Kiai Kampung dan 'Tragedi Kehamilan'
Oleh: Akhmad Zaini
Ini kegiatan tahunan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tuban. Mengadakan anjang sana atau silaturrahim ke Masjlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU). Kegiatan ini, secara resmi diberi nama Safari Ramadan.
Tahun ini, saya lebih serius dibanding tahun-tahun sebelumnya. Gara-garanya, saya tahun ini ditunjuk sebagai salah satu ketua kelompok, dari 5 kelompok yang ada. Setiap kelompok, ditugasi menghadiri silaturrahim di 4 kecamatan.
Jadi, kesimpulannya, bila tahun ini saya terlihat serius, pada hakikatnya hanya “terpaksa serius” saja. Hehehe…
Dalam keseriusan itu, ada tiga hal penting yang memenuhi pikiran saya:
Pertama, soal basis kekuatan utama NU. Dalam paparan yang saya berikan, saya mengatakan, di usia yang hampir satu abad ini, NU merupakan jam’iyah diniyah (ormas keagamaan) terbesar di dunia. Diyakini, umat Islam Indonesia yang mengaku bagian dari nahdliyin jumlahnya sangat besar. Melebihi penduduk Malaysia, maupun Saudi Arabia.
Mengapa NU begitu mengakar di Indonesia? Satu di antaranya, karena ada kiai-kiai kampung yang sangat mengakar di masyarakat. Kiai-kiai ini adalah imam-imam musala, imam-imam masjid di desa. Juga guru-guru ngaji Al-Qur’an, ustadz Taman Pendidikan Al Qur’an dan guru-guru madrasah diniyah.
Mereka, menyatu dalam kehidupan masyarakat. Denyut kehidupan masyarakat, menjadi bagian tak terpisahkan dari para kiai dan ustadz itu. Bahkan, guyon saya, ketika ada orang hamil pun, para kiai itu diminta untuk ikut “tanggung jawab”. “Padahal, para kiai itu, tidak terlibat sama sekali dalam “tragedi kehamilan itu”, kelakar saya.
Maksud saya dengan guyon itu adalah, ketika ada warga kampung istrinya hamil, biasanya masyarakat pada bulan keempat atau ketujuh mengadakan selamatan. Istilahnya tingkeban. Nah, dalam acara tingkeban itu, kiai kampung yang tidak terlibat dalam “tragedi kehamilan” tersebut diminta untuk memimpin doa. Memimpin acara selamatan.
Itu hanya guyon. Untuk mengilustrasikan betapa eratnya hubungan kiai kampung dengan warganya.
Dan, untuk memerankan diri seperti itu, bukanlah ringan. Tidak cukup hanya bermodalkan ilmu agama yang memadai. Tapi, sangat dibutuhkan keuletan, ketelatenan dan kesabaran. Butuh banyak pengorbanan. Tidah tahan, bisa lempok. Lunglai! Ternyata, begitu banyak dan begitu kompleksnya persoalan di tengah-tengah masyarakat. Setiap hari, datang silih berganti. Tiada henti.
Dan, kiai kampung, harus selalu hadir. Harus sabar melayani, harus sabar mendampingi. Ini yang lebih penting lagi: harus mampu menghadirkan solusi.
*
Dalam struktur NU, kiai-kiai kampung itu pada umumnya menjadi pengurus ranting. Jika tidak, minimal menjadi orang yang sangat mencintai NU. Sangat loyal dalam menjaga eksistensi NU di grass root.
Kecintaan luar biasa para kiai kampung kepada NU, biasanya tidak lepas dari keterkaitan sang kiai dengan para guru atau ulama pesantren yang pernah mendidiknya. Juga karena keyakinan akan aqidah ahlussunah wal jamaah yang sudah mereka ketahui dan terinternalisasi dalam diri mereka.
“Karena itu, njenengan jangan merasa rendah diri sebagai pengurus ranting. Njenengan adalah barisan terdepan dalam menjaga dan melestarikan NU di masyarakat,” tandas saya ketika memberikan pengantar safari.
Ungkapan itu, bukan abang-abang lambe. Saya tulus memberikan apresiasi. Meraka itulah yang secara riil menjaga eksistensi NU. Dan itu, sudah berlangsung bertahun-tahun. Sejak zaman kolonial hingga sekarang.
Sejarah membuktikan, NU sebagai organisasi keagamaan, acap kali menunjukkan sikap perlawanannya terhadap pemerintah yang dianggap zalim. Di era penjajahan Belanda, NU (umumnya para kiai pesantren) mengambil sikap non kooperatif. Sangking antinya terhadap Belanda, para kiai NU membuat fatwa haram memakai sepatu, celana dan dasi karena dianggap menyerupai Belanda.
Begitu juga soal metode pengajaran di sekolah. Kiai pesantren tidak mau meniru sistem pengajaran “modern” yang diperkenalkan penjajah Belanda sejak awal abad 20. Sistem klasikal dihindari, pemakaian kapur tulis pun diperdebatkan. Ini beda jauh dengan ormas Islam “sebelah” yang lahir beberapa tahun sebelumnya.
Risiko yang harus ditanggung, NU dan kiai pesantren dicap tradisional. Kelompok terbelakang yang tertinggal dari gelombang kemodernan. Pelabelan itu, mungkin tidak salah sepenuhnya. Tapi, hikmah terbesarnya, umat Islam, khususnya yang ada di pedesaan, luput dari kontaminasi budaya barat. Mereka kukuh dengan aqidah Islamnya.
Menurut saya, kondisi sosial seperti itulah yang menjadikan gerakan kristenisasi dan werternisasi yang dilancarkan pemerintah Belanda gatot (gagal total) di Indonesia. Tentu, ada faktor lainnya yang menyumbang atas kegagalan itu. Tapi, hal itu menjadi salah satu faktor penting yang tidak bisa dinafikan.
Kondisi serupa juga terjadi di era 70 hingga 90-an. Di mana, Soeharto dengan pemerintah orde barunya ingin “memberangus NU”. Ingin melenyapkan NU dari bumi Indonesia. Minimal membonsai.
Tapi, sekali lagi, upaya itu lagi-lagi gatot! Kepala dan leher, mungkin berhasil dipiting. Tapi, tidak untuk dada ke bawah. Warga NU masih solid. Mekanisme kultural yang dipelihara para kiai kampung menjadi urat nadi yang mampu menjaga denyut kehidupan.
Dari fakta sejarah itu, kesimpulan yang bisa ditarik, kekuatan NU memang berada di akar rumputnya yang begitu kukuh. Pesantren, menjadi salah satu pilar penting dalam melestarikan dan menumbuh-suburkan akar rumput itu.
Pengurus struktural, tentu juga penting. Tapi, hanya akan eksis manakala ditopang atau nyambung dengan kekuatan akar rumput. Jangan sampai pengurus struktural jumowo, merasa lebih penting daripada kiai kampung. (bersambung)
**Akhmad Zaini, mantan jurnalis, kini menjadi pengajar di IAINU Tuban.
Advertisement