Kiai Hasan Mimbar, Penerus Perjuangan Diponegoro Berdakwah
Kiai Hasan Mimbar, salah seorang tokoh pelanjut perjuangan Pangeran Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro (1825-1830), banyak sisa pasukan melanjutkan berdakwah dan mengembangkan agama Islam. Di Tulungagung, Jawa Timur, Kiai Hasan Mimbar menjadi benteng bertahanan dengan dakwah di tengah masyarakat.
Penyebaran agama Islam di daerah tersebut dilakukan oleh Kiai Hasan Mimbar, ketika beliau melakukan syiar Islam pada abad 18 M, ketika kabupaten Tulungagung masih bernama Ngrowo atau Bonorowo.
Hal itu terungkap dalam paparan Milal Birzawie, sejarawah santri, dalam Haul Diponegoro, digelar KH Marsudi Syuhur, Ketua PBNU, Jumat malam lalu, 15 Januari 2021.
Gus Muhammad Ali Sodiq menuturkan, pada tahun 1727, Bupati Raden Ngabei Mangundirono memerintahkan Kiai Hasan Mimbar untuk menyebarkan agama Islam di Ngrowo. Perintah tersebut juga merupakan perintah Raja Mataram Sinuhun Pakubuwono II. Atas alasan ini Mbah Hasan Mimbar lalu mendapatkan sebidang tanah yang hari ini dikenali dengan nama Majan. Inilah cikal bakal wilayah tersebut ditetapkan sebagai bumi Perdikan.
Untuk menjalankan misi penyiaran Islam, Kiai Hasan Mimbar juga mendapatkan senjata pusaka berupa Golok. Pusaka tersebut diterima secara langsung dari Sinuhun Pakubuwono II. Pusaka inilah yang kemudian populer dengan nama Kiai Golok. Dengan ditemani oleh pusaka Kiai Golok inilah, Kiai Khasan Mimbar menyebarkan ajaran agama Islam di Majan sehingga Islam berkembang sangat pesat di seluruh Nggrowo hingga hari ini.
Kuatnya pengharuh Kiai Hasan Mimbar, masih bisa dirasakan dan dilihat dari semaraknya tradisi Grebeg Agung Maulud. Acara ini diperingati tiap tanggal 12 Maulud yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi Grebeg Agung Maulud bermula dari kegiatan tabligh akbar di Masjid Al Mimbar yang dihadiri masyarakat sekitar.
Kata Grebeg sendiri berasal dari Bahasa jawa “Gambrebeg” yaitu sebuah bunyi keras yang muncul ketika Kiai Hasan Mimbar keluar dari dalem pendapa untuk mengajak masyarakat Tulungagung menggelar shalawat di Masjid Al-Mimbar dengan ditandai dikeluarkanya pusaka Kanjeng Kiai Golok pemberian Raja Mataram atas perintah untuk mensyiarkan agama Islam dan pernikahan sesuai ajaran agama di Majan, Kadipaten Ngrowo pada tahun 1727 Masehi.
Masih menurut Muhammad Ali Sodiq, Grebeg Agung Maulud seperti ini mustinya terus dilestarikan, karena Kiai Golok ini merupakan senjata pusaka yang digunakan oleh Kiai Hasan Mimbar untuk membabad tanah Majan dan juga untuk menyebarkan Agama Islam di Tulungagung. Atas dasar inilah Kirab Pusaka Kiai Golok juga menandai hari jadi Bumi Perdikan Majan.
Kirab pusaka Kiai Golok dalam rangka Grebeg Maulud Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh keluarga Sentono Dalem yang merupakan penduduk asli Majan, biasanya dimulai dengan prosesi dan ritual adat. Acara dimulai dengan dipukulnya bedug. Kirab pusaka Kiai Golok berlangsu dari gapura Sentono Dalem menuju Masjid Majan dengan diiringi rombongan pengawal, arak-arakan, seni beladiri dan rombongan hadrah.
Para pengawal kirab Kiai Golok ini terdiri dari beberapa kelompok, mereka memiliki tugas masing-masing. Kelompok rombongan paling depan menggunakan pakaian adat berwarna hitam bertugas membersihkan jalan dengan melakukan beberapa gerakan kesenian. Rombongan arak-arakan kirap dan abdi dalem berpakaian adat dengan membawa kembar mayang dan buceng sebagai simbol budaya Jawa. Rombongan kirab juga menggunakan pakaian yang khas Keraton Yogyakarta sebagai lambang kekeluargaan antara Majan dengan Keraton Yogyakarta.
Masih menurut penuturan dari Gus Muhammad Ali Sodiq, pusaka Kiai Golok dikawal dengan lantunan Shalawat Nabi. Pusaka Kyai Golok dikirab menuju Masjid Majan untuk dimandikan atau disucikan. Selama Prosesi pengiringan pusaka dibagi menjadi dua rombongan, yaitu rombongan dari selatan diisi oleh para kiai dan ulama’. Sedangkan rombongan dari utara diisi oleh pembawa pusaka Kiai Golok. Meskipun disebut pemandian dan pensucian, akan tetapi pusaka Kiai Golok ini tidak dikenai air, melainkan pusaka tersebut dikeluarkan dari peti untuk dibacakan Shalawat Nabi.
Sebagai penutupan dari serangkaian acara tradisi Kirab Kiai Golok, acara ditutup dengan pengajian atau tabligh akbar. “Kirab Kiai Golok ini merupakan salah satu ekspresi kebudayaan lokal serta wujud kongkret adat istiadat yang dikenal dalam konsep Islam Nusantara,” begitu penuturan Abah Yasin selaku takmir Masjid Al-Mimbar.
Karena acara Kirab Pusaka Kiai Golok dan Grebeg Maulid ini dilaksanakan hanya sekali dalam satu tahun, maka acara ini mengundang animo yang besar dari masyarakat. Menjadi tontonan sekaligus tuntunan. Ratusan bahkan ribuan warga selalu memadati halaman Masjid Al-Mimbar setiap kali Kirab diselenggarakan. Masyarakat sangat antusias untuk menyambut kedatangan pusaka Kiai Golok. Selain Kirab Pusaka, rangkaian acara juga menampilkan sejumlah seni beladiri yang dimainkan oleh pemuda-pemuda setempat.
Jadi acara tradisi Grebeg Maulud dan Kirab Kiai Golok hingga saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat Majan, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung. Bagi masyarakat Majan memeringati acara Maulud Nabi dan Kirab Pusaka Kiai Golok merupakan sebuah tradisi yang baik dan akan terus dilestarikan karena diyakini akan menghasilkan perkara baik pula.
Demikian sesuai catatan M Afifudin Khoirul Anwar, Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam Semester III; Staf Magang IJIR.
Catatan:
Majan merupakan salah satu daerah di Tulungagung yang memiki budaya yang khas. Salah satu tradisi dan budaya di desa Majan adalah kirab Pusaka Kiai Golok. Pusaka merupakan simbol penyebaran agama Islam di Tulungagung, tepatnya di bumi Perdikan Majan. Acara dilaksanakan di Desa Majan ini menjadi sarana untuk memperkokoh tali silaturrahmi antarwarga Desa Majan dan sekitarnya.
Advertisement