Khutbah Jumat: Pemimpin Sesungguhnya Cermin dari Rakyat
Pengantar Redaksi: Pemimpin hadir, pemimpin lahir. Setiap waktu, setiap generasi, terjadi pergantian kepemimpinan. Pada masa demokrasi dan supremasi sipil ditegakkan, masyarakat berhadap akan kehadiran pemimpinnya yang mengayomi dan melindungi sehingga rakyat hidup sejahtera.
Tapi, terkadang harapan tinggal harapan. Pemimpin punya orientasi sendiri, bukan untuk menyejahterakan rakyat melainkan sekadar menyejahterakan dan membahagiakan, sangat bahagia, bagi keluarganya semata.
Benarkah demikian? Apa konsep Islam hubungan pemimpin dan rakyat? Inilah jawaban Islam yang disampaikan untuk Khutbah Jumat.
Khutbah I:
إِنَّ الحَمْدَ لِله، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُه، ونَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أنْ لَا إلهَ إلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى هَذا النَّبِيِّ الكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَأصْحَابِهِ الطَّيِّبِينَ الطَّاهِرِينَ.
أمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ الله.. أُوصِيكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهَ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. قَال تَعَالَى في كِتابِهِ الكَريم، أَعُوذُ بِاللهِ مِنْ الشَّيْطانِ الرَّجِيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. صدق الله العظيم.
Manusia sebagai makhluk sosial, dalam kehidupannya meniscayakan kepemimpinan, baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional, baik kepeminpinan yang bersifat formal maupun non formal, kepemimpinan dalam keluarga, masyarakat dan negara, kepemimpinan dari level paling rendah hingga paling tinggi. Itulah sebabnya baginda Nabi Muhammad SAW menyatakan:
كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. (HR. Buchori).
Tidak terkecuali dalam urusan agama, juga meniscayakan adanya kepemimpinan, karena tanpa kepemimpinan, tidak mungkin hukum, peraturan dan ajaran agama dapat ditegakkan dengan baik. Dalam salah satu riwayat dikatakan, sahabat Umar bin Khatab Al Faruq RA menyatakan:
لا دين إلا بجماعة ولا جماعة إلا بإمامة ولا إمامة إلا بسمع وطاعة
“Tidak ada agama tanpa jama’ah (persatuan), tidak ada jama’ah tanpa kepemimpinan dan tidak ada kepemipinan tanpa kepatuhan”.
Ma’asyiral muslimin, Rahimakumullah,
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan negara dan agama pada hakikatnya adalah satu tarikan nafas, ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan.Terlebih dalam konteks negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, seorang yang memimpin negara, ia hakikatnya juga memimpin urusan agama, begitu juga, orang yang memimpin urusan agama, ia hakikatnya juga menopang keberlangsungan negara. Relasi negara dan agama yang bersifat simbiosis mutualisme ini digambarkan dengan pas oleh Hujjatul Islam, Al Imam Muhammad bin Muhammad Al Ghozali dalam maha karyanya Ihya’ Ulumuddin dengan menyatakan:
المُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
“Kekuasaan dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama sebagai landasan dan kekuasaan sebagai pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki landasan pasti akan tumbang. Sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal akan tersia-siakan.” (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ Ulumiddin, tt, Beirut: Darul Ma’rifah, Juz 1, h. 17).
Dalam hal kepemimpinan ini, pertanyaan berikunya yang sering muncul adalah sosok pemimpin seperti apa yang ideal dalam pandangan Islam? Sebagaimana yang tersemat dalam diri Rasulullah, Sang suri tauladan yang paripurna, bahwa kriteria pemimpin yang ideal setidaknya harus memiliki empat sifat utama yang melekat dalam dirinya, yakni shiddiq (jujur, lurus, tidak pembohong), amanah (bertanggung jawab dan terpercaya), tabligh (aspiratif dan dekat dengan rakyat), fathanah (cerdas, pintar dan visioner). Inilah sifat-sifat ideal yang harus ada dalam diri seorang pemimpin, di mana pun levelnya, apa pun jenis institusinya. Apabila empat sifat utama ini telah melekat dan mengejawentah dalam diri seorang pemimpin, niscaya ia akan menjadi seorang pemimpin pembangkit spirit, yaitu pemimpin yang mampu menggerakan, memotivasi, menginspirasi, mengayomi dan membimbing para anggota atau rakyatnya untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita bersama. Pemimpin yang mampu melayani, bukan malah minta dilayani, pemimpin yang menyayangi bukan yang haus dihargai.
Ma’asiral muslimin, rahimakumullah.
Berdasarkan beberapa hadis Nabi SAW dan pernyataan para ulama salaf, ternyata antara pemimpin dan yang dipimpin, antara penguasa dan rakyat memiliki hubungan kausalitas yang amat dekat dan saling berkait. Rakyat yang baik akan melahirkan pemimpin yang amanah, begitu sebaliknya rakyat yang tirani akan melahirkan pemimpin yang zalim. Terdapat hubungan kausalitas timbal balik antara kualitas seorang pemimpin (leader) dan pengikutnya (follower). Karenanya dikatakan, pemimpin adalah cermin dari rakyatnya, sebagaimana dinyatakan dalam suatu kaidah:
كَمَا تَكُوْنُوْنَ يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Sebagaimana keadaan kalian (rakyat), begitulah keadaan pemimpin kalian.”
