Khairu Ummah, Tafsir Surat Ali-Imran 110 Perspektif Muhammadiyah
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menjelaskan, Muhammadiyah lahir bukan karena sikap reaksioner, tetapi karena gagasan yang matang terhadap masa depan Islam beserta formulasinya oleh Kiai Ahmad Dahlan.
“Muhammadiyah sudah punya formulasi berbeda. Maka Kiai Ahmad Dahlan membangun masyarakat yang kita terjemahkan dengan membangun masyarakat Islam sebenar-benarnya. Dalam konteks inklusif, itu artinya adalah khairu ummah,” jelasnya.
Hal itu diungkapkan Haedar Nashir dalam forum Koordinasi dan Konsolidasi Persyarikatan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Nusa Tenggara Barat, Sabtu 2 Juli 2022.
Sepanjang sejarah Nusantara, organisasi Islam yang lahir rata-rata dipicu atau dilatarbelakangi oleh reaksi atas suatu kejadian. Hal tersebut, nyatanya tidak dimiliki oleh Muhammadiyah.
Khairu Ummah sendiri adalah konsep tentang umat terbaik di dalam ayat 110 Surat Ali Imran. Ayat inilah yang berulangkali diajarkan oleh Kiai Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya seperti Kiai Syuja’.
“Yang berarti orang Muhammadiyah itu sendiri harus menjadi representasi dari khairu ummah karena dia punya tujuan untuk membangun umat terbaik, bangsa yang terbaik,” imbuhnya.
Tafsir Al-Quran Surat Ali-Imran 110
Ciri Khairu Ummah kemudian dicirikan dalam ayat 104 Surat Ali Imran dengan penegasan lewat kalimat ‘wal takun minkum ummatan’ yang artinya adalah ‘hendaknya kamu menjadi segolongan umat’. Menurut Haedar, makna kalimat ‘segolongan umat’ tersebut artinya bukanlah orang biasa atau umat yang awam.
“Artinya orang Muhammadiyah, lebih-lebih pimpinannya, kader, kualitasnya memang kualitas umat yang bukan sembarang orang seperti orang awam. Maka ketika menghadapi pandemi, ketika kita Muktamar, berorganisi, menghadapi masalah, relasi dengan umat, dengan bangsa, dengan pemerintah, kita harus dalam posisi sebagai umat yang terbaik,” jelasnya.
Haedar menjelaskan, Khairu Ummah ini dikaitkan dengan frasa ‘ummatan wasathan’ (umat pertengahan) yang disambungkan dengan konteks ‘li takunu syuhada’a ‘alan nas’ (agar kamu menjadi saksi atas umat manusia) di dalam ayat 143 Surat Al-Baqarah.
“Jadi bukan umat ndak jelas, itu artinya umat yang jelas. Jadi keliru kalau orang mengartikan umat moderat itu, umat tengahan itu ndak jelas. Yang ndak jelas itu yang terlalu ke kanan atau yang terlalu ke kiri,” kritik Haedar.
Frasa ‘li takunu syuhada’a ‘alan nas’ sendiri kemudian diartikan Haedar sebagai umat yang hadir di tengah masyarakat dan mencetak sejarah. Itulah Muhammadiyah yang dimaksud oleh Kiai Ahmad Dahlan.
Kosmopolitanisme dari maksud Khairu Ummah inilah yang kemudian kata Haedar dijabarkan secara amaliah oleh Muhammadiyah dengan etos membangun pusat-pusat keunggulan yang inklusif dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia.
“Maka kalau kita punya teologi seperti itu, kita harus punya karya-karya terbaik dalam kehidupan ini dan umat Islam yang mayoritas di negeri ini bukan hanya mengandalkan kemayoritasannya tapi mayoritas yang bisa menjadi khairu ummah,” tegasnya.
Advertisement