KH Yasin Yusuf, Pancasila Terjelaskan dalam Tradisi Tahlilan
KH Yasin Yusuf (almaghfurlah, 1934-1992), dai kondang dari Kademangan, Blitar. Dikenal sebagai juru dakwah yang disayangi masyarakat. Pendekatan dengan bahasa sederhana dalam berdakwah, sehingga memudahkan masyarakat awam memahami agamanya, Islam.
Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Yasin Yusuf dalam satu barisan ketika para ulama memutuskan mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara yang telah final dalam Muktamar NU ke-27 di Sukorejo, Asembagus Situbondo pada 1984.
Meski telah lama tiada, tepatnya wafat pada 6 Juli 1992, Kiai Yasin Yusuf dimakamkan di Makam Auliya desa Tambak Ngadi, Ploso, Kecamatan Mojo Kediri. Satu kompleks dengan makam Gus Miek (KH Chamim Djazuli) dan KH Achmad Siddiq, Rais Aam PBNU 1984-1991).
Tafsir Pancasila ala Kiai Yasin Yusuf
Diriwayatkan ‘bil makna’ dari beberapa ulama dan kiai pesantren. KH. Yasin Yusuf telah memberikan penafsiran sederhana dan unik tentang Pancasila yang dikaitkan dengan tradisi Tahlilan. Kiai Yasin Yusuf dalam satu ceramahnya pernah menyampaikan:
“Kalau kita ingin melihat pelaksanaan Pancasila yang benar dan tepat, maka lihatlah orang-orang tahlilan yang biasanya diamalkan.
Pesan tersebut, memiliki makna mendalam, antara lain:
Pertama, orang tahlilan itu pasti baca surat al-Ikhlas yang berbunyi “Qulhu Allohu Ahad Allohush Shomad”, yang di situ mengandung makna “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan, di dalam tahlil pasti dibaca. Yang artinya, Tuhan itu satu, La ilaha illallah, tiada tuhan selain Allah.
Kedua, orang tahlilan siapa pun boleh datang dan ikut, tidak ada seleksi. Tidak ada pertanyaan bisa tahlil apa tidak. Bahkan abangan atau yang blm bisa ngaji pun boleh datang ke tahlilan. Tidak ada yang dibeda-bedakan. Itulah “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.
Ketiga, apabila kita datang di kampung-kampung, orang tahlilan itu duduknya bersila semua. Tidak dibedakan duduknya baik pejabat, kiai, santri, dan orang biasa. Semuanya duduk bersila, rata. Di samping duduknya bersila semua, rangkaian dzikir-dzikir yang dibaca pun sama dan seragam, cara bacanya pun bareng. Itulah “Persatuan Indonesia” terdapat dalam sila ketiga Pancasila.
Keempat, setelah itu, menjelang dimulai, di sanalah mereka mencari pemimpin, mereka saling tuding dan saling tunjuk, tapi juga saling menolak jika ditunjuk. Satunya bilang “Anda saja yang mimpin” dan yang lainnya juga bilang “Anda yang lebih pantas”, Di sinilah terjadi musyawarah kecil-kecilan mencari seorang pemimpin tahlil. Setelah satu orang terpilih, maka dialah yang memimpin tahlil, dan siapa yg mimpin doa tahlil. Itulah “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.”
Kelima, setelah tahlil selesai, “berkat” (bingkisan berupa makanan) dikeluarkan untuk diberikan kepada orang-orang yang tahlillan. Semuanya mendapatkan “berkat” yang sama tanpa ada perbedaan baik dalam bentuk, tampilan dan isinya, semuanya sama. Itulah makna “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Walaupun memang terkadang ada sedikit tambahan “Berkat” buat yang mimpin.
Demikian, cara Kiai Yasin Yusuf dalam memberikan pemahaman baik kepada masyarakat. Analogi, contoh-contoh, serta guyonan-guyonan segar selalu dihadirkan untuk menyampaikan pesan agar dapat diterima secara utuh oleh masyarakat.
Kiai Yasin Yusuf wafat pada 6 Juli 1992 dan dimakamkan di Desa Tambak, Ngadi, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, sekitar 17 kilometer selatan kota Kediri. Makam itu dikenal dengan makam para ulama dan Makam Auliya. Makam Kiai Yasin Yusuf berdampingan dengan makam KH. Achmad Siddiq (Rais Am PBNU 1984-1991) dan KH. Hamim Djazuli (Gus Miek) dari Pesantren Ploso Kediri.
Advertisement