Kewajiban Puasa Antara Islam dan Umat Terdahulu, Ini Perbedaannya
Manusia dipilih Tuhan sebagai wakil-Nya (khalifah Allah) sekaligus hamba-Nya (‘abd Allah). Sebagai seorang hamba, manusia harus tunduk total pada Tuhan dan menerima secara sempurna semua yang dikehendaki-Nya. Sebagai wakil-Nya, manusia harus aktif di dunia untuk menjalankan kehendak Tuhan di muka bumi.
Menjalankan ibadah puasa, misalnya, merupakan tindakan sebagai hamba sekaligus wakil Allah. Puasa Ramadan bagi umat Islam merupakan kewajiban umat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (SAW).
Semua ajaran Islam biasanya menjurus pada dua fungsi manusia ini. Baik ibadah mahdlah yang ketentuannya telah ditetapkan Allah, maupun ghair mahdlah yang manusia dituntut untuk menggunakan akalnya, pada intinya bermuara pada fungsi hamba dan khalifah.
Selain itu, puasa menjadi bagian dari trilogi ajaran Islam yang dikenal dengan Islam, Iman, dan Ihsan. Puasa menjadi salah satu dari rukun Islam yang lima. Ibadah puasa merupakan perintah yang secara spesifik diberikan kepada orang-orang beriman. Dalam menjalani ibadah puasa, seorang muslim ditekankan berbuat Ihsan sepanjang hari.
Puasa dan Aktivitas Spiritual
Ibadah puasa saat ini identik dengan aktivitas spiritual yang dijalankan umat Islam. Turunnya QS. Al Baqarah ayat 183 menjadi penegas bahwa umat Islam diwajibkan berpuasa. Sebagaimana tertera dalam Al Quran, puasa telah dipraktekkan jauh sebelum disyariatkan kepada kaum Nabi Muhammad. Bangsa Mesir Kuno, misalnya, mereka telah mengenal puasa untuk menebus dosa kepada Dewa Isis.
Umat-umat terdahulu sebelum Islam juga memiliki ajaran yang mewajibkan umatnya untuk berpuasa. Namun, dalam menjalani puasa, Islam memiliki kekhasan yang tidak diserupai bangsa-bangsa terdahulu.
Salah satu bentuk kekhasan puasa dalam tradisi Islam ialah puasa bertujuan untuk pengekangan hawa nafsu, bukan penebusan dosa. Puasa merupakan sarana bagaimana umat Islam mengendalikan dorongan-dorongan biologis seperti makan, minum, amarah, dan bercinta. Karenanya, karakter puasa dalam Islam itu sangat dekonstruktif terutama terhadap ajaran Jahiliyyah yang rakus, tamak, dan suka melakukan kejahatan yang melampaui batas.
Berpuasa memiliki karakter dekonstruktif terhadap hal-hal yang melampaui batas. Karena Allah tidak menyukai segala hal yang melampaui batas, termasuk hasrat kita untuk makan dan minum. Kata Rumi, nafsu duniawi adalah tipu daya dari semua berhala.
Di samping sebagai anugrah yang diberikan Allah SWT, nafsu juga dapat menjadi musibah. Semua sumber kejahatan biasanya berasal dari keinginan primitif yang tidak terkendali ini. Kehadiran puasa diharapkan menjadi tembok penghalang dari nafsu hewani sehingga menjadi manusia yang bertakwa.
Kekhasan dari puasa yang diajarkan Islam itu bukan menghilangkan nafsu melainkan mengendalikan nafsu. Karena manusia tanpa nafsu tidak akan memiliki motivasi untuk menjalani hidup, sehingga yang dilakukan Islam ialah bagaimana cara mengendalikannya.
Demikian pesan-pesan Ramadan bersama Zakiyuddin Baidhawy dalam Pengajian PP Muhammadiyah.