Khilafah dan Benturan Peradaban
Di dunia Nasrani, sistem politik berdasarkan agama/Katolik (Ambratur/Raja Diraja) sudah dihapus pada 1648 setelah berakhirnya perang agama 30 tahun (sesama pemeluk Nasrani). Sejak itu Paus tidak lagi merangkap sebagai pemimpin politik/pemerintahan dan sistem politik berubah menjadi negara bangsa, sistem demokrasi dan pemerintahan modern.
Di dunia Islam, sistem politik kekhalifahan baru berakhir sejak khilafah Usmaniah kalah dalam Perang Dunia I pada 1917 meskipun secara formal baru dinyatakan bubar oleh Mustafa Kemal Attaturk pada 1924. Upaya untuk membangun kembali sistem khilafah yang bersifat multinegara pada 1924 - 1926 melalui konferensi internasional di Kairo dan Jeddah mengalami kegagalan.
Sarikat Islam (SI) dari 1921 sampai 1931 menyelenggarakan Konggres Umat Islam tahunan membahas kekhalifahan tersebut. Akhirnya pembahasan dihentikan karena tidak dicapai kata sepakat. KH Abdul Wahab Hasbullah dan Kiai Asnawi Kudus yang mewakili ulama yang kemudian pada 1926 mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) menarik diri pada 1924. Sedangkan ulama Muhamadiyah menarik diri pada 1926.
Sekarang di Indonesia ada tiga jenis khilafah Islamiyah: Pertama, Khilafatul Muslimin di bawah pimpinan Abdulqadir Baraja ex NII/ Komando Jihad berpusat di Lampung sejak akhir dekade 1970an. Kedua, Hizbut Tahrir Indonesia cabang dari Hizbut Tahrir yang berpusat di Palestina/Birmingham di bawah pemimpin Abu Rasta dan Ketiga, Khilafah Islam ala ISIS yang berpusat di Iraq - Syria di bawah pimpinan oleh Abu Hasan Al-Hasyimi Al- Quraishi.
Abdul Qadir Baraja daerah pengaruhnya terbatas di Lampung dan tidak cukup besar kekuatannya karena berseberangan dengan ex DI/NII yang secara ideologis tidak menganut sistem khilafah dan pemimpinnya disebut Imam. Ciri dari gerakan agama yang radikal adalah selalu menganggap pihaknya yang paling benar sehingga rawan konflik di antara mereka.
Marak Fundamentalistis
Dalam era globalisasi gerakan fundamentalistis kembali marak sebagai reaksi terhadap ekspansi peradaban Barat yang masif. Perlawanan mereka bersifat kultural non politik. Benturan Peradaban Barat sekuler kontra peradaban nasional yang relijius merupakan bahan dasar pengembangan gagasan yang bersifat fundametalis agama.
Selain gerakan kekhalifahan, muncul gerakan fundamentalis-radikal yang tidak bertujuan pembentukan khilafah misalnya Al-Qaeda. Gerakan semacam ini utamanya bertujuan melawan eskpansi peradaban Barat dan menuntut keadilan politik. Dampak dari kegiatan mereka adalah kaum muslimin sendiri menjadi korban aksi mereka karena dianggap mengikuti pola hidup Barat.
Kelompok kelompok diatas dilihat dari pola pikirnya dapat digolongkan kedalam “kofrontatif" terhadap segala hal yang berbau peradaban barat. Lawannya adalah sikap “Reseptif” atau menerima apa adanya peradapan dengan sedikit penyesuaian.
Adapun mayoritas umat Muslimin Indonesia dalam merespons peradaban Barat bersikap “transformatif“ atau mengambil nilai yang baik dan menolak yang tidak sesuai dengan budaya sendiri.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Mustasyar PBNU, tinggal di Jakarta.
Advertisement