Ketum PBNU, Gus Yahya: NU Ingin Jadi Penyangga Keutuhan Bangsa
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menegaskan, ingin memposisikan NU sebagai penyangga keutuhan bangsa.
"Tidak ikut-ikutan bertempur melawan kelompok lain, tapi NU bisa menjadi jembatan terhadap hal yang terhambat komunikasinya, itu posisi NU," kata Gus Yahya saat disambangi wartawan di Kantor PBNU Jakarta, Kamis, 30 Desember 2021.
Menghadapi Pemilu dan Pilpres 2024, Gus Yahya mengatakan NU akan bersikap netral tidak mau dijadikan tukang dorong mobil yang kehabisan BBM.
NU telah mengambil jarak dengan politik praktis. Hal itu merupakan keputusan dalam Muktamar ke-26 NU tahun 1979 di Semarang, Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, lalu disempurnakan dalam Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Yogyakarta.
"Kita harus mengacu hasil muktamar itu karena yang menjadi keputusan-keputusan muktamar itu posisi NU di tengah pergulatan kebangsaan," kata Gus Yahya.
"NU pernah menjadi partai politik pada 1945 hingga 1971. Namun sekarang NU kembali menjadi perkumpulan yang mengambil jarak dari politik praktis dan tidak menjadi pihak dalam kompetisi perpolitikan di Indonesia," katanya.
Gus Yahya menyebut isu kedekatan dengan Israel hanya gimmick di Muktamar NU. Selain itu, NU juga memiliki concern yang sangat dalam terhadap tren meningkatnya eksploitasi identitas, baik etnik maupun agama, sebagai bahan politik.
Menurutnya, hal ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan perpecahan, serta polarisasi di tengah masyarakat. Sebagai pimpinan baru PBNU, ia ingin melakukan upaya untuk menyembuhkan luka-luka polarisasi yang sudah telanjur terjadi serta bersungguh-sungguh mengampanyekan berhenti melakukan politik identitas.
"Kita juga harus bersungguh-sungguh mengkampanyekan. Kita ajak semua stakeholder dan masyarakat mari berhenti melakukan strategi politik identitas," katanya.
Advertisement