KH A Bunyamin Ruhiyat Cipasung Wafat, Ini Wasiat Pentingnya
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kabar duka bagi warga Nahdliyin (NU) dan umat Islam, atas wafatnya Kiai Haji Abun Bunyamin Ruhiyat. Pengasuh Pondok Pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya ini, mengembuskan nafas terakhir pada Sabtu, 19 November 2022, setelah dirawat beberapa hati belakangan.
Ajengan Abun Bunyamin, panggilan akrabnya, juga Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmah 2022-2027.
Ajengan Abun Ruhiyat, lahir pada 27 September 1949. Ulama karismatik Jawa Barat ini, adalah anak kesembilan dari 14 bersaudara dari pasangan KH Muhammad Ruhiat dan Hj Siti Aisyah yang tak lain adalah Pendiri Pondok Pesantren Cipasung, Kabupaten Tasikmalaya.
Pondok pesantren yang diasuh Ajengan Abun, merupakan lokasi bersejarah dalam keberlangsungan jam'iyah Nahdlatul Ulama. Baik dalam pelaksanaan perhelatan tinggi seperti muktamar hingga Musyawarah Besar dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama.
Ada pesan-pesan khusus Ajengan Abun Ruhiyat, yang ditujukan kepada para santri dan umat Islam secra luas. Ia memberikan nasihat bahwa setiap pemimpin, ormasi maupun partai politik, untuk selalu melaksanakan kebenaran, serta menjauhkan segala keburukan.
“Niatkan dalam hati bahwa menjadi pemimpin itu untuk melaksanakan kebenaran, apapun partainya itu harus dijadikan pedoman. Berbuat kebaikan untuk agama dan bangsa, serta menjauhkan kemunkaran,” tutur Kiai Abun.
Wafatnya Ulama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan wafatnya para ulama sebagai musibah.
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
Artinya: “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’)
Wafatnya ulama adalah hilangnya ilmu umat manusia. Dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia.
Semasa ulama hidup, manusia dapat mencari ilmu kepada mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya. Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu.
Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ ” ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ
Artinya: "Ambillah (Pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi! Sahabat bertanya: Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama)" (HR Ad-Darimi, At-Thabrani No 7831 dari Abu Umamah).
Wafatnya ulama juga memiliki dampak sangat besar, di antaranya munculnya pemimpin baru yang tidak mengerti tentang agama sehingga dapat menyesatkan umat, sebagaimana dalam hadits sahih.
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambanya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan". (HR al-Bukhari No 100).
Sosok Kharismatik Ulama Jawa Barat
H Dendi Yuda, Staf Pengajar Institut Agama Islam Cipasung (IAIC) Tasikmalaya, memberikan komentar bahwa KH A Bunyamin Ruhiat merupakan sosok ulama kharismatik asal Tasikmalaya yang sangat mencintai ilmu, baik di bidang agama maupun pengetahuan umum.
"Kecintaannya terhadap ilmu ditularkan kepada santrinya dengan menekankan keharusan berkomitmen pada dunia ilmu dengan cara mengaji. Kecintaannya kepada ilmu juga ia refleksikan pada kebiasaannya melakukan muthala’ah, membuat catatan pidato, ceramah, atau khutbah," tutur Dendi Yuda, dilansir nu-online Jabar.
Di sela-sela kesibukannya yang sangat padat, KH A Bunyamin Ruhiat masih menyempatkan diri untuk menulis. Di antara karya tulisnya yaitu diktat Jurumiah (Bahasa Sunda), Metode Pengajaran Akhlaq (Analisis Isi Kitab Ta’lim Muta’alim), dan Metode Belajar di Pesantren Menurut Syekh az-Zarnuji.
Secara keilmuan, Ajengan Abun ini terbilang ulama yang mumpuni. Ia menempuh pendidikan baik secara formal maupun non formal. Secara nonformal, ia memperoleh ilmunya dari sang Ayah secara langsung di Pondok Pesantren Cipasung.
KH Ruhiat ialah murid dari Kiai Sobandi, pengasuh Pondok Pesantren Cilenga. Kiai Ruhiat mengaji di Cilenga kurang lebih empat tahun, dari 1922 sampai 1926.
