Ketum Pertuni: Anak-Anak Tunanetra, Ayo Sekolah.
Hari kelahiran Louis Braille pada 4 Januari. Berkat karyanya menciptakan huruf Braille telah memudahkan para tunanetra di seluruh penjuru bumi ini membaca dan menulis.
Membaca dan menulis adalah ketrampilan dasar yang harus dimiliki setiap orang, yang menjadi fondasi untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan lainnya.
Kemampuan berbahasa lisan, tulisan berhitung, berlogika, hingga akhirnya termasuk kemampuan berbahasa coding.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Aria Indrawati dalam memperungati Hari Braille sedunia yang jatuh pada Sabtu, 4 Januari 2020.
Menyadari pentingnya pemenuhan hak untuk belajar membaca dan menulis bagi setiap orang, PBB secara resmi menetapkan 4 Januari sebagai Hari Braille Dunia, yang akan selalu diperingati oleh PBB secara resmi, sama seperti hari-hari internasional lainnya.
Keberhasilan ini berkat perjuangan gigih dari tokoh-tokoh tunanetra dunia yang tergabung dalam World Blind Union (WBU).
"Berkat jasa Louis Braille para tunanetra pun dapat menempuh pendidikan setinggi mungkin. Terlebih lagi saat ini ada dukungan teknologi adaptif yang super canggih. Dengan dukungan teknologi adaptif tersebut, kegiatan belajar, termasuk membaca dan menulis menjadi lebih mudah," tutur Aria Indrawati.
Sebagai contoh, lanjut Aria Indrawati, dahulu membuat buku dalam huruf Braille dilakukan secara manual, sehingga membutuhkan waktu lebih lama serta tenaga lebih banyak.
Kini, dengan perkembangan teknologi komputer, membuat buku Braille dapat dilakukan dengan lebih cepat. Bahkan, dengan perkembangan teknologi, muncul varian baru bentuk buku yang dapat dibaca secara mandiri oleh tunanetra, yaitu buku audio digital dan buku e-pub.
Meski telah ada teknologi, anak-anak tunanetra tetap harus belajar membaca dan menulis huruf Braille di fase awal usia sekolah mereka. Sebagaimana anak-anak yang tidak tunanetra, anak-anak yang menyandang tunanetra juga harus belajar membaca.
"Sempat ada pandangan bahwa dengan adanya kemajuan teknologi, buku Braille tidak lagi diperlukan. Pandangan ini keliru. Bagi tunanetra yang beragama Islam, misalnya, mereka juga harus belajar membaca Alquran Braille, bukan hanya mendengarkan Alquran versi audio, karena nilai membaca Alquran dengan mendengarkan orang lain membaca Alquran itu berbeda," ungkap Aria Indrawati.
Lalu, di manakah anak-anak tunanetra belajar membaca? Tentu saja di sekolah.
Sayangnya, belum semua anak tunanetra usia sekolah bisa bersekolah secara merata di Indonesia.
Menurut perkiraan Kementerian Pendidikan, angka partisipasi tunanetra usia sekolah di bidang pendidikan masih rendah, yaitu kurang dari 20 %.
"Mari kita mengambil momentum peringatan Hari Braille Dunia 4 Januari ini, menggugah hati dan pikiran semua pihak yakni keluarga, orangtua, pemerintah, agar membawa anak-anak tunanetra yang belum bersekolah ke sekolah," kata Aria Indrawati.
Tantangan lain dalam mengajarkan anak-anak tunanetra membaca dan menulis Braille adalah terbatasnya ketersediaan guru-guru, termasuk guru-guru di sekolah luar biasa yang mengerti huruf Braille.
"Bagaimana sekolah akan mengajari anak tunanetra membaca dan menulis Braille jika di sekolah tersebut belum ada guru yang mengerti membaca dan menulis Braille? Kondisi ini tentu harus mendapat perhatian khusus dari Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Indonesia," tutur Aria Indrawati.
"Anak-anak tunanetra, ayo sekolah. Bapak, ibu, orangtua, ayo, bawa anak-anak tunanetra kita ke sekolah. Pemangku peran dunia pendidikan, ayo, kita fasilitasi agar anak-anak Indonesia yang menyandang tunanetra dapat bersekolah dengan baik," sambung dia.