KH Abun Bunyamin Ruhiyat, In Memoriam
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Cipasung KH Abun Bunyamin Ruhiyat menyampaikan wasiat terakhirnya untuk para santri. Dalam wasiat terakhir Ajengan Abun Cipasung meminta para santri mengaji sebuah kitab yang katanya akan bermanfaat bagi masa depan.
Khusus kepada keluarga dan alumninya, diminta lebih konsisten dan istikomah membina umat. "Walaupun misalnya santri cuma satu orang, harus tetap konsisten untuk mengajar. Jangan melihat jumlah".
Ajengan Abun Bunyamin Ruhiyat mengembuskan nafas terakhir di RS TMC Kota Tasikmalaya, Sabtu 19 November 2022 pukul 10.12 WIB. Putra Ajengan Muhammad Ruhiyat (almaghfurlah, Pendiri Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya), wafat dalam usia 73 tahun.
KH As'ad Said Ali, Mustasyar PBNU, mempunyai kenangan terhadap Ajengan Abun Cipasung, panggilan akrabnya. Berikut catatan tersebut (Redaksi):
Lima tahun lalu bulan November bersama Wakil Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof Didik bersilaturahmi ke kediaman KH Abun Bunyamin bin KH Muhammad Ruhiyat. Dua hari lalu (2022) beliau mendahului kita semua انالله وانااليه راجعون . Semoga amal ibadahnya diterima oleh Alllah Subhanahu wa-ta'ala (Swt) dan segala dosanya diampuni.
Ciri khas beliau, setiap saya berkunjung selalu dijamu rebusan kaki sapi atau kerbau dan harus habis. Untuk menghormati tuan rumah saya habiskan karena memang lezat. Sebenarnya saya dilarang dokter makan kaki sapi, tetapi demi menghormati tuan rumah dan adat, saya melanggar aturan dokter.
Seingat saya, kunjungan itu terkait dengan PERGUNU, khususnya memperkuatnya eksistensinya di daerah Jawa Barat. Jenis kegiatan yang dilakukan adalah penbinaan para guru NU lewat up-grade para guru dan memberikan sertifikasi bekerja sama dengan UPI, sehingga bisa menambah keahlian dan sekaligus penghasilannya.
Kenangan Muktamar Cipasung
Pikiran saya mengembara ke masa lalu pada era Orde Baru. Muktamar NU di Cipasung pada 1994 menjadi momen historis “tekanan politik pemerintah terhadap NU" dalam bentuk upaya pemerintah untuk menggagalkan pencalonan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur, almaghfurlah). Upaya itu gagal dan muktamar Cipasung menjadi tinta emas perjuangan warga NU dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Kritik atau koreksi terhadap kebijakan pemerintah secara damai jangan diartikan bughot (pemberontakan) tetapi lebih tepat sebagai bagian dari amar ma’ruf dan nahi munkar.
Ketika itu KH Abun Bunyamin Ruhiyat masih berusia 64 tahun dan ketika saya berkunjung tidak banyak mengungkap apa yang beliau ketahui, mungkin tidak mau menonjolkan diri sesuai dengan ciri para ulama NU yang sesuai dengan nilai akhlakul karimah. Kalimat-kalimat yang beliau pilih juga kalimat yang tidak bombastis dan tidak sarkastis, tetapi kalimat halus dan indah kalau dirasakan.
Almarhum seumur saya hanya sebulan lebih tua. Hidup dan mati urusan Allah semata dan bagi kita yang hidup tidak ada tekad lain kecuali meneruskan perjuangan para pemimpin yang mendahului kita dan tetap menjaga persatuan.
Saya tulis cerita singkat tentang Pesantren Cipasung ini di Banyuwangi setelah kunjungan malam ke Pesantren Ad Dzikra yang dipimpin oleh Kiai Dr Ir H Wahyudi SH. Kunjungan ke Banyuwangi itu juga dalam rangka mengenang tragedi tewasnya sejumlah syuhada NU pada masa lalu yang juga tidak terlepas perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Catatan Redaksi:
Pesantren Cipasung yang Legendaris
Pondok Pesantren Cipasung merupakan salah satu pesantren tertua di Jawa Barat. Pesantren Cipasung didirikan KH Ruhiat, pada akhir 1931.
Semula, santri yang menetap di pesantren ini berjumlah kurang lebih 40 orang. Sebagian santri tersebut adalah mereka yang ikut dari Pesantren Cilenga, tempat Kiai Ruhiat menempa ilmu.
Di samping itu, ada pula santri kalong yang hanya mengaji pada malam hari dan siangnya kembali ke rumah. Mereka adalah warga yang tinggal di sekitar komplek Cipasung. (Tadzkirat Buku Panduan Mukimin Mukimat Pondok Pesantren Cipasung, 2018).
Sebagai pembinaan agama terhadap anak-anak usia muda, pada 1935 didirikan sekolah agama atau madrasah diniyah. Sekolah inilah yang paling pertama didirikan di Pondok Pesantren Cipasung. Seiring berjalannya waktu, para santri telah tumbuh menjadi dewasa.
Lalu Kiai Ruhiyat mendirikan Kursus Kader Mubalighin wal Musyawirin (KKM), pada tahun 1937. Kursus ini dibuat sebagai wadah santri dewasa untuk latihan berpidato, dakwah, dan musyawarah yang diadakan pada setiap malam Kamis.
Tak hanya itu, pada 1943 Pesantren Cipasung juga memberikan wahana latihan bagi santri putri. Dibuatlah Kursus Kader Mubalighah agar santri putri dapat mengembangkan bakat pidato dan berdakwah.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945, Kiai Ruhiat semakin mengembangkan pendidikan di lingkungan Pesantren Cipasung. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya sekolah formal di Pesantren Cipasung.
Lembaga pendidikan yang didirikan di Pesantren Cipasung pasca-kemerdekaan adalah Sekolah Pendidikan Islam (SPI), pada 1949. Di sekolah ini, selain pendidikan agama, juga diberikan pula berbagai pengetahuan umum.
Lalu pada 1953, sekolah ini berubah nama menjadi Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI). Di tahun yang sama, didirikan pula Sekolah Rendah Islam (SRI) yang kemudian berubah menjadi Madrasah Wajib Belajar (MWB) dan kini berubah lagi menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Sebagai kelanjutan dari MI dan SMPI, didirikan juga Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI), pada 1959. Tak berhenti di situ, Kiai Ruhiat juga mendirikan dan membuka Perguruan Tinggi Islam (PTI) dengan Fakultas Tarbiyah, pada 25 September 1965. PTI Cipasung ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama yang dibuka di Jawa Barat, bahkan sebelum ada Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Kemudian, Yayasan Pondok Pesantren Cipasung akhirnya dibentuk pada tahun 1967. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk mengikat dan mewadahi semua kegiatan pesantren. Lalu pada 1969, didirikan Sekolah Persiapan IAIN yang pada 1978 berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN).
Pada 1970, didirikan Fakultas Ushuluddin filial Cipasung. Namun dengan adanya pemusatan ke induknya, maka fakultas ini hanya berjalan selama dua tahun.
KH Abun Bunyamin Ruhiyat memegang kepemimpinan Pesantren Cipasung menggantikan KH Dudung Abd Halim yang wafat pada 2012.