Masjid Nabawi, Madinah.
Dipimpin KH A Wahab Chasbullah --salah satu pendiri NU-- membentuk Komite Hijaz yang bertugas melobi pemerintah Arab Saudi agar memberikan kebebasan praktik agama di luar Wahabi. Juga meminta pemerintah Saudi untuk tidak menghilangkan makam Nabi yang menjadi tempat ziarah umat Islam sedunia.
Misi diplomasi yang dikirim para kiai NU ini menuai hasil. Makam Nabi Muhammad yang berada di dalam masjid Nabawi masih terawat sampai sekarang. Hanya situs-situs penting seperti rumah tempat kelahiran Nabi di Makkah terlanjur sudah dihancurkan tanpa bekas.
''Sayangnya saat ini banyak yang tidak tahu sejarah tersebut dan mempertanyakan mengapa gerakan radikal (Wahabisme) tersebut harus dihadapi,'' kata Ketua PBNU Masdar F Mas'udi dalam wawancara dengan newsportal milik NU.
Di luar itu, NU juga menjadi penyemai gerakan perjuangan kemerdekaan RI. Ia menjadi simpul-simpul pergerakan melawan penjajahan Belanda. Berbagai fatwa dihasilkan NU dalam hal ini. Mulai dari fatwa haram untuk mengunakan pakaian ala Barat (jas dan dasi) saat itu dan fatwa perang melawan tentara sekutu yang dikenal dengan Resolusi Jihad.
Yang disebut terakhir ini memicu pertempuran hebat di Surabaya yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan. Pertempuran yang membuat tentara sekutu itu balik kucing dimulai dengan Resolusi Jihad para kiai NU. Dengan resolusi itu, para santri di Jatim bergerak dan bergabung dengan rakyat melawan tentara sekutu yang berusaha merebut kembali kemerdekaan Indonesia.
Karena itu, NU dan nasionalisme Indonesia begitu melekat. Bahkan, di dalam NU terdapat lagu kebangsaan NU yang selalu dinyanyikan setelah Indonesia Raya. Lagu karangan Kiai Wahab Hasbullah itu berjudul Yahlal Wathan. Bahkan, di lingkungan NU terdapat doktrin bahwa mencintai negeri ini adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).
Karena itu, identifikasi NU dengan bangsa Indonesia begitu kuatnya. Ia selalu terpanggil untuk menjaga, merawat, dan memajukan bangsa Indonesia. Nasionalisme Indonesia menjadi pilar utama NU disamping pandangan-pandangan agama beraliran Ahlu sunnah wal jamaah an-Nahdliyah.
Kelahiran NU yang tidak hanya sebagai gerakan keagamaan melainkan juga gerakan politik inilah yang membuat NU begitu dekat dengan jagat politik. Apalagi paska kemerdekaan NU sempat menjadi partai politik sampai dengan pemilu pertama zaman Orde Baru.
Jadi secara genuin, NU memang punya DNA untuk terlibat dalam politik Indonesia sebagai bagian dari kecintaannya kepada tanah air. Sikap keagamaan yang berbeda dengan Islam yang berkembang di jazirah Arab ini menjadikan NU tak mungkin mengelak dari pusaran percaturan politik nasional.
Selain itu, sebagai Ormas Islam terbesar, NU memiliki anggota yang sangat besar. Ia menjadi polity --masyarakat politik-- yang mempunyai jaringan dari pusat sampai ke tingkat desa. Selain Golkar di Zaman Orde Baru, tidak ada organisasi yang mempunyai jaringan serta jalur komando sebesar NU.
Kekuatan jaringan organisasi tersebut diperkuat dengan kelembagaan praktik keagamaan NU yang mampu membangun kekuatan jaringan sampai sekarang. Mereka punya forum-forum keagamaan seperti haul (peringatan kematian seorang kiai), Yasinan, Dibaan, dan pengajian-pengajian umum yang berlangsung rutin sampai di kampung-kampung.
Sebagai jam'iyah (organisasi) NU mempunyai struktur kepengurusan sampai tingkat desa. Sebagai jamaah (komunitas kultural) mereka punya berbagai instrumen yang bisa untuk menggerakan massa atau anggota, baik untuk kepentingan keagamaan maupun politik.
Kekuatan NU sebagai jam'iyah maupun jamaah ini tentu menjadi daya tarik kekuatan-kekuatan politik. Para kiai NU menjadi ''rebutan'' dari berbagai tokoh politik untuk menjadi vote getter (pendulang suara) mereka. Karena itu, setiap agenda politik --lokal maupun nasional-- NU pasti selalu ikut berisik.
