Khofifah Mencari Celah, Mampukah?
MENTERI Sosial Khofifah Indar Parawansa terus bergerak maju menggalang dukungan untuk Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018. Ia berkeliling menemui para kiai, menggalang dukungan sejumlah partai, dan berusaha membangun opini bahwa dirinya dikehendaki masyarakat Jatim untuk memimpin provinsi ini.
Mampukah ia mencari celah untuk mengalahkan pasangan Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang telah resmi diusung dua partai: PKB dan PDI Perjuangan. Apakah alasan-alasan rasional yang membuat Khofifah yakin bisa mengalahkan pasangan tersebut?
Dalam catatan terdahulu, saya melihat hanya ada tiga skenario yang membuat Ketua Umum PP Muslimat yang telah dua kali kalah dalam pilgub Jatim ini bisa berlaga kali ketiga. Pertama, ia akan diusung PKB dan atau PDI Perjuangan seperti dalam dua kali pilgub sebelumnya. Namun, pilihan pertama ini sudah gugur setelah dua partai tersebut resmi bersama Gus Ipul-Anas.
Kedua, ia mengandalkan presiden Joko Widodo untuk main dua kaki dalam Pilgub Jatim. Di satu sisi menghormati pilihan PKB dan PDI Perjuangan yang telah membopong Gus Ipul-Anas. Di sisi lain memberi ruang kepada partai koalisi lainnya mengusung Khofifah berlaga dalam pilgub Jatim untuk kali ketiga. Pilihan ini yang sedang digalang dan diupayakan Khofifah beserta timnya.
Secara lisan Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PPP telah menyatakan dukungannya. Tapi tertulis belum terbukti. Partai Hanura dan PAN juga menggadang-gadang Khofifah. Namun, sampai detik ini, sejumlah partai tersebut ikut berebut pasangan yang harus mendampinginya jika betul-betul jadi berlaga. Khofifah telah membentuk tim 17 untuk menentukan pendampingnya. Tapi belum diketahui sejauh mana efektifitas tim ini dalam mempengaruhi partai-partai calon pengusungnya.
Jika skenario kedua ini berantakan juga, maka pilihan terpahit dia harus menyeberang ke partai oposisi: Partai Gerindra dan PKS. Pilihan ini jelas sangat tidak mengenakkan. Sebab, selama ini, Khofifah sudah dikenal sebagai orangnya Presiden Jokowi. Jika ia nekat menyeberang untuk mendapat dukungan partai oposisi, maka ia bisa dituding sebagai pengkhianat. Sungguh susah dan tidak menguntungkan citra politik Khofifah.
Pilihan yang mungkin tinggal mengandalkan kebaikan Presiden Jokowi: memerintahkan partai koalisi pemerintah agar mengusung Khofifah. Harapannya, siapa pun kelak pemenangnya adalah pendukung Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2018. Jika Gus Ipul-Anas yang menang, ia bisa berharap dukungan karena diusung PDIP dan PKB --dua partai yang juga pengusung Jokowi. Jika Khofifah yang juara, pasti juga akan jadi sumber dukungan utama.
Namun, pilihan bermain dua kaki Presiden Jokowi ini bukan soal gampang. Ia pasti juga berhitung untung rugi untuk terang-terangan mendukung Khofifah. Sebab, jika itu dilakukan, maka ia akan berseberangan dengan para kiai di Jatim yang menginginkan Gus Ipul menjadi gubernur. Juga akan beresiko karena berbeda pilihan dengan PDIP --partai pengusungnya sebagai presiden-- yang sudah bulat menjatuhkan pilihan ke Gus Ipul.
Karena itu, menurut sumber terpercaya di Istana, Jokowi sebetulnya sudah beberapa kali memberi sinyal agar Khofifah tidak maju lagi dalam pilgub Jatim. Namun yang bersangkutan tetap ngotot. Bahasanya, ia tak bisa direm. ''Beberapa kali pertemuan, Pak Jokowi telah memberi sinyal bahwa dia masih membutuhkan Khofifah di kabinetnya. Namun yang bersangkutan tetap ngotot,'' katanya.
Apa pun Jokowi masih mengharapkan dukungan Khofifah dengan gerbong muslimatnya dalam Pilpres 2019. Dukungan muslimat tersebut sangat penting dan menjadi penentu kemenangannya dalam Pilpres lalu --khususnya di daerah pemilihan Jatim. Karena inilah, Jokowi tak ingin Khofifah jatuh ke calon lawan hanya gara-gara ia ''ngaboti'' Gus Ipul dalam pilgub Jatim. Pilihan politik dua kaki terpaksa harus diambil meski dengan setengah hati.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku juga pernah dipamiti Khofifah. Meski tak berhak melarang, ia punya kalkulasi yang lebih masuk akal. Kepada Khofifah, ia mengingatkan untuk siap kalah kali ketiga. JK menyarankan Khofifah fokus sebagai menteri. Sebab, jika ia tetap menjadi menteri, maka masih akan menjabat dua tahun lagi. Jika Jokowi terpilih lagi, sangat mungkin Khofifah diangkat menjadi menteri kembali. Berarti, 7 tahun menjadi menteri sudah ada di depan mata.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Khofifah masih sekuat seperti dalam dua pilgub sebelumnya? Sejumlah survey dari berbagai lembaga survey menunjukkan bahwa elektabilitas dia sebagai cagub Jatim cenderung kecil. Berkisar di angka 16 persen. Angka tersebut tidak pernah beranjak sampai kini. Di beberapa survey lembaga terpercaya, ia kalah dengan Walikota Surabaya Tri Risma Harini dari PDIP.
