Keturunan Ulama Harus Sedih, Ini Maksud Sikap Kritis Gus Baha'
KH Ahmad Bahauddin Nursalim, ulama karismatik pakar ilmu Al-Quran, kerap melontarkan kritik tak terduga kepada umat Islam. Di tengah-tengah ceramahnya, ia selalu menyisipkan petuah yang lebih mengingatkan agar selalu waspada dan hati-hati.
Ia mengingatkan eksistensi para cucu dan keturunan para ulama. Mereka harus menjaga keilmuan dan justru harus lebih baik bagi ulama sebelumnya.
"Orang itu kalau keturunan ulama atau wali, dia seharusnya tidak bangga. Tapi justru sedih dan terbebani. Sedih jika akhlak, prilaku, dan pencapaiannya tidak sama dengan mbah-mbahnya."
Gus Baha' seakan ingin menjelaskan kepada tamunya pada sore itu yang kebanyakan adalah para Gus dan Lora, bahwa nasab mulia itu bukan untuk dibuat bangga-bangga-an. Bukan hanya dapat ditunggangi untuk mendapat rasa hormat manusia kebanyakan. Lebih dari itu semua nasab mulia adalah sebuah beban dan tanggung jawab. Demikian sebuah pelecut diri untuk mengikuti tindak-jejak para leluhur yang merupakan wali-wali Allah itu.
Gus Baha lalu mengambil sebuah kitab, Kitab Fawaidul Mukhtarah kumpulan kalam dan fawaid Habib Zain Bin Smith. Lalu meminta Yik Shodiq untuk membacakan sebuah kisah dalam kitab itu:
"Suatu ketika ada golongan para Sayyid sedang berkumpul membaca kitab المشرع الراوي, kitab manaqib para Habaib Ba'alawy. Kala itu ada seorang Baduwi yang kebetulan ikut menyimak sejak awal.
Ketika pembacaan kitab selesai, Baduwi itu bertanya: "Mereka yang dibaca manaqibnya ini keluarga siapa?"
"Mereka adalah buyut-buyut kami," jawab para sayyid.
"Alhamdulillah mereka bukan buyut-buyut saya," Baduwi itu menimpali.
Para Sayyid itu kaget lalu berkata: "Jika mereka buyutmu, itu adalah sebuah anugrah untukmu."
"Tidak. Justru jika mereka adalah kakek buyut saya, saya akan merasa sangat malu karena amal perbuatan saya sangat jauh dibandingkan amal perbuatan mereka." .
Gus Baha lalu mengomentari kisah itu:
"Jadi gak enak to anaknya kiai? Misalnya ada orang baca sejarahnya Syaikhona Kholil, kita (yang bukan keturunan beliau) senyum-senyum aja, gak beban, gak harus niru, kan gak cucunya."
Sindiran Gus Baha
Gus Baha tertawa, sedangkan audiens yang menjadi target "sindiran" itu hanya bisa tersenyum malu. Tapi itu yang banyak disuka dari Gus Baha'. Ulama ahli Al-Quran ini selalu mempunyai cara yang khas dan unik dalam menyampaikan sebuah pesan, tanpa ada kesan menyakiti atau menggurui
"Kalian keturunan ulama harus begini. Harus begitu."
Gus Baha' justru lebih memilih menyampaikan sebuah cerita dengan hikmah yang sangat dalam.
Demikianlah penjelasan Gus Baha'.
Dzikir Pagi
اَللَّهُمَّ بِكَ أَصْبَحْنَا، وَبِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوْتُ، وَإِلَيْكَ النُّشُوْرُ.
أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Sayyidul Istighfar
اللّٰهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لآ إِلٰهَ إِِلآّ أَنْتَ ، خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَ أَبُوْءُ بِذنْبِي، فَاغْفِرْلِيْ ، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إلاَّ أَنْتَ
Artinya:
“Ya Allah, Engkaulah Tuhanku. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Engkau sudah menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku akan berusaha selalu ta’at kepada-Mu, sekuat tenagaku Yaa Allah. Aku berlindung kepada-Mu, dari keburukan yang kuperbuat. Kuakui segala nikmat yang Engkau berikan padaku, dan kuakui pula keburukan-keburukan dan dosa-dosaku. Maka ampunilah aku ya Allah. Sesungguhnya tidak ada yg bisa mengampuni dosa kecuali Engkau.”
Shalawat Fatih
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ، الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ، نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ، وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ العَظِيْمِ .
Semoga hari ini lebih baik dari hari sebelumnya
زيني الياس