Khittah Perjuangan
Pemerintahan Orde Baru yang otoriter selama 32 tahun di bawah Presiden Soeharto menempatkan NU dalam posisi sulit. Politik hegemoni Soeharto menjadikan ormas yang mandiri seperti NU dianggap sebagai ancaman politik. Maka sejarah Orde Baru adalah sejarah kelam bagi perjalanan politik NU.
Toh demikian, karena kecintaannya terhadap NKRI, ia masih menjadi pelopor saat terjadi polemik mengenai Azas Tunggal Pancasila. Saat Soeharto menerapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi seluruh organisasi di Indonesia, maka NU menjari ormas Islam pertama yang menerimanya.
Keputusan tersebut diambil dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Bersamaan dengan keputusan menerima Azas Tunggal Pancasila tersebut, muktamar memutuskan untuk kembali ke khittan perjuangan NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Saat itu, NU ''mengambil'' jarak dengan kegiatan politik praktis.
Paska kejatuhan pemerintahan Soeharto di tahun 1997, NU secara politik menggeliat. Karena terikat dengan keputusan Khittah perjuangan NU 1926, maka para tokoh NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai jalur politik warga Nahdliyin. Para tokoh NU pendiri PKB dipimpin Gus Dur yang saat itu juga Ketua Umum PBNU.
Melalui PKB, aspirasi politik NU disalurkan. Ia menjadi pilar politik sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan NU. Ancaman konflik hebat pasak pemilu 1999, secara tak terduga Gus Dur tampil sebagai figur tengah dan tampil menjadi Presiden ke-IV RI hasil pemilihan di MPR paska reformasi politik.
Inilah kali pertama figur NU menjadi orang pertama di RI. Gus Dur menjadi penghuni Istana Merdeka sebagai orang pertama NU yang memegang kendali Republik Indonesia. Sayang, ia memerintah tidak sampai 5 tahun. Di tengah jalan, ia dilengserkan oleh MPR dan digantikan wakil presidennya Megawati Soekarnoputri.
Pertaruhan Politik?
Tampilnya pemimpin NU sebagai Calon Wakil Presiden sebetulnya bukan hanya kali ini saja terjadi. Dalam Pilpres 2004, Ketum PBNU KH Hasyim Muzadi menjadi cawapres mendapingi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Saat itu, pasangan tokoh nasionalis dan tokoh NU ini dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Pilpres 2019 ini, NU tidak hanya diperebutkan. Tapi juga telah menyumbangkan banyak kandidat cawapres. Para aktor politik NU seperti Muhaimin Iskandar, Said Aqil Siradj, Kiai Ma'ruf Amin, Romahurmuzy, dan Mahfud MD tak hanya menjadi sosok rebutan. Tapi juga memperebutkan.
Mereka juga aktif untuk memerankan dirinya masing-masing untuk menjadi king maker atas orang lain maupun dirinya sendiri. Manuver para tokoh NU ini sampai berhasil menggagalkan cawapres pilihan Jokowi: Mahfud MD. Ini terjadi di detik-detik akhir deklarasi pasangan calon presiden Jokowi dan cawapresnya.
Bagi sebagian kiai NU, peran dan manuver para aktor politik NU tersebut dianggap menyenangkan sekaligus mencemaskan. Sebagian mengkhawatirkan NU terlalu jauh terseret dalam gegap gempita politik praktis. Mantan Rais Aam PBNU KH A Mustofa Bisri alias Gus Mus mengingatkan PBNU untuk tidak bicara politik di Kantor NU.
Tokoh yang menjadi salah satu aktor di balik keputusan kembali ke Khittah 1926 di Muktamar Situbondo ini mencemaskan NU terlalu jauh terseret dalam permainan politik praktis. ''Para pengurus/pemimpin NU harus bersikap hati-hati dalam menyampaikan pernyataan-pernyataan; terutama bila berkaitan dengan politik praktis,'' katanya.
Tampaknya, bagi Gus Mus yang dikenal sebagai kiai seniman ini, berbagai manuver para aktor politik menyangkut pilpres ini bisa dianggap mempertaruhkan NU yang telah menegaskan kembali ke khittah. Ia pun mengingatkan agar Kiai Ma'ruf Amin segera mundur begitu menjadi cawapres.
Perhelatan politik nasional 2019 ini telah menjadikan NU diperebutkan sekaligus dipertaruhkan. Diperebutkan karena kebesaran massa dan pengaruhnya. Dipertaruhkan karena politik adalah permainan kalah dan menang.
Di satu sisi, NU telah menghasilkan makin banyak kader pemimpin nasional. Ini menggembirakan. Di sisi lain, pertarungan antar kader aktor politik yang makin banyak bisa memicu perpecahan. Ini tentu mencemaskan! (Tim redaksi ngopibareng)