Di lapangan, sejumlah basis dukungan Khofifah dalam dua pilgub sebelumnya juga sudah berguguran. Keluarga Ponpes Salafiyah Syafiiyah Asembagus Situbondo, misalnya. Pesantren milik almarhum Kia As'ad Syamsul Arifin ini menjadi simpul kekuatan santri di tapal kuda dan Madura. Kini, keluarga putra-putri Kiai As'ad tersebut sudah deklarasi mendukung Gus Ipul. ''Keluarga sudah sepakat mendukung Gus Ipul agar NU tidak pecah,'' kata KHR Azaim Ibrahimy, pimpinan pondok saat ini.
Dalam dua pilgub sebelumnya, kekuatan santri tapal kuda dan Madura terpecah karena keturunan Kiai As'ad Syamsul Arifin yang sangat berpengaruh ini terbelah. Keluarga inti mendukung Khofifah, kelompok keluarga lain yang dipimpin KHR Cholil As'ad Syamsul Arifin mendukung Gus Ipul. Kini, keduanya bersatu tidak mendukung Khofifah. Apalagi, pasangan calon wakilnya Gus Ipul adalah Azwar Anas yang masih punya hubungan keluarga dengan Ponpes Asembagus Situbondo.
Kelompok Struktural NU juga tak lagi sekuat dua kali pilgub sebelumnya mendukung Khofifah. Mengapa? Dalam dua pilgub lalu, ia punya alasan kuat untuk mendapat dukungan. Sebab, ia satu-satunya calon gubernur dari NU. Sedangkan Gus Ipul hanya calon wakil gubernur. Apalagi, dalam dua kali pilgub, ia didukung almarhum KH A Hasyim Muzadi --mantan Ketum PBNU yang masih punya akar kuat di struktur organisasi NU sampai di tingkat bawah.
Kekuatan Khofifah dalam pilgub sebelum ini juga karena dukungan PKB. Partai yang didirikan Gus Dur dan para Kiai NU tersebut merupakan penyalur resmi aspirasi politik warga Nahdliyin. Konon, 70 persen pengurus Muslimat di Jatim adalah anggota DPRD dari PKB. Karena Khofifah dalam pilgub lalu diusung PKB, maka suara muslimat mutlak ke dirinya. Lantas apakah setelah PKB tidak mendukungnya, Muslimat masih loyal di belakang Khofifah? Masih menjadi pertanyaan besar.
Yang pasti, kini celah pilihan Khofifah menjadi gubernur Jatim makin sempit. Simpul kiai dan dukungan Muslimat makin berkurang. Juga pilihan partai yang akan mengusungnya. Harapan mendulang suara NU telah tertingal dari calon lawannya. Berharap suara kelompok nasionalis abangan sudah makin tak leluasa karena PDIP sudah menentungan pasangan. Tinggal berebut pemilih rasional yang juga mempertanyakan kengototan Khofifah yang sudah jadi Menteri Sosial tapi tetap ikut pilgub Jatim untuk ksli ketiga.
Juga bisa mencari celah merebut pemilih emosional daerah Mataraman. Karena itu, pilihan terhadap calon wakil gubernur yang akan digandengnya menjadi amat penting. Tapi, soal ini, bukan persoalan mudah bagi Khofifah. Sebab, partai yang ingin mengusungnya sudah saling berebut untuk posisi tersebut. Apalagi, pilihan ini makin sempit karena PDIP --salah satu partai pengusung Gus Ipul-Anas-- dikenal digdaya di kawasan ini.
Tapi pilihan politik adalah hak personal seluruh warga negera, termasuk Khofifah. Siapa pun tidak bisa melarang dia berlaga dalam Pilgub Jatim, meski sudah dua kali kalah. Ia tetap berhak untuk mengadu nasib di pilgub berikutnya. Tak peduli dia kini sudah memegang jabatan publik sebagai menteri dalam kabinet Jokowi-JK. Sebagai makhluk politik, ia tetap berhak menjemput ''takdir'' untuk masa depannya.
Kalau pun ia belum beruntung nanti, setidaknya ia akan tercatat sebagai seorang petarung ulung. Seseorang yang tidak pernah putus asa terhadap cita-cita yang ingin digapainya. Kalau pun ada yang menyesalkan, paling hanya dianggap sebagai variabel pemecah keutuhan NU yang sebagian besar para kiainya sudah mengusung calon lain di luar dirinya.
Betewe, politics is art of possibility, seni dari segala kemungkinan. Pasti Khofifah dan timnya telah membuat berbagai perhitungan. Apa pun yang terjadi ke depan, pertarungan beruntun dari orang yang sama pasti akan menarik untuk disaksikan. Sebab, adu cerdik pasti akan mewarnai pertarungan antar kandidat Pilgub Jatim 2018.
Selamat Berjuang Mbak Khof!!!
Advertisement