KH Minanurrohman Al-Ishaqi Wafat, Ini Jejak Perjuangan Dakwahnya
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur berduka. KH A Minanurrohman Al-Ishaqy, tokoh Tarekat Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, menghadap ke Rahmatullah pada Jumat, 29 April 2022 bertepatan 28 Ramadan 1443 H, saat umat Islam sibuk dengan aktivitas hari-hari terakhir bulan Puasa.
Putra sulung KH M Utsman Al-Ishaqi (almaghfurlah), mengembuskan nafas terakhir setelah dirawat di Rumah Sakit PHC (Primasatya Husada Citra) Surabaya. KH A Minanurrohman Al-Ishaqi, adalah Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ubudiyah Roudlotul Muta'allimin, Jl. Jatipurwo VII/15 Kel. Ujung Kecamatan Semampir - Surabaya.
Kiai Minan tak lain adalah kakak kandung KH Asrori Al-Ishaqi (almagfurlah), Pengasuh Pesantren Al-Fitrah, Kedinding Surabaya.
Perlu diketahui, KH Utsman Al-Ishaqi RA, Mursyid Tarekat Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah. Perjuangannya dalam dakwah Islam di bidang tasawuf, dilanjutkan para putranya. Seperti, KH Fathul Arifin Al-Ishaqi (almaghfurlah), KH Minanur Rohman Al-Ishaqi, KH Ahmad Qomarul Anam Al-Ishaqi, KH Asrori Al-Ishaqi (almaghfurlah), KH Anshorulloh Al-Ishaqi.
Biografi Singkat
Kiai Minanurrohman dilahirkan dalam satu keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi. Dia dilahirkan pada 30 Juni 1945 di Jombang, dan kemudian menetap di Surabaya, tempatnya di Jatipurwo. Pengsuh Pondok Pesantren Roudlotul Muta’allimin. Sebelum pindah ke Surabaya, ia sering berpindah-pindah pondok, seperti dari pondok Pasuruan, Kediri, Pare, Lirboyo, dan terakhir di Sarang, Jawa Tengah.
Di antara murid setianya, Ali Tamim, menuturkan kesaksiannya. "Kiai Minan adalah seorang yang tekun menjalankan perintah agama. Sudah terlihat bahwa sejak ia menjadi santri," tutur salah satu murid Kiai Minan, tinggal di Surabaya.
Gurunya sering melihat dan mendengarkan Minanurrahman muda mengigau membaca pelajaran ilmu nahwu di pondok pesantren. Sehingga gurunya mengatakan kepada para santrinya yang lain, bahwa kelak Minanurrahman akan menjadi seorang yang alim dalam meneruskan pondok pesantren Raudhotul Muta’alimin.
Sang guru menegaskan, "Seandainya santri saya tidak menjadi ulama atau mempunyai ilmu agama yang lebih, maka pasti ia menjadi seorang ulama yang terkenal di desa sekitarnya".
Sang Guru menambahkan, apabila seorang menjadi kaya raya tapi tidak mempunyai ilmu agama yang banyak, pasti amalannya hanya sedikit.
Selang beberapa tahun kemudian, KH Minanurrahman diberi tugas oleh ayahandanya, Kiai Utsman Al-Ishaqi, untuk meneruskan pondok pesantren yang memperjuangkan santrinya dan bidang pendidikannya.
Kiai Minan, meruakan orang yang patuh untuk memegang tanggung jawab, khususnya ittiba’ (mengikuti). Namun, dalam perjuangan tarekat Kiai Utsman Al-Ishaqi menyerahkan kemursyidan tarekat kepada KH Asrori Al-Ishaqi karena dinilai berpendirian teguh terhadap masyarakat. Kiai Asrori, Pendiri Pesantren Al-Fitrah, Kedinding Surabaya dan mengorganisasi jamaahnya dalam Al-Khidmah yang tersebar di pelbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, bahkan juga ke Singapura dan Malaysia, sertai Brunei Darussalam.
Pada tahun 1983 Kiai Minanurrohman mulai menjalankan perintah Kiai Utsman Al-Ishaqi, sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ubudiyah Roudlotul Muta'allimin, Jatipurwo Surabaya.
Pesan-Pesan Penting
Dalam tausiyah pada 2014, KH Minanurrahman bin Utsman al-Ishaqi, menceritakan tentang kitab al-Hikam. Suatu ketika KH Bisri Syansuri ditanya: “Siapakah kyai yang mengajarkan Kitab Al-Hikam sekaligus mengamalkannya?”
Kiai Bisri Syansuri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar Jombang menjawab, “Dia adalah Kiai Utsman Jatipurwo Surabaya.”
Pada masanya, Kiai Utsman (Kyai Sepuh) tidak diragukan lagi kapasitasnya sebagai ulama yang luar biasa dan diakui oleh para kiai dan habaib besar. Di antaranya adalah KH M Hasyim Asy’ari, KH Romli Tamim, Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur, Habib Salim bin Jindan, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dan Habib Sholeh Tanggul. Guru-gurunya itu menjadi saksi bagi muridnya adalah hal yang istimewa.
Setelah mengaji kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Utsman melanjutkan ke Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng. Kemudian oleh Kiai Hasyim diutus ke Kiai Romli Tamim Rejoso. Ketika itu saat masih usia mudanya. Tapi kesemua gurunya itu menyaksikan, Kiai Utsman adalah orang yang sangat istimewa. Hingga akhirnya Kiai Utsman menjadi mursyid yang kamil-mukammil penerus estafet guru mursyidnya, KH Romli Tamim, dengan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Setelah itu tarbiyah thariqah diteruskan kepada muridnya asal Kebumen, KH Shonhaji Hasbullah, hingga mencapai mursyid yang sempurna. Resmilah Kiai Shonhaji menjadi mursyid tunggal Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang diizinkan untuk membaiat secara umum sepeninggal Kiai Mahfudz Jetis Kebumen.
Bahkan sekelas KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun akhirnya berbaiat kepada Mbah Shonhaji Hasbullah. Kejadian baiat ini saat Gus Dur belum menjadi Presiden RI, yakni saat masih menjadi Ketua Umum PBNU. Ketika itu, Gus Dur baru diizinkan berbaiat oleh Mbah Shonhaji setelah sebulan kemudian.
Dalam haliyah (tingkah laku keseharian) Mbah Shonhaji pun seperti gurunya, Kiai Utsman al-Ishaqi, sebagai pelaku kitab Al-Hikam selain juga mengajarkannya. Tak luput juga, ternyata Gus Dur dalam haliyahnya pun dikenal selalu mengamalkan isi dari Kitab Al-Hikam. Dalam mengajar kitab Al-Hikam, pun dalam kesempatan ceramahnya, Gus Dur seringkali mengutip perkataan Syaikh Ibn Athaillah as-Sakandari dalam kitab tersebut hikmah No. 11: “Idfin wujûdaka fî ardhi al-humûl. Famâ nabata mimmâ lam yudfan lâ yatimmu natâ’ijuhu (tanamlah keberadaan dirimu di tanah yang rendah/tidak dikenal. Sebab sesuatu yang tumbuh dari sesuatu yang tidak ditanam tidak akan sempurna buahnya).”