Keunikan Gedung Jadi Penyebab Penghuni Mau Merawat dan Mempertahankan Sampai Anak Cucu
Gedung Setan yang dibangun J.A. van Middlekoop pada tahun 1809 masuk dalam daftar cagar budaya di Surabaya sejak 2013. Bangunan khas Belanda ini yang berada di Banyu Urip Wetan 1 A ini menyimpan nilai seni artistik. Kebanyakan bangunan kolonial warnanya putih dari dulu putih seperti saat ini. Hanya, sekarang sudah kusam dan banyak yang mengelupas.
Jendela-jendela lebar tampak menyeruak pada bagian kolom utama bangunan yang berbahan bata dengan gaya Yunani klasik. Khas tropis. Banyak jendela, banyak pula angin yang masuk ke dalam ruangan. Dengan plafon yang tinggi, hawa di dalam gedung tetap sejuk.
Ciri khas bangunan kolonial itu juga tampak pada bentuk gambrel roof. Yakni, atap yang melengkung dan curam. Bentuk itu juga penyesuaian iklim tropis. Saat hujan datang, air cepat mengalir ke bawah. Atap jadi tak gampang rusak.
Bangunan Belanda juga punya halaman luas. Areanya mengelilingi seluruh bagian bangunan. Jadi, bangunan tampak seperti titik pusat di antara area lapang. Tentu, areal luas itu sudah tak ada. Gedung Setan dikelilingi rumah penduduk. Saat pagi, bagian depannya berubah menjadi pasar. Suasana ramai dan sesak. Gedung seolah tenggelam dan menyisakan potongan lantai bagian depan yang berbahan batu alam.
Dulu, luas lahannya sekitar 7 ribu meter persegi. Bangunannya sendiri pun 500 meter persegi. Tampilan eksterior bangunan mencerminkan desain dalamnya. Tidak banyak sekat pada gedung. Ada sisi lapang sebagai center di lantai 1. Ruangan itu sering digunakan sebagai tempat pertemuan keluarga besar penghuni. Lokasi itu terlihat dari berbagai sisi ruangan mana pun.
Lantai maupun dinding didesain kuat. Begitu juga tangga penghubung antara lantai 1 dan lantai 2. Bentuknya melingkar dengan tiga anak tangga. Tapi, kalau sekarang, keadaan berbeda. Sudah banyak sekat untuk bilik penghuni di dalam. Lantai 1 terdiri atas 36 rumah, kamar mandi umum, dapur, dan tempat parkir.
Lantai 2 merupakan gabungan 17 rumah dan gereja. Material yang khas masih dapat terlihat hingga saat ini. Yakni, batu bata, kayu jati, dan batuan. Komposisi itulah yang membuat bangunan kolonial Belanda tersebut awet.
Lahan gedung ini dulu dibeli dari Herman Willem Daendels, politikus Belanda yang akhirnya menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda ke-36, pada 1808–1811. Paska J.A. van Middlekoop meninggal di usia 53 tahun dan dimakamkan di area belakang gedung, kepemilikan berpindah tangan oleh dr Teng Khoen Gwan. Cerita Sutikno Djijanto, salah seorang penghuni, gedung itu dibeli dr Teng pada 1945.
Kemudian pada tahun 1975, keluar surat resmi pengelolaan Gedung Setan dari dr Teng Khoen Gwan (Gunawan Sasmita) kepada Hadi Utomo, salah seorang pengungsi yang menempati gedung itu. Para pengungsi beranak pinak dan menetap hingga saat ini. Awalnya ada 25 keluarga pengungsi. Saat ini sudah berkembang menjadi 53 keluarga.
Sutikno Djijanto, menceritakan keberadan Gedung Setan yang berada di tengah kota secara bisnis nilainya sangat tinggi. Para penghuni, meski puluhan tahun menempati gedung tersebut tetap menjaga artistik gedung tersebut. Bahkan tulisan-tilisan Cina dan atapnya masih dijaga sesuai aslinya.
Keindahan nilai artistik inilah yang membuat para penghuni kerasan menempati gedung tersebut, meski hanya tinggal di bilik-bilik kecil. Sutikno sendiri mengaku sudah puluhan tahun tinggal di situ. Ayahnya yang bernama Handoko dulu adalah pengurus Gedung Setan. Handoko mendapat mandat dari pemilik Gedung Setan dr Teng Khoen Gwan (Gunawan Sasmita) untuk merawat dan menjaganya.
Setelah Handoko mangkat pengurus berikutnya Adi Utomo. Setelah Adi Utomo meninggal kepengurusan Gedung Setan diserahkan ke Sutikno Djijanto hingga sekarang. "Meski bukan pemilik kami para penghuni berkewajiban merawat dan menjaga gedung ini," kata Sutikno. (Bahari/habis)