KH Hasyim: Perkokoh Persatuan Ulama dan Jangan Bercerai-berai
Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) menggelar Muktamar ke-34 di Lampung, 22-23 Desember 2021. Organisasi yang mewadahi peran para ulama ini didirikan para kiai dan Ulama Pesantren, dipimpin Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari.
Terkait perhelatan puncak NU menuju 100 berdirinya, berikut sejumlah pesan penting Raisul Akbar NU, Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Sebagai nasihat untuk para ulama yang kini sedang ber Muktamar itu. (Redaksi)
Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari beberapa kali melakukan perlawanan kultural terhadap penjajah yang ia kemas dengan spirit ajaran Islam. Dalam konteks melakukan perlawanan terhadap penjajah, Kiai Hasyim Asy’ari tidak segan-segan mengeluarkan fatwa haram bagi santri yang pakaiannya menyerupai penjajah Belanda. Tentu saja fatwa tersebut tidak bisa digunakan di setiap zaman sebab konteks fatwa itu untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah.
Kabar-kabar penting terkait perjuangan dan pergerakan nasional selalu Kiai Hasyim Asy’ari sampaikan melalui utusan dan surat tertulis. Kabar yang disampaikan tidak jarang berisi pesan berharga kepada kiai-kiai pesantren di Jawa dan Madura terkait strategi dalam menghadapi penjajah.
Tercatat ialah Mahfudz Siddiq, Wahid Hasyim, Abdullah Ubaid, dan Muhammad Ilyas merupakan kiai-kiai muda yang tidak asing namanya di kalangan pesantren. Mereka merupakan ‘kurir-kurir’ KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah untuk membawa pesan-pesan untuk dunia pesantren terkait kepentingan agama, bangsa, dan negara.
Di antara pesan yang ditulis KH Hasyim Asy’ari kepada para ulama pesantren di Jawa dan Madura tentang pentingnya persatuan ialah:
“Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebatilan mencapai kemenangan disebakan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknya, kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai-berai dan bersengketa.” (KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKiS, 2001)
Dalam kondisi berselisih, penjajah mudah dalam mempengaruhi masyarakat. Hal ini dipandang sebagai kerugian besar secara sosial dan moral karena justru akan menjadikan eksistensi penjajah semakin kuat. Dari pintu ke pintu dan dari utusan ke utusan, Kiai Hasyim Asy’ari tidak pernah lelah menggelorakan persatuan bangsa dan persatuan umat Islam.
Apalagi jika melihat beberapa kelompok masyarakat Indonesia yang cukup bangga dan terbuai dengan tipu daya Belanda dalam wujud penghargaan.
Seperti yang terjadi pada tahun 1937 mislanya, pernah datang kepada Kiai Hasyim Asy’ari seorang amtenar (utusan pemerintah Hindia-Belanda) bermaksud memberikan tanda jasa berupa Bintang Jasa yang terbuat dari perak dan emas. Tetapi dengan tegas kakek KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menolak pemberian itu.
Sikap ayah Kiai Wahid Hasyim itu tidak lepas dari pandangan bahwa apa yang dilakukan Belanda hanya intrik politik semata untuk menundukkan sikap kritis dan perjuangan para kiai pesantren dalam melawan penjajah.
Lalu, Hadlratussyekh pun bergegas mengumpulkan santrinya lalu berkata: “Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat, pada suatu ketika dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh kakeknya Abdul Muthalib dan diberitahu bahwasanya pemerintah jahiliyah di Mekkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi Muhammad: 1) kedudukan yang tinggi; 2) harta benda yang berlimpah; dan 3) gadis yang cantik. Akan tetapi Baginda Nabi Muhammad menolak ketiga-tiganya itu dan berkata di hadapan kakeknya, Abdul Muthalib: “Demi Allah umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tak akan mau. Dan aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata ke mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban.” Maka, kamu sekalian anakku, hendaknya dapat meneladani Baginda Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi segala pesoalan.” (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 1985) Dikutip dari nu-online.