KH Abdul Khalim Zahid: Kiai yang Manyatu dengan Sungai
Kehidupan itu ada di sungai. Paling tidak itu yang diyakini KH Abdul Khalim Zahid, pimpinan Pondok Pesantren Bustanul Muta'alimin Blitar.
Orangnya sederhana. Meski seorang kiai dengan ribuan santri, ia tak pernah pakai sorban. Juga tidak pernah mengenakan peci haji warna putih.
Penampilannya biasa. Lebih suka mengenakan batik dengan peci hitam. Tak terlihat seperti kiai pemilik pondok pesantren pada umumnya.
Yang lebih unik lagi, hobinya mencari ikan di sungai. Dengan peralatan jaring, bukan pancing. Yang untuk menebarnya butuh keahlian khusus.
Hobi itu sampai dibawanya hingga usianya berakhir di umur 81 tahun. Bahkan, seminggu jelang menghadap ke Sang Khalik, Senin, 15 Maret 2021, ia masih memesan jaring ikan.
Dalam usianya yang sudah kategori lansia, Kiai Khalim masih sering menyambangi sungai. Bersama sejumlah santrinya. Mencari ikan yang menjadi hobinya sejak muda.
Hanya saja, ia sudah tidak lagi menebar jaring ikan sendiri. Hanya mengomando para santrinya dari mobil. Mengomando kapan jaring ditebar dan kapan ditarik.
Memang tidak selalu mendapat ikan setiap kali menjaring. Namun itu seperti menjadi ritual yang dilakukannya sampai usia tua. Sampai jelang menghembuskan nafas terakhir akibat sakit paru-paru yang sudah lama diidapnya.
Ia meninggal setelah dirawat di RS Mardi Waluyo Blitar. Bukan karena Covid-19 yang kini sedang mewabah. Bahkan 5 jam sebelum meninggal, Kiai Khalim masih lancar bercerita.
"Tiga hari lalu, beliau masih minta santrinya ambil jaring baru di Karangkates," kata Mutiatus Salafi, putri tertua KH Khalim.
Karena itu, salah kiai sepuh di Blitar ini sangat populer di kalangan para nelayan pemburu ikan. Kalau dia tak berhasil mendapatkan ikan, para nelayan itu yang memberi ikan untuk dibawa pulang.
"Biasanya tempat ikan dari nelayan dikembalikan lagi ke nelayannya setelah diisi dengan sembako," tambah Lafi --panggilan akrab Mutiatus Salafi.
Bagi Kiai Khalim, mencari ikan di sungai bukan untuk semata-mata ikan. Ia lebih menikmati dengan kehidupan di sungai.
Sungai tak hanya menjadi penyaluran hobi menjaring ikan. Tapi menjadi tempat berdzikir, perenungan, dan mengingat kebesaran-kebesaran Tuhannya.
Ia seperti mengambil jalan Nabi Khidir. Nabi yang menjadi guru Nabi Musa tentang kehidupan. Nabi yang digambarkan bisa berjalan di atas air sungai dan laut.
Sebab, meski pun mendapat ikan dari menjaring di sungai, Kiai Khalim tidak pernah menikmatinya. Ilan tangkapannya selalu dinikmati para santri pondok. Bukan untuk dirinya.
Keunikan Kiai Khalim sebenarnya tak jauh dari bapaknya: KH Zahid Syafi'i. Kiai yang pernah dikunjungi Bung Karno selama masih hidup ini juga unik.
Dialah kiai yang juga gibol alias gioa bola. Tidak hanya penggemar, tapi juga menjadi pendamping spiritual oficial dan pemain PS Blitar Putra. Klub bola yang amat populer di jamannya.
Kalau Kiai Khalim menyatu dengan sungai, Kiai Zahid --ayahnya-- menyatu dengan lapangan bola. Keduanya disegani bukan hanya karena kekiaiannya, tapi juga hobinya.
Kiai Khalim kono tak lagi menjalani kebiasaanya menjaring ikan di sungai. Kini menjaring tinggalan amal baiknya di alam keabadian.
Saya tidak hanya kehilangan seorang kiai yang asyik saat bercerita soal ikan dan sungai. Saya juga kehilangan sosok orang tua pengganti ayah saya sejak Kiai Khalim mengambil adik saya menjadi menantunya.
Menjadi berkurang tempat jujukan meminta restu dan doa setiap pulang kampung ke Blitar. Saya hanya akan lihat jaring ikannya yang selalu menghiaai halaman pondok pesantrennya.
Sugeng tindak Kiai Khalim.