KH Ahsanul Haq: Dakwah Walisongo Sukses Melalui Budaya
Wakil Ketua PWNU Jawa Timur KH Ahsanul Haq mengatakan, dakwah Islam yang dilakukan Walisongo melalui jalur budaya. Karena itu, Islam berkembang di Jawa hingga berkembang luas ke wilayah Nusantara, melalui jalur budaya.
"Jadi, Islam berkembang di Nusantara tidak dengan jalan perang, tidak ada perang untuk menyebarkan Islam di Jawa. Islam berkembang dengan jalan damai, dengan jalur budaya. Sehingga, berkembang hingga sekarang," tuturnya.
Kiai Ahsanul Haq mengungkapkan hal itu, saat membuka acara Festival Sunan 2019, yang digelar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur. Perhelatan budaya akhir tahun ini, berlangsung 28-30 Desember 2019. Acara berlangsung di gedung PWNU Jawa Timur, Jl Al Akbar Timur No 9 Surabaya, bertajuk "Sambung Rasa Ngrumat Budaya".
"Kita mewarisi semangat budaya Walisongo hingga spirit itulah yang dikembangkan Nahdlatul Ulama melalui pesantren-pesantren yang telah mengakar sebagai lembaga pendidikan Islam khas di Indonesia," kata Kiai Ahsanul Haq.
Kiai Ahsanul Haq, yang juga Imam Besar Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, mencontohkan kisah Maulana Ishaq dalam berdakwah. Yakni, dengan menggunakan kemampuannya mengobati penyakit.
Dalam hubungan Walisongo, Maulana Ishaq adalah adik kandung Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi yang bergelar Sunan Gresik. Maulana Ishaq adalah paman dari Sunan Ampel Surabaya dan Sayyid Ali Murtadha yang bergelar Sunan Santri atau Raden Santri atau Raja Pendeta.
Maulana Ishaq adalah ayah kandung dari Sunan Giri Gresik, kakek paman dari Sunan Bonang, Sunan Drajat dan Sunan Ngudung. Maulana Ishaq adalah Buyut paman dari Sunan Kudus.
Dikisahkan, Dakwah Maulana Ishaq ke Belambangan BanyuwangiDi awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit.
Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang Memeluk agama Budha. Kerajaan Blambangan terdapat di daerah Banyuwangi Selatan, dekat dengan daerah Muncar.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib untuk mengobatinya tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit dan sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas saran permaisuri Prabu Meunak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda.
Sayembara disebar dihampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara 'itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya. Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya.
Para pertapa bisanya tinggal di puncak atau lereng-lemng gunung, maka kesanalah Patih Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti, Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Raja Kandaya yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang.
Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana lshaq yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di daerah Blambangan. Tepatnya di Kota Banyuwangi. Sekarang tempat berdakwahnya Maulana Ishaq, oleh masyarakat Banyuwangi dibangun sebagai Masjid dan di beri nama Masjid Jami’ Baiturrahim, di depan Polres Banyuwangi.
Patih Bajul Sengara dapat bertemu dengan. Syekh Maulana lshak yang sedang bertafakkur di sebuah goa yang terdapat di kawasan Rogojampi, di daerah Cemoro. Setelah terjadi negosiasi bahwa Raja dan Rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan.
Dia memang piawai dibidang ilmu kedokteran, putri Dewi Sekardadu sembuh dan setelah diobati Pagebluk juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Sekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan tepatnya di Banyuwangi bagian Utara, yang sekarang menjadi Kota Banyuwangi.
Dari daerah sinilah lahir seorang bayi mungil yang elok, namanya Sayyid ’Ainul Yaqin yang kelak setelah dewasa bergelar Sunan Giri. Oleh masyarakat Banyuwangi, daerah kelahiran Sunan Giri, dijadikan nama desa dan kecamatan, yaitu Kecamatan Giri.
Hasutan dan Fitnah kepada Maulana IshaqTujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi Adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam.
Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teror pada pengikut Syakh Maulana Ishak.
Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama, Walaupun kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan.
Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu, Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamitan kepada isterinya untuk pergi meninggalkan Blambangan.
Maulana Ishaq pergi menuju Gresik untuk bertemu dengan kakaknya, yaitu Maulana Malik Ibrahim, seminggu kemudian dia menuju Ampel Denta menemui keponakannya, yaitu Sunan Ampel dan menitipkan bayinya yang masih ada di Blambangan.
Maulana Ishaq kemudian berlayar menuju Kerajaan Samudera Pasai, dan berdakwah di sana.Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan isteri yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri.
Besok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana lshak. Tentu saja Patih kecewe, walau seluruh isi istana di obrak-abrik dia tidak menemukan Syakh Maulana Ishak yang sangat dibencinya.Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupawan.
Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang tampan dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dia menghasut Prabu Menak Sembuyu agar terus membunuh Syaikh Maulana Ishaq dan membunuh bayinya. Kebetulan setelah ditinggal Maulana Ishaq, kondisi Blambangan menjadi terjangkit lagi oleh penyakit Pagebluk tersebut.
Penyakit pagebluk semacam penyakit Tho’un atau virus flu burung atau flu babi.
Patih Bajul Sengara menghasut Raja dengan berkata: "Bayi itu ! Benar gusti Prabu ! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu !". Demikian kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya Sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung, Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke Samudera.
Demikianlah di antara yang dikisahkan KH Ahsanul Haq.