Sementara itu, Kiai Sobandi memperoleh pendidikan di Masjid al-Haram Makah, berguru antara lain kepada melalui Syekh Mahfudh al-Tarmasi.
Kiai Ruhiat juga berkeliling mengaji dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Ia pernah mondok di Pondok Pesantren Sukaraja asuhan Kiai Emed, Pesantren Kubang Cigaloncang asuhan Kiai Abbas Nawawi, dan Pesantren Cintawana yang diasuh oleh Kiai Toha yang menurut riwayat juga pernah menjadi murid dari Syekh Mahfudh al-Tarmasi.
Sementara itu, pada pendidikan formal, Kiai Abun memulai pendidikannya di Sekolah Rendah Islam (SRI) Cipasung pada tahun 1955 sampai 1961. Kemudian melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Islam Cipasung sampai 1964. Berlanjut di SMA Islam Cipasung dari 1964-1967.
Cipasung masih menjadi tempat belajarnya hingga pada 1971, ia melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di Perguruan Tinggi Islam (PTI) Cipasung. Di samping itu, Kiai Abun juga alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang saat itu masih bernama Istitut Agama Islam Negeri (IAIN).
Di IAIN Bandung, ia mengambil jurusan bahasa Arab pada tahun 1974-1976. Dari PTI Cipasung, ia memperoleh gelar Bachelor of Art (BA) atau sarjana muda, dan sarjana penuhnya ia raih saat di UIN Bandung (Drs).
KH A Bunyamin Ruhiat mengambil kuliah di UIN Bandung yang pada saat itu masih bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan dipegang oleh rektor Prof. KH Anwar Musahdad.
“Kuliahna oge ngan tujuhan da,” kenangnya. “Pa Maksum Hidayat anu ti Sumedang. Abdurrahman ti Cipanas. Anu ti Cianjur hiji, Latif Saoban. Muhyidin Ma’mun ti Cirebon. Hiji deui anu ti Jawa nu budakna dikadieukeun, terus hiji urang Purwokerto,” begitu KH A Bunyamin bertutur, menyebut sejumlah teman seangkatannya, menunjukkan daya ingatnya yang kuat.
“Rebo teh tos uih. Hiji waktu Rebo teh cenah moal aya kuliah. Bapa teh maksakeun ti ditu maghrib. Ka dieu jam satu. Jaba can aya HP can aya nanaon. Euweuh nu mapagkeun pan jam satu. Eta mah mapah ti ditu ti Borolong ka dieu. Jabi leuweung keneh. Leumpang sorangan jam satu. Eta asa teu nincak leumpang ka dieu. Beak sabara we ayat kursi. Peureum we. Ya Allah,” tuturnya menceritakan sekelumit kisahnya semasa kuliah diakhiri dengan gelak tawa, setelah tenggelam dalam kenangan di masa lalu.
Pada tahun 2002 sampai 2004, KH A Bunyamin Ruhiat melanjutkan studinya ke program Magister di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dari UII Yogyakarta, KH A Bunyamin Ruhiat memperoleh gelar Magister Studi Islam. Dengan keilmuan yang sangat luas itulah Ajengan Abun menjadi penerus estafeta perjuangan dalam mengembangkan pesantren Cipasung setelah KH Ruhiat (ayah) dan KH Moh Ilyas Ruhiat (kakak).
Hari-hari Akhir Ulama
Hari-hari akhirnya, Kiai Abun mengisi waktunya dengan mengajar di pesantren Cipasung. Memulai belajar mengajar pada tahun 1961, dan mulai mengajar pada 1969.
Ia juga tercatat sebagai dosen pascasarjana Institut Agama Islam Cipasung dengan mengampu mata kuliah Pendidikan Berbasis Pesantren. Selepas Muktamar ke-34 di Lampung, Kiai Abun diberi amanah sebagai salah satu Rais Syuriyah PBNU masa khidmah 2022-2027.
Semoga Kiai Abun Bunyami mendapat tempat terindah di sisi Allah Ta'ala, diampuni segala dosa dan diterima seluruh amal ibadahnya. Para santri dan umat Islam secara luas yang akan melanjutkan perjuangannya. Amiin.
Advertisement