Pandangan ini sejalan dengan teori demokrasi yang menyatakan bahwa kedaulatan negara tertinggi berada di tangan rakyat, yang berarti rakyat merupakan pemegang penuh kekuasaan dan prosesi kepemimpinan. Rakyat yang bermartabat akan melahirkan pemimpin yang hebat, sebaliknya rakyat yang lemah akan melahirkan pemimpin yang kerdil. Hubungan kausalitas kebersalingan antara sosok pemimpin dan rakyat yang dipimpin ini juga tercermin dari sebuah hadis Nabi yang diriwatkan sahabat ‘Auf bin Malik RA, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian seseorang mengatakan. ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka dengan pedang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan salat di antara kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya dan janganlah kalian melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855)
Hadis tersebut memberikan pelajaran tentang pentingnya kebersalingan prilaku kebaikan dan terpancarnya energi positiv antara penguasa dan rakyatnya, juga bagaimana cara umat bersikap terhadap pemimpin mereka. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang mencintai rakyatnya dan dicintai oleh rakyatnya, yang mendoakan kebaikan bagi rakyatnya dan juga didoakan oleh rakyatnya. Hubungan harmonis antara pemimpin dan rakyat adalah tanda bahwa pemimpin tersebut menjalankan tugasnya dengan baik dan adil, serta memimpin dengan cara yang membawa kebaikan bagi semua. Di sisi lain, seburuk-buruk pemimpin adalah yang membenci rakyatnya dan dibenci oleh rakyatnya. Hal ini dapat memicu kebencian dan permusuhan hingga keduanya saling melaknat. Ini mencerminkan kepemimpinan yang zalim dan tidak berpihak pada kemaslahatan umum.
Hadis tersebut juga menekankan pentingnya stabilitas dan kesatuan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ia mengajarkan bahwa kritik terhadap pemimpin atau penguasa harus disampaikan dengan cara yang tepat dan dalam kerangka mengingatkan untuk perbaikan sesuai aturan main. Ketika menghadapi pemimpin yang melakukan hal-hal di luar peraturan, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa kita seharusnya membenci tindakan buruknya, dengan tanpa merendahkan kemanusiaannya. Kita pun tetap menjaga kepatuhan selama pemimpin tersebut tidak memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan agama atau peraturan yang berlaku. Rasulullah SAW juga melarang umatnya melakukan pemberontakan atau menggunakan kekerasan dalam menyuarakan aspirasinya selama pemimpin tersebut masih menjalankan kewajiban dasarnya sebagai seorang muslim. Ketaatan kita kepada pemimpin merupakan implementasi nyata dari perintah Allah sebagaimana firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa: 59).
Akhirnya, melalui mimbar khutbah yang mulia ini, izinkan alkhatib mengajak kepada semua jamaah untuk senantiasa mendoakan kebaikan dan keluhuran kepada para pemimpin bangsa, kiranya mereka mampu menegakkan keadilan dan menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan doa-doa yang tulus dipanjatkan, mudah-mudahan, negeri kita diberkahi, dirahmati dan dipimpin oleh pemimpin yang adil dan mampu mewujudkan rakyatnya yang rukun dalam keragaman dan sejahtera dalam kebahagiaan.
Khutbah Kedua
الحمد لله على إحسانه، والشُّكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحدَه لا شريك له تعظيمًا لشأنه، وأشهد أنَّ محمَّدًا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، صلَّى الله عليه وعلى آله وصحابته وسلَّم تسليمًا كثيرًا.
أمَّا بعدُ: فيا عباد الله:
اتَّقوا الله ولا تموتنَّ إلا وأنتم مسلمون، واعتَصِموا بحبل الله جميعًا ولا تفرَّقوا، واذكُروا نعمةَ الله عليكم، وتمسَّكوا بكتاب ربِّكم، واعلَمُوا أنَّ الله - سبحانه وتعالى - أمرَكُم بأمرٍ بدأ فيه بنفسه؛ فقال - جلَّ من قائل عليمًا -: ﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴾.
اللهم صلِّ وسلِّم على عبدك ورسولك محمد، البشير النذير، والسراج المنير، وارضَ اللهم عن الخلفاء الراشدين المهديين: أبي بكرٍ، وعمر، وعثمان، وعلي، وعن بقيَّة الصحابة، وعن التابعين، وتابعي التابعين، ومَن تَبِعَهم بإحسانٍ إلى يوم الدين، وعنَّا معهم بعفوك وكرمك وإحسانك يا أرحم الراحمين.
اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات، والمسلمين والمسلمات، الأحياء منهم والأموات. اللهم انصر من نصر الدين، واخذل من خذل المسلمين. اللهم ادفَع عنَّا الغَلاء والرِّياء، والربا والزنا والزلازل والمِحَن وسوء الفتن ما ظهر منها وما بطن، عن بلدنا هذا خاصَّة، وعن سائر بلاد المسلمين عامَّة يا رب العالمين. اللهم آمنَّا في أوطاننا، وأصلِح واحفظ ولاة أمورنا، واجعَلْهم هُداةً مُهتَدِين، صالحين مُصلِحين. رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
عباد الله:
إنَّ الله يأمُر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القُربى، وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغْي، يعظُكم لعلَّكم تذكَّرون، فاذكُروا الله العظيم يذكُركم، واشكُروه على نِعَمِه يزدْكم، ولَذِكرُ الله أكبر، والله يعلَمُ ما تصنَعون
Penulis:
Dr. H. Khoirul Huda Basyir, Lc. M.Si
Sumber: kemenag.go.id