Kiai Asrori yang Ngangeni
Saya selalu teringat peristiwa 15 tahun lalu. Setiap menghadiri Haul Akbar Jamaah Alkhidmah di Pondok Pesantren Al Fitrah Kedinding Surabaya.
Ya. 15 tahun lalu. Saat saya dikenalkan dengan seorang kiai yang juga pimpinan Thariqah Al-Qadriyah An-Naqsabandiyah Al Usmaniyah. Namanya KH Asrori Al Ishaqi.
Kiai ini bukan sekadar ulama. Tapi juga guru thariqah. Yang mengenalkan saya dengan beliau juga bukan sekadar kiai. Seorang pimpinan pondok pesentren di Blitar: KH Imam Suhrowardi.
Kiai Imam Suhrowardi masih ada hubungan keluarga. Agak jauh. Ayahnya Kiai Imam Suhrowardi yang saya tahu sering datang ke nenek saya di Blitar sewaktu saya masih kecil.
Menjelang pemilihan walikota Surabaya 2005, saya sowan ke pondoknya di Blitar. Kebetulan pas ada acara haul yang juga dihadiri Kiai Asrori. Disitulah kali pertama saya mengenal pendiri Ponpes Alfitrah Kedinding.
Sejak itu, saya menjadi sering bertemu Kiai. Apalagi saat saya menjadi wakil walikota Surabaya. Saya menjadi santri PMDK alias santri jalur cepat. Ini istilahnya Prof Dr M Nuh yang sama-sama menjadi santrinya.
Minimal sebulan dua kali saya sowan beliau. Bersama para santri utamanya. Setiap usai shalat Jum'at. Di nDalem beliau. Yang menjadi satu dengan masjid dan pondoknya.
Ini merupakan momen yang selalu istimewa. Selain disediakan makan siang yang enak-enak, bisa mendapat ilmu yang mendalam. Ilmu agama maupun ilmu tentang kehidupan.
Kalau mengenang saat-saat itu, saya selalu timbul penyesalan. Sebab, belum sempat membalas kebaikan Kiai sampai beliau wafat. Sampai guru thariqah itu meninggalkan kita semua.
Kiai Asrori punya cara pandang yang unik tentang pemerintah. Ia menekankan perlunya umaro bersama-sama dengan para ulama. Ulama sebagai pemimpin ummat, umaro sebagai pembuat kebijakan.
Karena dekat dan diikuti umat, ulama bisa menjadi jembatan bagi umaro untuk menyampaikan berbagai kebijakannya. Sebaliknya, ulama juga menjadi tempat umat menyampaikan persoalan-persoalan rakyat.
Ada kebutuhan simbiosis mutualis antara keduanya. Karena itu, Kiai Asrori selalu mengundang para pimpinan pemerintah untuk hadir dalam berbagai majelis yang digelarnya. Selalu diberi kesempatan memberi sambutan.
Atas saran beliau pula, saya mengadakan Dzikir Akbar di balaikota Surabaya setiap hari jadinya. "Setelah berbagai kegiatan hiburan kota, perlu ditutup dengan do'a bersama," katanya ketika itu.
Kiai Asrori selalu hadir setiap berlangsung Dzikir Akbar di Balaikota. Bahkan ia memaksa tetap hadir meski dengan infus di tangannya. "Para jamaah itu hadir karena pingin ketemu saya," katanya.
Saya masih selalu mbrebes mili setiap mengenang peristiwa itu. Di atas kursi roda, kiai Asrori hanya berdoa dalam penutupan majelis dzikir. Kemudian kembali ke rumah sakit.
Sepuluh tahun Jamaah Alkhidmah tanpa Kiai Asrori. Namun bukan malah menyurut jamaahnya. Kharismanya tetap hidup meski jasadnya sudah tidak bersama santri dan jamaahnya.
Pengikut thariqahnya terus bertambah. Setiap haul akbar maupun setiap kegiatan di daerah, jamaah Alkhidmah terus membludak. Ponpes Alfitrah di Kedinding juga terus berkembang.
Jamaah selalu berdatangan dari berbagai penjuru daerah. Juga jamaah dari luar negeri. Termasuk Habib Umar Bin Hamid Bin Hadi Al-Jaelani dari Makkah. Salah satu keturunan sulthonul auliya Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani.
Sungguh, meski telah tiada, Kiai Asrori tetap ngangeni. Kangen kesejukannya. Kangen ilmunya. Dan kangen caranya menebar ajaran Islam dengan damai. (arif afandi)