Keutamaan Tarwiyah, Hilang dalam Fikih Manasik Kemenag RI?
Dalam serangkaian aktivitas ibadah haji, ada amalan sunah yang diutamakan, ada juga yang wajib. Di antaranya yang dianjurkan pelaksanaan menurut fikih pesantren, adalah Tarwiyah.
Sayangnya, menurut KH Imam Ghazali Said, pengasuh Pesantren An-Nuur Wonocolo Surabaya, soal Tarwiyah itu bahkan dari pihak Kemenag 'menakut-nakuti agar jemaah haji tidak melakukannya". Berikut catatan kritis dari Wakil Rais Syuriah PCNU Kota Surabaya, yang berkesempatan berhaji tahun ini (Karom 09 Kloter 59 Sub):
Tarwiyah secara bahasa berarti segar dan menyegarkan. Ini, karena Mina atau Muna sebagai situs haji sejak masa nabi Ibrahim as (w 1800 SM) sampai masa Nabi Muhammad saw (571-632 M) adalah kawasan yg penuh dengan oase menampung air hujan. Karena itu jemaah haji (JH) dapat minum puas ketika mereka singgah di Mina dan membawa bekal air secukupnya sebagai bekal untuk wukuf di Arafah yang kering kerontang.
Versi lain Tarwiyah diartikan sebagai rukya shadiqah (mimpi benar) Nabi Ibrahim as yang diperintah Allah Swt untuk menyembelih putra tunggalnya saat itu, Ismail as. Dari mimpi yang diyakini sebagai wahyu itulah, setelah proses kontemplasi wukuf di Arafah dua manusia pilihan ini rela mengeksekusi dan dieksekusi mimpinya itu pada 10 Zulhijah yang kemudian populer dengan yaum al-nahr. Kisah ini dijelaskan secara rinci oleh al-Azraqi dalam Alhbaru Makkah.
Manasik dua nabi: bapak-anak: Ibrahim-Ismail inilah yang diteruskan oleh Nabi Muhammad saw pada 10 H/632 M dengan memulai dengan ihlal (niat) dan singgah di Mina pada waktu Duha tanggal 8--Duha 9 Zulhijah.
Sunnah Rasul ini diperkuat dg sabda beliau:خذوا عنى مناسككم : " Ambillah manasik Anda dari aku.." (Hr. Nasai dan Bayhaqi).
Pelaksanaan manasik haji pada masa Khulafaur Rasyidin konsep Fikih (sunah, wajib dan rukun) belum muncul sebagai wacana akademik. Karena itu para sahabat dan keluarga Rasululllah saw meniru teknis manasik sesuai perintah hadis di atas. Nyaris semua bermanasik dengan bertarwiyah. Konsep Fikih yang menyatakan bahwa Tarwiyah itu berkonotasi hukum sunah itu muncul sekitar tahun 100 H.
Tarwiyah dalam fikih bisa ditinggalkan dan tak berakibat denda; fidyah atau hadyu/dam. Dalam dinamikanya fuqaha sepakat bahwa Tarwiyah itu adalah sunah haji yang sangat dianjurkan. Jemaah Haji yang meninggalkan Tarwiyah mendapatkan "keutamaan haji mnimalis". Dalam ungkapan lain; JH yang ingin mendapatkan "keutamaan haji secara maksimal" seharusnya melaksanakan Tarwiyah.
Cara pandang seperti ini "dihilangkan" dan sama sekali tidak muncul dalam Fikih Manasik Kemenag RI. Mengapa ?\
Shaleh Putuhena dalam Historiografi Indonesia mengungkap bahwa sejak awal pelaksanaan haji yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada 1927 memang tidak melaksanakan Tarwiyah. JH pada 8 Zulhijah diangkut dari Makkah langsung ke Arafah sebagai persiapan wukuf. Saat transportasi utama masih menggunakan onta, kebijakan manasik tanpa Tarwiyah sangat bisa dipahami. Rupanya kebijakan manasik tanpa Tarwiyah ini terus berlanjut sampai Indonesia merdeka sampai gonta-ganti 7 presiden saat ini.
Sementara ulama produk pesantren, IAIN, UIN, Universitas al-Azhar dan PT di Timur Tengah yang lain mulai mempertanyakan; mengapa Tarwiyah tidak menjadi kebijakan pelaksanaan manasik Jamaah Haji Indonesia ?
Bahkan faktanya; petugas haji mulai dari TPHI, TPIHI, TKHI Daker Makkah cenderung "menakut-nakuti" JH yang berkeinginan Tarwiyah ? Monggo bapak Menag RI dan Dirjen Haji berkenan memberi penjelasan.
Makkah 1 Agustus 2019
*) Imam Ghazali Said, Karom 09 Kloter 59 Sub, dikutip dari akun facebooknya.
Advertisement